Teroris Merajalela, Tergolong Kaum Khawarij?
Ayu Wulandari
Dalam sepekan, teror bertubi-tubi mengguncang Indonesia. Mulai dari kerusuhan di salah satu rumah tahanan yang berada di Mako Brimob Depok hingga ledakan bom yang menyerang tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018. Tak berhenti sampai di situ, teror bom pun kembali mengguncang Polrestabes Surabaya pada Senin pagi, 14 Mei 2018. Sejumlah kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS pun diduga menjadi dalang dari seluruh kejadian teror mengerikan tersebut.
Berbicara terkait kelompok teroris, sejak zaman dahulu sudah ada sebuah kelompok yang paling berbahaya dalam Islam. Kelompok tersebut adalah kelompok Khawarij (al-khawārij) yang telah ada sejak periode awal Islam. Mereka akan terus menimbulkan perselisihan di negara-negara Muslim hingga kelak mereka bergabung dengan Mesias Palsu yaitu Dajal. Oleh sebab itu, hendaknya umat Islam juga mengetahui dan menyadari keberadaan mereka agar dapat melindungi diri dan tak mendukung perilaku destruktif mereka.
Menurut buku Ensiklopedi Akhir Zaman karya Dr. Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh, kaum Khawarij adalah orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib RA saat menerima resolusi tahkim (arbitrase) yang ditawarkan kubu Muawiyah. Pasca keluar, mereka menyebar fitnah, mengkafirkan, dan membunuh para ahli dzimmah (non muslim yang tunduk pada otoritas islam). Nama Khawarij sendiri berasal dari kata Arab “khuruj”, yang berarti “pemberontakan”. Pasalnya, mereka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib RA karena inovasi sesat mereka.
Pada masa Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib RA mengalami perang politik dengan Mu’awiyah namun akhirnya Ali dan Mu’awiyah memulai proses arbitrase untuk mewujudkan perdamaian. Di sisi lain, kelompok khawarij di barisan Ali justru menuduh Ali berbuat dosa karena bagi mereka arbitrase adalah dosa. Mereka pun menuntut Ali untuk membunuh Mu’awiyah dan kelompoknya. Singkatnya, sekelompok orang yang berjumlah 6000 itu pun keluar dari barisan Ali dan dikenal sebagai kaum Khawarij atau kaum pemberontak.
Dalam bukunya, Dr. Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh menerangkan bahwa kaum Khawarij sangat rajin beribadah. Sayangnya, kaum Khawarij begitu gegabah, terlalu cepat menuduh orang, dan gemar mengkafirkan beberapa tokoh sahabat terkemuka. Mereka juga menjadi kaum yang melafalkan Alquran namun tidak melampaui tenggorokan. Maksudnya, bacaan Alquran mereka tidak masuk ke dalam hati mereka dan mereka tidak memahaminya.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang setelahku kaum yang akan membaca Alquran hanya sebatas kerongkongan saja. Mereka akan keluar dari agama secepat anak panah yang membidik hewan buruan. Kemudian mereka tidak kembali untuk selamanya (ke dalam pangkuan agama islam). Mereka itulah seburuk-buruknya perangai dan seburuk-buruknya manusia.” (HR. Muslim)
Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda, “Akan keluar satu kaum di akhir zaman, (mereka) adalah orang-orang yang masih muda, akal mereka bodoh, mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia, keimanan mereka tidak melewati kerongkongan. Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang keluar dari busurnya. Dimana saja kalian menjumpai mereka, maka (perangilah) bunuhlah, karena sesungguhnya dalam memerangi mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi siapa saja yang membunuh mereka.” (HR. Bukhari)
Dalam perkembangannya, kaum Khawarij terpecah menjadi 20 kelompok yang sebagian besarnya punah kecuali golongan “ibadhiyah”. Golongan tersebut tersebar di Oman, Zanjibar, dan Tripoli (Libya). Meskipun telah terpecah-pecah, doktrin yang mereka miliki tetaplah sama. Yaitu sama-sama mengkafirkan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib RA, para sahabat yang terlibat dalam perang Jamal, serta membenarkan tindakan separatis terhadap penguasa yang mereka anggap lalim.
Demikianlah kelompok kaum Khawarij yang ide-idenya selama ini justru cenderung telah memperburuk citra umat Islam secara umum. Sebab penampilan yang mereka tampilkan seringkali mencitrakan bahwa mereka sangat memegang teguh agama dan sangat rajin beribadah. Namun sayangnya, mereka justru melakukan hal-hal yang menyimpang dan menganggap semua itu merupakan bagian dari agama. Oleh sebab itu, umat Islam hendaknya berhati-hati dengan kelompok Khawarij tersebut.
#muslimsejati
Hanya mereka yang tidak mengerti al-Qur’an dan membaca sejarah Islam yang akan menyangkal judul di atas. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa kegandrungan sebagian masyarakat Muslim di Indonesia terhadap sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan Islam adalah fenomena baru.
Dari awal, bahkan sebelum kebebasan, ide khilafah itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan kaum Muslim. Dua tahun setelah Khilafah Usmaniyah dibubarkan pada 1924, kongres tentang khilafah digelar di Kairo dan Jeddah, yang juga dihadari oleh peserta dari Indonesia.
Seperti dituturkan oleh Prof. Hamka, salah seorang peserta kongres tersebut adalah bapaknya sendiri. “Peserta dari Indonesia sama sekali tidak antusias dengan sistem khilafah,” tulis Hamka dalam memoar mengenang orang tuanya, Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
Peserta lain adalah Mohammad Natsir, seorang tokoh utama partai Islam Masyumi. Dalam bukunya, Islam dan Kristen di Indonesia (1969), Natsir juga menyinggung keikutsertaannya dalam kongres khilafah, tapi dia tidak tertarik. Ia lebih memilih ide Negara Islam, daripada khilafah.
Konsep Negara Islam yang ada dalam pikiran Natsir bukan teokrasi ala khilafah. Ia yakin bahwa betul bahwa Negara Islam itu tidak bertentangan dengan demokrasi. Makanya, dia mengatakan Negara Islam tidak teokrasi dan juga bukan sekuler, ada “Negara Demokrasi Islam”.
Artinya, sejak awal kelahiran Republik Indonesia, sistem khilafah memang bukan alternatif. Baru Muslim Muslim di Indonesia dibodohi dengan propaganda yaitu khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Selain tidak sesuai al-Qur’an, propaganda itu bersifat ahistoris.
Khalifah dalam al-Qur’an dan Tafsir Awal
Kata “khilafah” berasal dari akar kata yang sama dengan “khalifah”, yaitu “kh-lf”. Dalam literatur politik Islam klasik, pemerintahan khilafah dipimpin oleh seorang khalifah. Namun, jika dirujuk ke al-Qur’an, kata “khalifah” itu tidak memiliki konotasi politik.
Dalam kisah Adam yang berlangsung dalam surat al-Baqarah (2), ada dialog antara Tuhan dan malaikat yang berhubungan dengan seorang khalifah. Ketika Allah berfirman kepada malaikat, “Saya akan menciptakan seorang khalifah di atas bumi.” Respons malaikat, “Akankah Engkau menciptakan di atas bumi seorang yang akan melakukan kerusakan?” (QS 2:30).
Jelas sekali bahwa al-Qur’an tidak menggunakan istilah “khalifah” dalam definisi pemimpin politik. Lirik disimak bagaimana kata “khalifah” dipahami dalam tafsir awal mula.
Prof. Wadad al-Qadi dari Universitas Chicago, AS, melakukan studi tentang penafsiran khalifah di kalangan mufasir Muslim awal, terutama zaman pra-Tabari (w. 310/922). Mengapa literatur tafsir yang dipilih adalah karya-karya sebelum zaman Tabari? Sebab, Tabari itu cukup bermakna dalam rentang waktu menggunakan kata “khalifah” yang berkonotasi sebagai pemimpin politik. Dalam sumber-sumber yang dapat dipercaya, kata “khalifah” disematkan kepada pemimpin politik itu baru terjadi pada masa dinasti Umayyah, akan terjadi di akhir akhir tulisan ini.
Maka, fokus studi Prof Qadi tafsir-tafsir yang ditulis atau diproduksi pada zaman Umayyah, yang berkuasa antara tahun 661-750. Kesimpulan Qadi sangat menarik: kata menggunakan “khalifah” sebagai pemimpin politik dan tidak ada dalam sebagian besar karya pada masa pemerintahan Umayyah dan awal pemerintahan Abbasiyah. Sementara dalam tafsir-tafsir yang lebih awal, khalifah dimaknai tanpa konotasi politik apa pun.
Akar kata “kh-lf” bisa berarti “mungkin”, “orang yang datang setelah yang lain”. Para mufasir bingung dan bagaimana memahami kata “khalifah Allah”: mengutip Allah? Tapi, pertanyaan yang lebih subtil adalah: Mengapa manusia begitu mulia membentuk “khalifah” di atas bumi?
Terkait pertanyaan itu, dua alternatif jawaban diajukan, yang berkorespondensi dengan kronologi penggunaan istilah “khalifah” secara politik. Dalam tafsir yang ditulis pada masa masa Umayyah bercampur khalifah tak lain sebagai gelar pemimpin politik, alasan yang diajukan adalah karena manusia memiliki kemampuan untuk mengelola atau mengembangkan alam. Para paruh akhir zaman Umayyah, manusia disebut khalifah karena kemampuannya untuk memimpin.
Baca Juga: Apa Itu MaʻRûf dan Apa Itu Munkar
Khilafah sebagai Institusi Politik
Dari penelusuran penafsiran “khalifah” dalam literatur tafsir awal tampak lepaskan dalam pemaknaan kata “khalifah”. Ini juga bukti nyata bahwa tafsir kontekstual itu tidak terhindarkan karena tak ada pemahaman yang lahir di ruang hampa. Tapi ini disebut lain yang akan saya diskusikan dalam tulisan lain. Cukup katakan di sini, praktik politik dan mempengaruhi corak penafsiran al-Qur’an.
Dalam buku-kitab sejarah Islam, kata “khalifah” itu disematkan kepada para pemimpin politik pasca wafatnya Nabi Muhammad.Empat khalifah pertama disebut “khulafa ‘rasyidun”, para khalifah yang baik. Tapi sebenarnya kita tidak punya bukti dokumenter yang ditulis sezaman dengan khulafa ‘rasyidun yang menunjukkan bahwa mereka memang disebut khalifah pada zamannya. Mereka penyebutan sebagai khulafa ‘(bentuk jamak dari “khalifah”) lebih merupakan proyeksi ke belakang yang dilakukan oleh para penulis Muslim di era itu pemimpin politik yang disebut khalifah.
Disebut kita tahu, kitab-kitab yang menyebut Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai khulafa ‘itu ditulis pada zaman Abbasiyah.Barangkali Abdulmalik bin Marwan, pemimpin dari dinasti Umayyah, yang pertama disebut sebagai khalifah. Ini terbukti dari mata uang koin yang dikeluarkan oleh Abdulmalik. Khalifah Umayyah ini melakukan reformasi uang dan mencetak uang dalam beberapa versi, dari yang semula mata uang Persia hingga akhirnya mengeluarkan koin dengan gambar dirinya dengan tulisan di bagian pinggir: khalifah Allah.
Lama, para pemimpin kaum Muslim itu disebut “amirul mu’minin” (perangkat kaum beriman). Apa yang dilakukan Abdulmalik itu tidak mengagetkan dan menyebar dengan proyek “Islamisasi” dan “Arabisasi” yang gencar dilakukan di zamannya. Kontribusi khalifah Abdulmalik bagi formasi islam seperti kita saksikan sekarang sangat besar. Kata “khalifah” dan “khilafah” pun menjadi kosa kata politik yang terwariskan hingga saat ini.
Baca Juga: Islam Tidak Mengenal Konsep Mayoritas-Minoritas
Namun demikian, khilafah Umayyah justru dianggap tidak cukup Islami oleh dinasti yang menggulingkannya, khilafah Abbasiyah.Revolusi Abbasiyah yang memungkinkan berbagai intrik politik yang kotor, manipulasi, dan pembodohan yang mungkin tidak ada dalam sejarah. Dan juga pertumpahan darah.
Tapi alih-alih dari khilafah ke jalur yang diarahkan oleh empat khalifah pertama, para pemimpin Abbasiyah pada sistem pemerintahan dari Sasanid Persia. Misalnya, dalam struktur pemerintahan yang digunakan oleh Wazarah, yang mungkin selevel dengan kantor Perdana Menteri. Para teoritisi politik Muslim diusulkan, sistem Wizarah yang baru terbit pada zaman Abbasiyah, dan dipinjam dari Persia. Maka, penulis teori politik Islam seperti al-Mawardi atau Abu Ya’la telah merumuskan tugas-tugas “wazir” yang terkait dengan tata cara negara tidak berbenturan dengan otoritas khalifah.
Pengadopsian model pemerintahan Persia juga tidak mengagetkan karena banyak khalifah berasal dari birokrat Persia, seperti Ibnu Muqaffa atau Nizam al-Mulk. Dan pengadopsian itu memang wajar karena khilafah memang tampil politik dan bukan agama.
Bukan saja sistem khilafah tidak termasuk rukun Islam dan rukun iman, juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau praktik Nabi. Sejarah juga membuktikan bahwa khilafah itu produk politik (dan sudah terbukti gagal). Jadi, tolong jangan identikkan khilafah dengan Islam!
oleh: Prof. Mun’im Sirry, Ph.D.
Sumber : https://www.harakatuna.com/khilafah-produk-politik-bukan-agama.html