Sepertiga Malam

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Terorisme merupakan salah satu fenomena global berupa ancaman yang menjadi permasalahan dunia termasuk Indonesia. Sejak pertama kemuncul...


Terorisme merupakan salah satu fenomena global berupa ancaman yang menjadi permasalahan dunia termasuk Indonesia. Sejak pertama kemunculannya, aksi serangan teroris terus bertransformasi; baik dari segi organisasi, target dan modus operandinya. Evolusi gerakan yang dibuat oleh pihak radikalisme dan terorisme meniscayakan negara untuk terus beradaptasi dalam memberikan respons secara proporsional dalam penanganan terorisme. Kelihaian dalam merespon tidak dimiliki oleh setiap lembaga dan civil society dalam negara. Dibutuhkan syarat kelihaian ini agar tidak terjadinya collateral damage.
Beberapa terakhir ini, muncul perdebatan di kalangan publik mengenai sejauh mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat terlibat dalam menangani aksi radikalisme dan terorisme di tanah air. Kekhawatiran itu disebabkan akan terjadinya pergeseran dari criminal justice model yang mengedepankan penegakan hukum pada war model yang mengedepankan pengerahan kapasitas militer. Kekhwatiran ini semakin menguatkan masyarakat di tengah pandemi seperti saat ini.
Clark McCauly membagi dua pendekatan dalam menangani terorisme, yakni criminal justice model dan war model. Pendekatan pertama ini digunakan oleh institusi kepolisian untuk menjadi garda terdepan dalam upaya penanganan terorisme. Dalam konteks demokrasi, memang pendekatan ini lebih cocok ketimbang war model. Lebih dari itu, pelibatan TNI secara berlebihan dalam penanganan terorisme beresiko terhadap terjadinya tumpang tindih penugasan; militerisasi kepolisian.
Pendekatan war model hanya digunakan oleh negara-negara otoriter, walaupun seperti Amerika Serikat yang menganut demokrasi liberal pun dalam beberapa praktiknya menerapkan. Michael C Desch dalam Civilian Control of the Militery: The Changing Security Environment (1999) mengatakan bahwa pelibatan militer berpotensi terhadap pelemahan kontrol sipil terhadap militer seperti yang pernah terjadi di Argentina. Pendekatan ini dinilai tidak efektif, sebab war model sangat memicu respons yang lebih besar dari kelompok teroris.
Dalam sejarah keindonesiaan, kehadiran militer dalam penanganan terorisme akan menjadi pintu masuk atas kembalinya otoritarianisme; kontrol militer atas sipil. Implikasi dari ini adalah teramputasinya hak-hak sipil seperti era Orde Baru. Pada zaman Orba, serangan teror pembajakan pesawat DC-9 Garuda Indonesia Airways No 209 (Jakarta-Medan) atau yang dikenal dengan Operasi Woyla 1981 memicu pembentukan unit khusus dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); yakni unit Detasemen Penanggulangan Teror 81 atau Den Gultor 81 Kopassus. Di samping itu juga, Angkatan Laut dan Udara membentuk sebuah satuan yang dikenal dengan Denjaka Marinir (Detasemen Jalamangkara) dan Den Bravo Paskhas (Detasemen Bravo). Kewenangan dan pendekatan war model kala itu membuat institusi kepolisian berfungsi sebagai garda pendukung. Artinya, jika pelibatan militer disahkan maka potensi Orba akan terjadi lagi dalam penanggulangan terorisme.
Syukurlah Indonesia kala Era Reformasi, pergantian sistem politik berdampak pada pemisahan antara fungsi Polri dan TNI. Dimana Polri bertanggung jawab pada sektor keamanan, sedangkan TNI bertanggung jawab pada sektor pertahanan. Pembagian tugas ini cukup ideal. Maka oleh sebab itu, ketika serangan Bom Bali I pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memberi mandat kepada Kepolisian untuk membentuk unit khusus dalam penanganan terorisme, yaitu Detasemen Khusus 88 yang berada di bawah Bareskrim Mabes Polri.
Tugas yang dijalankan Densus 88 ini dalam konteks negara yang berasaskan Pancasila cukup efektif dengan pendekatannya yang menekankan aspek penegakan hukum. Misalnya, fungsi intelijen (diteksi dini, analisis dan kontra-intelijen); fungsi represif (negosiasi, pencegahan, penetrasi dan penjinakan bom); fungsi investigasi (pemeriksaan TKP, saksi dan terdakwa, mengajukan bukti dan kasus); dan fungsi pendukung (penyediaan peralatan seperti komunikasi, transportasi, logistik, koordinasi dan kerjasama nasional-internasional). Kemudian dalam perjalanan waktu, terbentuk pula Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui peraturan Perpres No 46 Tahun 2010 tentang Pembentukan BNPT.
Alur tugas dan fungsi-fungsi yang diperankan oleh Densus 88 dalam penanganan terorisme lebih mengedepankan aspek penegakan hukum dan hak asasi manusia, yang mengacu pada sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Artinya, pendekatan criminal justice model yang diperankan Kepolisian berasaskan cara-cara damai, akuntabel dan memiliki legitimasi dari unsur sipil. Cara ini pula yang digunakan di Eropa seperti Belanda, Jerman, Inggris, Perancis dan negara yang memiliki stabilitas sistem politik. Adapun negara yang menggunakan war model seperti negara yang di bawah rezim Assad saat menghadapi ISIS di Suriah.
Oleh sebab itu, alasan rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme yang diserahkan ke DPR, kemudian DPR memberikan pertimbangan pada Pemerintah dapat mengancam HAM di Indonesia dan mengembalikan memori lama rakyat Indonesia pada rezim otoriter (Orde Baru). Mengapa? Perpres ini sebagai kunci utama TNI dalam menjalankan wewenangnya dan mandat yang sangat luas. Disamping itu meniadakan mekanisme akuntabilitas militer yang jeals untuk tunduk pada sistem peradilan umum. Kekosongan aspek itu dalam menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) disamping berbahaya juga memberikan cek kosong bagi militer.
Rancangan Perpres pun tidak mengatur secara eksplisit dan detail maksud dari kalimat “operasi lainnya”, yang terbunyikan dalam pengaturan kewenangan TNI tersebut. Ini sama saja dengan menimbulkan kecurigaan mendalam di tubuh rakyat Indonesia bahwa militer kembali mengambil fungsi yang sangat luas, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun hanya mengenal istilah “pencegahan”; di mana tugas kewenangan tidak diberi kepada TNI (lihat pasal 7 Rancangan Perpres).
Dalam konteks upaya penegakkan HAM di Indonesia, rancangan Perpres ini dapat mengancam kehidupan hukum dan HAM. Militer yang sejatinya bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dan jati dirinya sebagai raison d’etre, tiba-tiba diberikan kewenangan yang berlebihan menjadikan hal tersebut paradoks dengan jati dirinya sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang bukan pencegahan terorisme. Dalam perspektif alat pertahanan negara, objek militer seharusnya berfungsi dalam menghadapi ancaman terorisme di luar negeri, seperti umumnya diketahui ketika adanya pembajakan kapal atau pesawat Indonesia, operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri dan lain sebagainya.
Dengan adanya tugas penangkalan (istilah yang asing) dan penindakan yang bersifat bukan perbantuan dalam mengatasi kejahatan di dalam negeri, akan menimbulkan overlapping dan tumpang tindih antara penegak hukum (Kepolisian) dan TNI. Artinya, Rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebagai pasal tertinggi dalam tubuh TNI, pasal per-pasal dalam Perpres pun akan bertabrakan dan telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI.

Pecihitam.org – Organisasi Front Pembela Islam (FPI) baru-baru ini merayakan miladnya yang ke-21 di Stadion Rawa Badak, Jakarta Utara....



Pecihitam.org – Organisasi Front Pembela Islam (FPI) baru-baru ini merayakan miladnya yang ke-21 di Stadion Rawa Badak, Jakarta Utara. Sang Imam Besar, Habib Rizieq Shihab, juga tidak ketinggalan dalam memberikan ucapan selamat atas usia FPI yang sudah lumayan matang, meski sayang sang guru besar tak bisa hadir pada perayaan milad.

Ucapan selamat itu bisa disaksikan langsung dalam konsep ceramah monolog di channel akun Youtube Front TV. Beliau menghimbau bahwa di usia FPI yang ke-21 ini, para anggotanya harus lebih memantabkan langkah perjuangan untuk merajut persaudaraan dan menjaga bangsa serta negara dengan dakwah dan hisbah.

Ada hal menarik yang penting dicermati terkait materi ceramah Habib Rizieq, di antaranya, selain berisi soal motivasi dan semangat baru, beliau juga menyinggung soal “NKRI Bersyariah dan Pancasila bukan Pilar Negara”. Menurutnya, Pancasila bukanlah pilar negara, orang yang menganggap Pancasila sebagai pilar negara, berarti ia tidak paham konsitusi.

HRS juga menuturkan bahwa hanya syariah saja yang mampu menjaga dan melindungi NKRI dan Pancasila dari paham komunis-sosialis serta paham liberal-kapitalis. Alasannya jelas, hanya syariah yang mampu melestarikan kemurnian tauhid ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tauhid dan syariah, adalah roh dari NKRI dan Pancasila sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Boleh jadi, pandangan Habib Rizieq Shihab ini benar dan penting untuk diapresiasi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang agaknya janggal dan perlu untuk diklarifikasi. Khususnya soal “NKRI Bersyariah” dan upaya untuk menegakkan syariat Islam yang beriringan dengan Pancasila. Sebab, bagi sebagian besar masyarakat, Pancasila sendiri sudah sangat syariah, tanpa perlu memberi embel-embel NKRI Bersyariah.

Baca Juga:  KH. Muslim Rifai Imampuro, Ulama Pencetus Slogan “NKRI Harga Mati”

Di samping itu, agaknya juga berlebihan bila harus menyebut NKRI ini sebagai negara tauhid. Karena istilah ini sangat dekat dengan terminologi Islam dan khawatir menyinggung perasaan umat non-muslim yang memiliki hak yang sama dalam naungan NKRI. Sebab, NKRI dan Pancasila menaungi banyak sekali keyakinan dan agama, baik agama-agama yang diresmikan secara konsitusi, maupun keyakinan masyarakat lokal yang tidak bisa disebut agama.

Saya sendiri lebih setuju bila Pancasila disebut sebagai Dasar Negara ketimbang Pilar Negara. Sebagai dasar, tentu statusnya lebih penting dan fundamental bagi negara ini. Pilar Negara, tidak akan mungkin ada bila dasarnya belum dibentuk. Dari dasar negara itulah, maka pilar-pilarnya didirikan untuk menyangga negara agar makin kokoh dan kuat.

Menurut Antonio Gramsi, bila negara ingin berdiri, sekurang-kurangnya harus memiliki tiga hal, yakni militer, polisi, dan ideologi. Tapi ketika ideologi negara itu sudah kuat, maka militer dan polisi tidak terlalu dibutukan. Pada titik inilah, Pancasila menjadi fundamen yang paling kuat, baik sebagai ideologi pemersatu maupun falsafah hidup suatu bangsa. Pancasila mungkin bukan ideologi yang sempurna, tapi sejauh ini hanya pancasila-lah satu-satunya ideologi yang mampu menyatukan berbagai perbedaan dan keragamaan masyarakat di Indonesia.

Baca Juga:  Katanya Haul Kyai dan Habaib Itu Sesat, Ternyata Haul Ulama Wahabi Begini

Setiap individu dan kelompok agama tertentu merasa bahwa pancasila telah sesuai dan searah dengan keyakinan mereka. Bila ideologi ini diganti, atau katakanlah dikasi embel-embel syariah, maka akan menjadi janggal dan barangkali tidak lagi sejalan dengan keyakinan masyarakat yang non-muslim. Karena istilah “tauhid” dan “syariah” murni milik orang Islam, sementara Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama, melingkupi hampir seluruh keyakinan yang dimiliki masyarakat.

Karenanya, Pancasila bukan hanya sekedar pilar negara, ia adalah dasar yang bisa menaungi semua jenis perbedaan dan menjadi belief system yang berisi konsep, prinsip, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di suatu negara. Inilah yang menjadi landasan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hemat saya, Pancasila ini lebih tepat disebut sebagai pilar kebangsaan daripada pilar negara. Seperti yang kita tahu bahwa selain pancasila, masih ada tiga hal penting lainnya yang menjadi penyangga negara. Yakni Undang-undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Bila mau disebut pilar, maka keempat inilah yang menjadi penyangga utama berdirinya Indonesia. Bila satu lumpuh, maka negara ini bisa pincang dan sangat mengancam keutuhan negara.

Dengan demikian, wacana tentang NKRI Bersyariah bukan hanya tidak perlu, tetapi juga sedikit-banyak keliru dalam konsep dan narasi yang dibangunnya. Kita tidak perlu sokongan istilah “NKRI Bersyariah” untuk menjadi warga-umat Islam yang taat, kita juga tidak perlu embel-embel tauhid untuk meyakinkan kita bahwa negara ini sangat berketuhanan Yang Maha Esa atau tidak bertuhan.

Baca Juga:  Ketika Umat Islam Belum Mampu Bedakan Penceramah dengan Ulama

Sejak Indonesia berdiri, Islam sudah menjadi kekuatan paling utama dalam pendirian negara. Segala sesuatu yang berkaitan dengan politik, hukum, dan konsitusi, selalu disesuaikan dengan semangat keislaman dan sebisa mungkin juga disesuaikan dengan misi agama-agama lain.

Sebagai umat Islam, kita tidaklah hidup sendirian, masih ada jutaan umat lain yang juga berada di bawah naungan ideologi negara. Bila penekanan interpretasi pada Pancasila dan NKRI ini diubah atas nama jatidiri Islam bersamaan dengan konsep-konsepnya, maka dikhawatirkan akan menimbulkan polemik kebangsaan dan menyinggung umat dari agama-agama lain, yang pada akhirnya bisa menjadi konflik berkepanjangan.

Saya kira, kita semua tidak ingin hal-hal seperti itu terjadi. Justru yang perlu kita tekankan sekarang ini adalah sebaik mungkin menjaga keutuhan negara dan saling mempererat persaudaraan sesama umat sesuai dengan agamanya masing-masing.

Sumber : https://pecihitam.org/pancasila-lebih-dari-sekedar-pilar-negara/

DutaIslam.Com - Sudah 74 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih ada "orang" di Indonesia yang secara psikologi politik merasa m...

DutaIslam.Com - Sudah 74 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih ada "orang" di Indonesia yang secara psikologi politik merasa malu, risih, bahkan berdosa mengakui Indonesia sebagai negara dan bangsanya. "Orang" di Indonesia lahir, besar, hidup dan mencari penghidupan di sini tanpa bangsa dan negara. Mereka bukan warga negara asing yang memiliki paspor luar negeri. Karena di luar Indonesia mereka juga tidak punya bangsa dan negara.

"Orang" di Indonesia kebanyakan bagian dari komunitas transnasional. Komunitas transnasional merupakan komunitas yang identitas budaya, kesetiaan politik dan orientasi psikologisnya melampaui batas-batas nasional. (Andrew Heywood, terj. 2016:326). Di antara komunitas transnasional yang menonjol adalah  ISIS, HTI dan sebagian Salafi Wahabi.

"Orang" di Indonesia memandang Indonesia dari perspektif komunitas mereka. Dari doktrin, nilai, norma dan standar mereka. Persepsi-persepsi ini sudah jadi dogma yaitu keyakinan tertutup yang tidak diuji, diverifikasi dan dikonfirmasi dengan kenyataan. Keyakinan yang ditanamkan sebagai materi pembinaan.

Ciri khas "orang" di Indonesia menjadi bagian dari komunitas transnasional mereka mencita-citakan kehidupan kosmopolitanisme melintasi bangsa dan negara bangsa. Kosmopolitanisme secara harfiah berarti keyakinan terhadap kosmopolis atau negara dunia. Kosmopolitanisme moral adalah keyakinan bahwa dunia seharusnya terdiri atas satu komunitas moral tunggal di mana setiap orang memiliki kewajiban kepada orang lain apapun nasionalitasnya, agama, budaya dan etnisnya. (Andrew Heywood, terj. 2016:327). Kosmopolitanisme dalam bentuk Khilafah.

Hal mendasar yang membuat "orang" di Indonesia tidak bisa menjadi Indonesia  karena faktor ideologi dan sejarah. Menurut mereka ideologi negara Indonesia, ideologi kufur, pemerintahannya thaghut, hukumnya hukum jahiliyah, penguasanya pengkhianat antek-antek Barat, sejarah terbentuknya buah dari gerakan separatis (bughat) terhadap Khilafah Utsmaniyah dan proyeksi masa depan Indonesia yang tidak sesuai dengan Nubuwwah Nabi saw tentang Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah.

Sebenarnya sudah banyak kajian ilmiah fiqhiyah yang membantah persepsi mereka. Nah, tidak ada salahnya dibongkar kembali persepsi mereka guna mengurai kekusutan nalar, meluruskan pemahaman dan menghilangkan beban serta hambatan psikologi politik "orang" di Indonesia menjadi orang Indonesia seutuhnya.

Secara global  kesalahan fatal "orang" di Indonesia seperti HTI dan ISIS, mereka mencampuradukkan fakta bentuk negara, sistem pemerintahan, sejarah berdirinya negara dan perilaku penguasa. Akibatnya, nalar mereka kusut. Tentu tidak sesuai tradisi berpikir fiqih Islam  "menghukumi fakta per fakta secara terperinci". Apakah karena kedangkalan ilmu mereka atau karena kemalasan berpikir serius, sistematis, metodis dan mendalam atau karena ghirah keberislaman yang over dosis, yang pasti mereka keliru menilai Indonesia.

Mengingat pembahasan syar'i tentang negara, pemerintahan dan penguasa sudah banyak, kali ini saya mau meluruskan pemahaman "orang" di Indonesia tentang masa lalu dan masa depan Indonesia. Masa lalu terkait dengan sejarah pembentukan negara Indonesia, sedangkan masa depan membahas positioning Indonesia berhubungan dengan Nubuwwah Nabi saw.

Nasionalisme: Unifikasi Anti Kolonial
Bagi "orang" di Indonesia, Khilafah Turki Utsmani negara ideal yang jadi standar untuk menilai keabsahan negara lain. Meskipun idealisme ini jauh dari kenyataan, "orang di Indonesia menyalahkan keberadaan negara muslim selain Khilafah Turki Utsmani.

Sudah menjadi fakta sejarah, negara-negara Arab modern terbentuk dari konspirasi Eropa dengan penguasa lokal untuk memberontak terhadap Khilafah Turki Utsmani. Ide nasionalisme yang diusung penguasa Arab saat itu, nasionalisme separatisme anti Turki Utsmani pro kolonial Eropa. Kenyataan ini membuat "orang" di Indonesia mengharamkan nasionalisme.

Lain halnya dengan sejarah Arab modern, rakyat Indonesia  kemerdekaannya 17 Agustus 1945, 21 tahun setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmani. Khilafah Turki Utsmani resmi dibubarkan pada tanggal 3 Maret 1924. Jadi tidak masuk akal jika Indonesia berdiri sebagai hasil pemberontakan (separatisme) terhadap Khilafah Turki Utsmani karena ketika Indonesia berdiri Khilafah Turki Utsmani sudah tidak ada.

Selain gagal paham soal proses pembentukan negara Indonesia, "orang" di Indonesia  mewacanakan persatuan umat sebagai alasan syar'i untuk mendirikan Khilafah.

Mereka mengambil fakta unifikasi negara Eropa ke dalam Uni Eropa sebagai bukti kemungkinan unifikasi umat dalam bingkai Khilafah. Unifikasi Eropa secara terbatas pertama kali tahun 1957. Sampai sekarang baru bisa menggabungkan 27 negara. Unifikasi Eropa sebentuk asosiasi negara-negara Eropa bukan leburan yang membentuk satu negara kesatuan baru.

BACA JUGAMengapa NKRI Bersyariah Ramai-ramai Ditolak Bahkan oleh Umat Islam?Pemimpin Kafir dan Pemimpin MuslimKarena Belas Kasih Raja, Orang Eropa yang Kelaparan Diterima di Nusantara

Lagi-lagi "orang di Indonesia gagal membaca sejarah Indonesia. Indonesia 12 tahun ebih dulu dari unifikasi Eropa. Indonesia berdiri hasil unifikasi dari berbagai kesultanan di nusantara, ormas-ormas Islam dan kalangan non Islam.

Hasil riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2012, ada 186 kerajaan yang masih eksis secara fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.

Di antara 186 kesultanan yang secara garis keturunan dan budaya masih kuat di antaranya Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Surakarta, Kasultanan Cirebon, Kerajaan Ternate, dan Kesultanan Kanoman. http://m.liputan6.com/news/read/2371749/5-kerajaan-yang-masih-eksis-di-tanah-air. Berbeda dengan nasionalisme Arab,  nasionalisme Indonesia bersifat  unifikasi dan anti kolonial.

Indonesia Makmur Tanpa Khilafah
Dari 400-an hadits tentang Nubuwwah akhir zaman, tidak ditemukan hadits yang menyebut Indonesia secara spesifik. Juga tidak ada hadits yang menunjuk langsung atau dengan qarinah (indikasi) bahwa Indonesia akan jadi Khilafah. Sehingga positioning Indonesia di masa depan dapat diprediksi dari keumuman dalil tentang keadaan negeri-negeri di akhir zaman.

Jumhur ulama sepakat bahwa Khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang kedua akan terjadi di bawah kepemimpinan Imam Mahdi didampingi Nabi Isa as. Adapun pendapat yang mengatakan Khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang kedua terwujud sebelum Imam Mahdi, pendapat ini masih khilafiyah karena bersandar pada dalil-dalil umum tentang kemakmuran umat di akhir zaman. (Al-Hajj: 40; Ash-Shaffat: 171-173; Muhammad; 7; Al-Mujadilah; 21; Al-A'raf: 128; Al-Anbiya: 105; Al-Mu'min: 51; An-Nur: 55).

Sedangkan Khilafah yang dipimpin oleh Imam Mahdi secara khusus disebutkan dalam sejumlah hadits. Imam Mahdi dibai'at di Makkah dekat Ka'bah antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim (HR. Nu'aim bin Hammad, Hakim dan Ath-Thabari dalam Ausath dari Ummu Salamah. Abu Dawud kitab al-Mahdi no. 4286 dan al-Hakim kitan al-Fitan wal Malahim no. 8326). Kemudian Imam Mahdi melakukan ekspansi di jazirah Arab, menaklukkan Persia dan malhamah kubra di A'maq dan Dabiq dekat Damaskus.

Adapun Nabi Isa bin Maryam akan turun di menara putih bagian timur kota Damaskus (HR. Muslim, kitab al-Fitan wa Asyrath As-Sa'ah, ban Dzikr ad-Dajjal 18: 67-68). Kemudian Nabi Isa as membunuh Dajjal dekat Baitul Maqdis (HR. Ahmad, Baqi Musnad al-Mukatstsirin hadits no. 14965, Ibnu Majah, hadits no. 4077).

Berdasarkan keumuman dalil-dalil kemenangan, kejayaan dan  kemakmuran umat Islam dan merujuk pada kekhususan hadits-hsdits tentang Imam Mahdi dan Nabi Isa as di mana setting lokasinya di kawasan Arab yaitu Makkah, Madinah, Hijjaz, Syam, A'maq, Dabiq, Damaskus dan Baitul Maqdis, maka bisa diprediksi umat Islam di Indonesia juga mengalami masa kemakmuran gemah ripah loh jenawi walaupun bukan pusat Khilafah 'ala minhajin nubuwwah.

Dengan demikian di masa depan Indonesia makmur dan sejahtera tanpa harus jadi Khilafah. Perjuangan "orang" di Indonesia akan sia-sia karena bertentangan dengan hadits-hadits tentang Imam Mahdi dan Nabi Isa as. Belum terlambat untuk  kembali ke Indonesia. Jadilah Indonesia lahir batin. Menjadi Indonesia kewajiban syar'i bagi pribumi dan warga negaranya.⁠⁠⁠⁠ [dutaislam.com/gg].

Sumber : https://www.dutaislam.com/2017/08/dosakah-menjadi-indonesia-catatan-untuk-komunitas-transnasional.html

By   bahir albasil  - Bagi masyarakat berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, ibadah haji adalah dambaan bag...


Bagi masyarakat berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, ibadah haji adalah dambaan bagi setiap orang. Akan tetapi dalam menjalankannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta fisik yang sehat. Melakukan ibadah haji membutuhkan perjuangan, yaitu memperjuangkan sebagian hartanya dan juga berjuang secara fisik agar dapat pergi ke tanah suci.
Karena butuhnya kesungguhan dan kemampuan itulah haji disebut pula sebagai ibadah jihad. Sebagaimana Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan.”
Setelah sampainya di Makkah jamaah juga masih harus melakukan rukun haji yang juga membutuhkan fisik yang kuat untuk dapat menyelesaikannya, seperti melakukan Wukuf, Tawaf dan juga Sa’I. Selain itu mereka harus menghadapi teriknya cuaca disana. Oleh karenanya, sudah pantas apabila ibadah haji juga dapat di katagorikan sebagai jihad di jalan Allah karena butuhnya kekuatan fisik dalam menghadapi semua halangan dan rintangan untuk mencapai haji yang mabrur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519).
Haji sebagai Cara Jihad
Hadist di atas menegaskan bahwa sejatinya haji adalah bagian dari ibadah mulia seperti jihad. Ibadah haji menjadi pilihan berjihad bagi perempuan dan orang tua yang tidak mampu secara fisik untuk terlibat dalam medan perang. Begitu pula haji menjadi pilihan jihad damai bagi orang-orang yang berada dalam kondisi damai bukan perang.
Seperti yang kita ketahui, wanita dan orang tua yang sudah lanjut usia tidak memiliki tenaga dan fisik yang kuat untuk berperang (berjihad) pada zaman Rasulullah. Meski tidak dapat ikut serta dalam peperangan wanita dan orang tua lanjut usia dapat memperoleh pahala jihad tanpa harus berperang, yakni dengan menjalankan ibadah haji.
Dahulu Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada rosulullah:
“Ya Rasulullah, kami perhatikan jihad adalah sebaik-baik amal, mengapa kami (para wanita) tidak (dianjurkan) berjihad?” Jawab beliau, “Tetapi jihad terbaik adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari)
hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jihadnya orang tua, orang lemah dan wanita adalah haji dan umrah.” (HR. An-Nasa’i).
karena itulah, bagi mereka yang tidak mampu berjihad dengan fisik mempunyai alternatif dengan berjihad melalui haji. Tentu saja bukan hanya perempuan dan orang tua sebagaimana disebutkan di atas. Kondisi yang tidak memungkin berjihad seperti kondisi damai, tidak menutup orang untuk berjihad. Nabi memberikan pilihan terbaik dengan ibadah haji.
Mari kita umat muslim berusaha sekuat tenaga untuk menunaikan ibadah haji. Allah telah menyediakan balasan yang setara dengan berjihad di jalan Allah. Allah pun akan membalas setiap amal yang kita kerjakan sesuai dengan niatnya, dan jangan pernah sekalipun memiliki niat beribadah agar terlihat tinggi di hadapan manusia. Karena itu akan membawa kita pada sifat takabur. Naudzubillah himindzalik….
Wallahu a’lam
*Saparudin MH, Pengamat sosial-keagamaan, tinggal di Bekasi.

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ ...


هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran, 03:07).

Ayat-ayat al-Qur’an, terdiri dari dua bagian, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang memberikan informasi secara jelas dan mudah dipahami isinya. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang sulit dipahami baik maknanya, ataupun maksud-maksud yang ditetapkannya. Ayat-ayat muhkamat jumlahnya jauh lebih banyak dari ayat-ayat mutasyabihat. Contoh ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, tentang kepastian akidah, tentang hukum waris, dan sebagainya. Contoh dari ayat-ayat mutasyabihat antara lain, huruf-huruf abjad yang ada di awal beberapa surat al-Qur’an, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra’, Kaf Ha’ Ya’ ‘Ain Shad, dan sebagainya.

Ayat ini menjelaskan, bahwa sikap manusia terhadap diturunkannya ayat-ayat mutasyabihat tersebut ada dua macam, yaitu (1) orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit kejiwaan, yang tidak menghendaki kebenaran, dan menjadikan ayat-ayat itu sebagai sarana untuk melakukan fitnah. Fitnah itu terus mereka sebarkan di berbagai kalangan dengan tujuan untuk mengacaukan masyarakat. Kelompok yang ke (2) adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat luas dan mendalam, mereka ingin mencari kebenaran dan hikmah dari ayat-ayat mutayabih tersebut dengan ilmu dan kemampuan yang dimilikinya. Apabila mereka tidak sanggup atau belum sanggup memahaminya, mereka berserah diri secara total kepada Allah s.w.t. sambil berdoa dan memohon petunjuk.

Mereka yang memiliki ilmu yang mendalam ini, adalah sering melakukan penelitian terhadap alam semesta dengan segala peristiwanya yang menakjubkan. Dari penelitian itu, mereka memahami kebenaran yang datangnya dari Allah s.w.t. dan dapat melahirkan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, seperti sains dan teknologi. Ilmu itu terus berkembang dalam hidup dan kehidupan manusia, sehingga melahirkan karya-karya besar yang spektakuler, yang bermanfaat bagi umat manusia dari masa ke masa.

Mereka yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam itu, selalu mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., dan selalu memohon bimbingan dan hidayah-Nya, disebutkan ayat berikutnya:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

“(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. (QS. Ali Imran, 03:08).

Mereka memohon dan berdoa kepada Allah s.w.t. agar senantiasa dipelihara, dibimbing, dan diberi petunjuk. Mereka juga memohon kepada Allah s.w.t. agar tidak tergelincir ke lembah kenistaan dan tersesat dari jalan yang benar. Mereka selalu memohon petunjuk menuju kebahagiaan yang abadi, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat.

Orang-orang yang ilmunya luas dan mendalam, tergolong orang-orang yang paling bertakwa kepada Allah s.w.t.. Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka akan memahami secara sempurna terhadap keagungan Allah s.w.t., dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang ada dalam alam semesta yang berada di luar kita, yang disebut macro cosmos dan mereka juga memahami segala hal yang ada dalam dirinya yang menegaskan tentang keagungan ciptaan-Nya yang disebut micro cosmos. Selain memahami berbagai macam keagungan Allah dalam kehidupan dunia ini, mereka juga sangat memahami dan meyakini secara kuat tentang datangnya hari Akhirat. Semua manusia akan dimintai pertanggung jawaban tentang amal dan ibadahnya di dunia, pada saat mereka mengawali kehidupan di akhiratnya.

Selanjutnya mereka menyatakan keyakinannya tentang hari akhirat, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini:

رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji”. (QS. Ali Imran, 03:09).

Mereka yang ilmunya sangat mendalam itu, sangat meyakini tentang kehidupan hari akhirat. Hari itu merupakan hari pembalasan bagi setiap amal perbuatan manusia. Mereka yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Mereka yang tidak beriman dan berbuat keburukan akan memperoleh keburukan dan azab yang setimpal dengan aktivitasnya ketika mereka berada di dunia. Allah s.w.t. mengumpulkan semua umat manusia, untuk dimintai pertanggung jawaban atas amanah yang diberikan kepada mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Allah telah memberikan amanah dan tugas kepada umat manusia sebagai khalifah agar mengelola alam ini bagi kesejahteraan semua makhluk. Setiap diri manusia akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat nanti, apakah ia melaksanakan amanat yang luhur itu, atau mengkhianatinya. Mereka yang melaksanakan amanat itu dengan baik akan meraih kebahagiaan yang hakiki dalam semua kehidupannya. Sebaliknya mereka yang mengkhianati amanat itu akan tercampakkan dalam kubangan kehinaan, baik di dunia apalagi di akhirat.

Dari tulisan ini, setidaknya dapat disumpulkan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an terdiri dari dua bagian, yang paling banyak adalah ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat yang mudah dipahami baik isi maupun maksdunya. Sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an itu terdapat ayat-ayat mutasyabihat, yang susah dipahami, baik isi maupun maksudnya. Mereka yang dalam hatinya terdapat penyakit kejiwaan sering menggunakan ayat-ayat mutasyabihat tersebut untuk menyebarkan fitnah dan kekacauan di kalangan masyarakat. Sebaliknya, orang-orang yang ilmunya sangat luas dan mendalam, akan berusaha memahami ayat-ayat itu dengan sungguh-sungguh, dan mengembalikannya kepada Allah s.w.t., apabila mereka belum atau tidak mampu memahaminya. Mereka yang beriman dan berilmu, akan melakukan berbagai penelitian terhadap alam semesta dengan segala peristiwanya untuk melahirkan karya-karya besar dan spektakuler, yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan umat manusia.

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

Link sumber :http://www.laduni.id/post/read/63888/ayat-muhkam-dan-mutasyabih.html

Pepatah lama mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama. Ekstrimitas selalu melahirkan ekstrimit...



Pepatah lama mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama. Ekstrimitas selalu melahirkan ekstrimitas baru. Selain ancaman radikalisme keislaman kita juga menghadapi ancaman nyata apa yang saya sebut sebagai gelombang nasionalisme “masturbasif.”
Memang benar bahwa secara diskursif jagad perpolitikan Indonesia kontemporer mengalami polarisasi narasi: narasi kebangsaan vs narasi keislaman (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, islami.co). Pada perkembangan lebih lanjut, yang mungkin pula karena kepentingan tertentu, narasi kebangsaan beringsut ekstrim, berlebihan, menang-menangan, tak hirau yang lain alias “masturbasif.”
Mereka gegabah dan telah salah baca terhadap narasi keislaman. Bagi mereka, pada praktiknya, apa yang berbau “Islam” selalu dikaitkan dengan radikalisme. Pada tataran mindset mereka sebenarnya sama saja dengan kalangan yang oleh para akademisi disebut sebagai kalangan “Islamis.” Dua titik ekstrim itu, kubu kebangsaan dan kubu keislaman, bertemu pada sesat pikir yang sama bahwa “Islam” itu satu dan seragam—seperti tak ada varian, renik, atau bahkan ketegangan di dalamnya.
Kalangan kebangsaan ekstrim seperti tak butuh dasar dari agama untuk menjadi, katakanlah, seorang nasionalis. Logika sederhana mereka adalah cukuplah tak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Mereka lupa bahwa agama di negeri ini adalah sebentuk modal sosial-kultural.
Tak mungkin dahulu negeri ini merdeka tanpa ada nilai-nilai keagamaan yang menggerakkannya. Kita tentu ingat fatwa jihad seorang KH. Hasyim Asy’ari yang tak langsung terberi sehingga melahirkan prinsip “hubbul wathan min al-iman.” Atau barangkali mereka tak pernah baca al-Qur’an tentang ayat yang mendukung logika bela negara? Atau mereka tak pernah kenal agama, bahkan non-muslim, hingga nahdliyin pun digebyahuyah tak ada bedanya dengan Muhammadiyah, FPI, HTI, IM, salafi wahabi dan salafi jihadi lainnya?
Baca Juga:  Hari Raya Kemanusiaan dan Kasih Sayang

Nasionalis ‘Masturbatif’ Itu Radikal?

Barangkali, mereka telah lupa pula pada sila ke-1 Pancasila dan UUD 1945 yang mengakui dan menjamin praktik dan nilai-nilai keagamaan. Taruhlah masalah jilbab, orang-orang yang mengklaim sebagai nasionalis ekstrim atau nasionalisme “masturbasif” dengan bodohnya sampai melarang pemakaian jilbab.
Perdebatannya sesungguhnya bukan pada jilbabnya atau tak berjilbab, tapi pada pemaksaannya, memaksa orang untuk berjilbab itu tak boleh dan memaksa orang untuk tak berjilbab juga tak boleh—keduanya sama sesat pikirnya, sama-sama bodohnya. Kadang saya berpikir, jangan-jangan kalangan yang menunjukkan nasionalisme ekstrim atau nasionalisme “masturbasif” hanyalah kalangan yang maunya enak sendiri, parasit, seperti orang yang tak kenal agama tapi ingin beroleh surga.
Ketika jatuh pada kesimpulan bodoh bahwa segala hal yang berbau Islam itu satu dan sama, kalangan nasionalis “masturbasif” setali tiga uang dengan kalangan Islam radikal. Ketika pun seandainya mereka berislam tak ada wajah lain yang tampak kecuali wajah radikalisme. Sesat pikir menentukan sesat tindakan, pola yang senantiasa berulang.
Apakah sulit enyahnya apa yang saya sebut sebagai populisme kanan yang menopang radikalisme keagamaan dan terorisme tersebab pula habitat—strukturisasi kebiasaan (the habbit)—untuk selalu membunuh karakter para ahli (the death of experts), untuk senantiasa dangkal dalam memahami dan menilai segala sesuatu laiknya pola pikir kaum wahabi—egalitarianisme yang membunuh, bukannya yang menumbuhkan (Era “Klambrangan,” Era Desas-desus, Heru Harjo Hutomo, alif.id)?
Nasionalisme Indonesia, seandainya hal ini ada, seperti apa kira-kira rumusannya? Saya ingat Soekarno yang butuh agama atau berangkat dari agama untuk merumuskan nasionalisme versinya: “ketuhanan dalam berkebudayaan.” Tak cukupkah hal ini untuk menampik gelagat parasit para pengikut nasionalisme “masturbasif”? Tak cukupkah hal ini untuk menyimpulkan bahwa nasionalisme Soekarno tak pula minim nilai-nilai keagamaan (religiositas)?
Baca Juga:  Beragama Berarti Menyayangi Sesama
Lantas, siapakah penggagas nasionalisme “masturbasif” tersebut? Mereka adalah kalangan yang dalam kurun tertentu pernah dimapankan oleh pola pikir populisme kanan. Selama pola pikir seperti ini dijadikan kebiasaan selama itu pula bangsa ini—entah warna apapun atau siapa pun pemenangnya—akan terus terjerumus ke dalam lubang kegamangan yang sama.
*Heru Harjo Hutomo, penulis lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik.

PWMU.CO – Kawasan Teluk Persia dalam tiga bulan terakhir seperti perut gunung berapi yang sedang meronta-ronta untuk meletus. Perang an...



PWMU.CO – Kawasan Teluk Persia dalam tiga bulan terakhir seperti perut gunung berapi yang sedang meronta-ronta untuk meletus. Perang antara Iran melawan AS dan sekutunya seolah tinggal menunggu waktu tak lama lagi.

Dipicu oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang secara sepihak keluar dari perjanjian nuklir dan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran tahun 2018. Ternyata Iran tidak gentar sama sekali. Malah mengancam meningkatkan industri nuklirnya.

Pesawat pengintai tanpa awak canggih Global Hawk milik AS seharga 176 juta dolar ditembak pasukan Iran pada 20 Juni 2019. Trump telah memerintahkan pasukannya menyerang Iran. Tetapi mendadak 10 menit sebelum peluit komando dititup, perintah dibatalkan.

Inggris yang sudah lama menjadi jongosnya AS memanaskan suasana dengan membajak pala tangker Iran di lepas pantai Gibraltar. Dibalas Iran dengan menahan kapal “Stena Impero” milik Inggris di Selat Hormuz.

Suasana semakin panas. Negara-negara Arab sekutu setia AS seperti Arab Saudi, UEA, ditambah Israel sudah gatal ingin AS dan Inggris segera menyerbu Iran. Bagi negara-negara Teluk, keberadaan Iran seperti pecahan beling yang mengganjal di kelopak mata.

Terakhir Inggris mau mengajak negara-negara Eropa untuk mengirim armadanya dengan dalih untuk pengawalan kapal-kapal niaga mereka. Intinya Inggris itu kebo gupak ajak-ajak artinya tidak mau kena akibat perang sendirian. Ingin melibatkan yang lain.

Mengapa Iran begitu gagah berani? Tanpa ada garansi dukungan dan perlindungan dari negara superpowerseperti Rusia dan Tiongkok. Sekadar gertak sambal ataukah realistis? Jangan-jangan Iran tak bedanya dengan Presiden Irak Saddam Hussein yang ternyata cuma besar mulut doang.

Iran sudah memperhitungkan setiap langkahnya secara seksama. Bahkan bagaimana langkah detail berikutnya sudah diperhitungkan layaknya menggunakan cyber drone.

Imam Mahdi
Iran berpenduduk sekitar 86 juta, sekitar 80 persen Muslim bermazhab Syiah—pendukung Sayidina Ali bin Abi Thalib. Sejak Ali wafat dan kekuasaan umat Islam ada di tangan Bani Umayyah, umat Syiah tertindas. Demikian pula ketika kekuasaan di tangan Bani Abassiyah baik yang Muktazilah maupun Sunni, nasih umat Syiah tak berubah. Demikian pula sampai zaman Turki Ottoman atau Ustmaniyah.

Implikasi dari ketertindasan yang begitu lama, membuat Syiah bersikap queitisme atau kecenderungan untuk diam dan bersikap apolitis. Bahkan menjadi asketis layaknya pertapa.

Intelektual Iran terkemuka, Ali Syari’ati menulis, Islam yang bersifat revolusioner telah menjadi agama yang kental status quo. Ulama Syiah mendukung kemapanan yang kuat. Ulama menjadi sumber utama penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan orang-orang serakah.

Menurut Ali Syari’ati, ulama memiliki hubungan organik dengan kemewahan melalui kelas berharta atau borjuis. Ulama mengabsahkan eksploitasi yang lebih kejam dari pada kapitalisme. Di tangan ulama akhund (dangkal ilmunya), Islam telah menjadi khordeh-i burzuazi(borjuasi kecil).

Terjadilah titik balik di tahun 1979. Umat Syiah seperti gunung yang sudah lebih 1000 tahun tidur tiba-tiba meletus dahsyat yaitu dengan menggelar revolusi Islam Iran yang dipimpin ulama zuhud Ayatullah Khomeini.

Revolusi Islam Iran meniru pola revolusi Islam Rasulullah. Di antara platform-nya revolusi harus pada ruhnya, isinya. Tidak seperti banyak negara yang revolusi hanya kulitnya atau dhahirnya. Islam harus berdiri di kaki sendiri. Sekalipun saat itu ada dua superpower Romawi dan Persia, tapi Nabi Muhammad tidak pernah minta perlidungan atau bersekutu dengan mereka. Mandiri secara ekonomi, politik, dan militer.

Jalurnya sudah jelas bahwa Iran dibangun untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi dan menjadi pengikut setianya. Kekuatan militernya dibangun untuk menghadapi Malhamah Kubro (perang akbar).

Imam Mahdi adalah pemimpin umat mukminin. Bukan hanya Syiah. Untuk itulah Iran menghindari permusuhan dengan mazhab lain. Tidak mau masuk pusaran polemik furuiyah baik di internal Syiah maupun dengan mazhab lain yang sudah berabad-abad. Polemik furuiyah itu menghabiskan energi, memperpanjang permusuhan internal Islam, dan siasat musuh Islam untuk mengadu domba.

Sesuai eskatologi Islam yang didasarkan pada hadits, Imam Mahdi nanti akan perang dengan Masihid-Dajjal. Dajjal adalah Al Masih versi zionis Israel yang didukung zionis Kristen dan zionis Muslim. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Iran bersikap sangat keras dan konsisten menentang Israel. Membantu faksi-faksi yang melawan Israel seperti Hezbullah, Hamas yang Sunni.

Malhamah Kubra
Imam Mahdi tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa akhir zaman yang mesti terjadi yaitu Malhamah Kubra atau perang besar antara kekuatan iblis melawan kekuatan Allah. Iran sudah memperhitungkan Israel bersama sekutunya yang akan jadi musuhnya. Untuk itulah kekuatan militernya disiapkan untuk Malhamah Kubra. Jangan heran kalau Iran sekarang mandiri dalam penyediaan alutsista.

Daily Express, Sabtu (27/7/19) menuliskan, Iran memiliki personil militer sebanyak 873.000 orang. Sebanyak 40 juta penduduknya layak untuk menjadi tentara. Dan salah satu kelompok yang paling ditakuti adalah Pasdaran. Mereka adalah milisi pengawal ulama. Untuk menjadi Pasdaran harus hafal Alquran.

Kekuatan darat memiliki 1.634 tank tempur, memiliki lebih banyak artileri self-propelled, artileri derek dan proyektor roket. Untuk laut, total aset angkatan laut Teheran, yang mencakup semua kapal yang tersedia termasuk tambahan, berjumlah 398. Iran memiliki pesawat tempur 509 termasuk buatan sendiri. Iran merupakan negara dengan kekuatan militer nomor 14 di dunia.

Kekuatan militer Iran ini memang tidak ada apa-apanya dibanding AS dan sekutunya. Tapi mengapa AS dan sekutunya seperti mati kutu? Bisa jadi AS masih percaya dengan jenderal AS legendaris, Jenderal McAthur bahwa pertempuran ditentukan oleh the man behind the gun, manusia di belakang senjata.

Tentara dan rakyat Iran memiliki moral perang yang sangat kuat. Terbukti ketika perang delapan tahun melawan Irak zaman Saddam Hussein, bayi revolusi Iran ternyata mampu bertahan. Tentara Iran selalu berlatih di medan nyata seperti Syuriah, Yaman, Lebanon, atau Irak. Tentu saja di atas segala-galanya adalah ideologi perang Iran yaitu syahid. Inilah yang paling ditakuti. Dan setiap api perang yang dikobarkan oleh Israel dan sekutunya adalah awal Malhamah Kubra.

Maka jangan heran kalau mantan anggota parlemen Inggris, George Galloway memperingatkan Amerika Serikat dan sekutunya di Teluk bahwa jika mereka menyerang Iran sama dengan membuka gerbang neraka. Sama saja memantik Perang Dunia III atau Malhamah Kubro. Allahu a’lam bisshawab. (*)

Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.
Sumber : pwmu.co
#muslim