Selasa, 07 Agustus 2018

Membentengi Keluarga dari Terorisme

Membentengi Keluarga dari Terorisme
Ilustrasi
Kendi, NU Online | Rabu, 23 Mei 2018 13:00
Oleh: Didik Novi Rahmanto 

Aksi terorisme yang baru-baru ini menggemparkan negeri memunculkan modus baru, yakni pelibatan anggota keluarga dalam aksi kejahatan luar biasa. Rentetan serangan teror yang terjadi di Surabaya diketahui dilakukan oleh keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Diperlukan strategi khusus untuk memastikan kejadian serupa tak terulang kembali.

Aksi serangan teror dengan melibatkan seluruh anggota keluarga memang merupakan modus baru dalam kancah terorisme. Meski begitu, benih-benihnya telah ada sejak lama, terutama dengan kemunculan ISIS. Kelompok teroris yang mulai kehabisan amunisi ini telah lama menggemakan panggilan kepada para simpatisan dan pengikutnya untuk mengajak serta seluruh anggota keluarga dalam aksi jahat yang mereka sebut jihad; terorisme. Panggilan untuk ‘hijrah’ pun diberikan bukan saja untuk suami, melainkan juga kepada para anak dan istri. 

ISIS pun telah menyiapkan peran-peran khusus untuk masing-masing anggota keluarga. Ayah atau kepala keluarga diberi peran sebagai tentara atau pejuang, sementara istri diberi peran untuk mengajari anak-anak mereka nilai-nilai ISIS serta membantu perjuangan kelompok teroris untuk mewujudkan delusi mereka mendirikan kekhalifahan tunggal untuk seluruh umat Islam di dunia.

Belakangan, para perempuan ini tak lagi mendidik dan merawat, mereka turun langsung ke ‘medan perang’ untuk menjadi syahidah. Lies Marcoes menyebut para perempuan ini ingin mencium bau surga bukan hanya melalui suami, tetapi juga melalui usaha sendiri.
Keterlibatan perempuan dalam gerakan dan aksi terorisme tentu menjadi alarm kuat untuk institusi keluarga. Perempuan adalah madrasatul ula(madrasah pertama) untuk anak-anaknya, karenanya mereka memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan arah masa depan keluarganya. Tak hanya terhadap anak-anaknya, beberapa kasus terorisme yang pernah terjadi juga menunjukkan betapa para istri telah memainkan peran besar dalam mempengaruhi suami dan anak-anak untuk turut ‘hijrah’ ke negeri antah barantah. 

Meneguhkan Peran Perempuan Sebagai Madrasarul Ula

Sebagai madrasah pertama untuk anak-anaknya, perempuan (ibu) adalah corong utama untuk segala informasi yang akan dicerna oleh anak, karenanya sudah sepatutnya para ibu mendapat asupan informasi yang baik dan benar. Dalam konteks ini, para ayah perlu mengambil peran untuk memberi arahan dan masukan, bukan perintah tanpa kesepakatan. 

Meski demikian, kemajuan teknologi informasi telah menghadirkan tantangan tersendiri bagi kesolidan keluarga. Dengan semakin berkembangnya teknologi internet, informasi dapat masuk kapan saja dan di mana saja. Anak-anak tak lagi menjadikan orang tua sebagai tumpuan informasi, segala hal yang ingin diketahui sudah terpampang bebas di internet. Padahal jamak diketahui, tak semua informasi di internet telah teruji kebenarannya. Dengan hanya bertumpu pada sisi kecepatan, internet lebih sering menyajikan informasi instan.

Sementara di waktu yang bersamaan, tuntutan ekonomi semakin menggilas waktu kebanyakan orang tua untuk bersama keluarga. Ayah, dan tak jarang ibu, lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah demi mengejar kebutuhan keluarga. Meski acap kali, kebutuhan yang dikejar tersebut bersifat artificial needs, kebutuhan yang diada-adakan atau dikesankan sebagai kebutuhan, padahal tanpanya pun orang sudah berkecukupan. Akibatnya, orang tua lepas tangan untuk urusan pendidikan terhadap anak-anak. 

Tanggung jawab pendidikan ini lantas dititipkan begitu saja kepada sekolah dan tentu saja internet. Banyak penelitian menunjukkan bahwa, bahkan sekolah pun kerap kali tak menjadi tempat aman dari radikalisme. Justeru, beberapa sekolah diindikasi kuat menjadi persemaian untuk lahir dan berkembangnya ajaran kebencian. Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis pada 2016 lalu menunjukkan bahwa 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tak lagi relevan, sebagai gantinya, 84,8% siswa dan 76,2% siswa setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. 4% dari mereka bahkan menyatakan setuju dengan kebiadaban kelompok teroris ISIS.

Ini tentu harus menjadi peringatan keras bagi para orang tua untuk mampu memberikan informasi alternatif sebagai penyeimbang kepada anak-anaknya. Hal ini bukan saja perlu dilakukan dengan cara memberi bahan-bahan bacaan saja, tetapi memastikan bahwa orang tua dapat hadir dalam tiap proses pembelajaran yang dilalui oleh sang anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, anak-anak tidak saja akan mempelajari, tetapi juga mengalami nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam keluarga.

Dalam konteks ini, para orang tua, terutama ibu, juga dituntut untuk lebih aktif belajar dan kemudian membagikannya ke keluarga. Dalam Myths and Realities of Female-perpetrated Terrorism, (di jurnal Law and Human Behavior, 37.1, 2013), Karen Jacques dan Paul J Taylor mengonfirmasi bahwa keterlibatan perempuan dalam radikalisasi maupun deradikalisasi terkait erat dengan pencapaian pendidikan secara individual. Artinya, informasi yang didapat oleh orang tua akan menentukan nasib keluarganya.

Belajar dari kasus pelaku serangan bom bunuh diri di Surabaya, sebagaimana diakui oleh anaknya yang selamat dari ledakan bom, para anak ini tidak disekolahkan. Informasi yang mereka terima adalah monopoli orang tua. Mereka kerap diberi tontonan aksi-aksi kekerasan dan ajakan untuk berperang. Anak-anak ini pun tumbuh dengan kebencian yang ditanamkan di kepalanya. Sangat disayangkan memang.

Keluarga adalah lingkaran pertama dan utama dalam penanaman nilai-nilai yang akan dipegang teguh oleh anak-anaknya hingga waktu yang sangat lama. Karenanya, di lingkaran inilah nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian perlu ditanamkan sedini mungkin.Kita bisa melawan terorisme, dan hal itu dimulai dari keluarga.

Penulis adalah Satgas Penindakan di Direktorat Penindakan BNPT, Mahasiswa doktoral di Departemen Kriminologi UI.

#muslimsejati
Sumber : nu online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar