• twitter
  • facebook
  • gplus
  • instagram
  • youtube
  • pinterest

Sepertiga Malam

  • Home
  • Features
  • _Multi DropDown
  • __DropDown 1
  • __DropDown 2
  • __DropDown 3
  • _ShortCodes
  • _SiteMap
  • _Error Page
  • Video Documentation
  • Documentation
  • Download This Template

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Teroris Merajalela, Tergolong Kaum Khawarij?  Ayu Wulandari Dalam sepekan, teror bertubi-tubi mengguncang Indonesia. Mulai dari kerusuh...

By Sepertiga Malam April 30, 2019 0 coment�rios
Teroris Merajalela, Tergolong Kaum Khawarij?
 Ayu Wulandari

Dalam sepekan, teror bertubi-tubi mengguncang Indonesia. Mulai dari kerusuhan di salah satu rumah tahanan yang berada di Mako Brimob Depok hingga ledakan bom yang menyerang tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018. Tak berhenti sampai di situ, teror bom pun kembali mengguncang Polrestabes Surabaya pada Senin pagi, 14 Mei 2018. Sejumlah kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS pun diduga menjadi dalang dari seluruh kejadian teror mengerikan tersebut. Berbicara terkait kelompok teroris, sejak zaman dahulu sudah ada sebuah kelompok yang paling berbahaya dalam Islam. Kelompok tersebut adalah kelompok Khawarij (al-khawārij) yang telah ada sejak periode awal Islam. Mereka akan terus menimbulkan perselisihan di negara-negara Muslim hingga kelak mereka bergabung dengan Mesias Palsu yaitu Dajal. Oleh sebab itu, hendaknya umat Islam juga mengetahui dan menyadari keberadaan mereka agar dapat melindungi diri dan tak mendukung perilaku destruktif mereka. Menurut buku Ensiklopedi Akhir Zaman karya Dr. Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh, kaum Khawarij adalah orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib RA saat menerima resolusi tahkim (arbitrase) yang ditawarkan kubu Muawiyah. Pasca keluar, mereka menyebar fitnah, mengkafirkan, dan membunuh para ahli dzimmah (non muslim yang tunduk pada otoritas islam). Nama Khawarij sendiri berasal dari kata Arab “khuruj”, yang berarti “pemberontakan”. Pasalnya, mereka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib RA karena inovasi sesat mereka. Pada masa Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib RA mengalami perang politik dengan Mu’awiyah namun akhirnya Ali dan Mu’awiyah memulai proses arbitrase untuk mewujudkan perdamaian. Di sisi lain, kelompok khawarij di barisan Ali justru menuduh Ali berbuat dosa karena bagi mereka arbitrase adalah dosa. Mereka pun menuntut Ali untuk membunuh Mu’awiyah dan kelompoknya. Singkatnya, sekelompok orang yang berjumlah 6000 itu pun keluar dari barisan Ali dan dikenal sebagai kaum Khawarij atau kaum pemberontak. Dalam bukunya, Dr. Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh menerangkan bahwa kaum Khawarij sangat rajin beribadah. Sayangnya, kaum Khawarij begitu gegabah, terlalu cepat menuduh orang, dan gemar mengkafirkan beberapa tokoh sahabat terkemuka. Mereka juga menjadi kaum yang melafalkan Alquran namun tidak melampaui tenggorokan. Maksudnya, bacaan Alquran mereka tidak masuk ke dalam hati mereka dan mereka tidak memahaminya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang setelahku kaum yang akan membaca Alquran hanya sebatas kerongkongan saja. Mereka akan keluar dari agama secepat anak panah yang membidik hewan buruan. Kemudian mereka tidak kembali untuk selamanya (ke dalam pangkuan agama islam). Mereka itulah seburuk-buruknya perangai dan seburuk-buruknya manusia.” (HR. Muslim) Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda, “Akan keluar satu kaum di akhir zaman, (mereka) adalah orang-orang yang masih muda, akal mereka bodoh, mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia, keimanan mereka tidak melewati kerongkongan. Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang keluar dari busurnya. Dimana saja kalian menjumpai mereka, maka (perangilah) bunuhlah, karena sesungguhnya dalam memerangi mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi siapa saja yang membunuh mereka.” (HR. Bukhari) Dalam perkembangannya, kaum Khawarij terpecah menjadi 20 kelompok yang sebagian besarnya punah kecuali golongan “ibadhiyah”. Golongan tersebut tersebar di Oman, Zanjibar, dan Tripoli (Libya). Meskipun telah terpecah-pecah, doktrin yang mereka miliki tetaplah sama. Yaitu sama-sama mengkafirkan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib RA, para sahabat yang terlibat dalam perang Jamal, serta membenarkan tindakan separatis terhadap penguasa yang mereka anggap lalim. Demikianlah kelompok kaum Khawarij yang ide-idenya selama ini justru cenderung telah memperburuk citra umat Islam secara umum. Sebab penampilan yang mereka tampilkan seringkali mencitrakan bahwa mereka sangat memegang teguh agama dan sangat rajin beribadah. Namun sayangnya, mereka justru melakukan hal-hal yang menyimpang dan menganggap semua itu merupakan bagian dari agama. Oleh sebab itu, umat Islam hendaknya berhati-hati dengan kelompok Khawarij tersebut.

#muslimsejati

0 coment�rios:

Indonesia Tak Butuh Ideologi Asing Indonesia Tak Butuh Ideologi Asing Oleh: Henny Mono*   Bagi Indones...

By Sepertiga Malam April 29, 2019 0 coment�rios

Indonesia Tak Butuh Ideologi Asing



Indonesia Tak Butuh Ideologi Asing
Oleh: Henny Mono*
 Bagi Indonesia, ideologi Pancasila sudah final. Kita tidak membutuhkan lagi ideologi-ideologi lain, apa pun alasan rasionalitasnya. Sebab ideologi Pancasila adalah ideologi yang sudah teruji sejarah sejak Republik ini didirikan. Ideologi Pancasila mampu menjadi perekat atas kebhinekaan falsafah hidup warga bangsa, sistem politik dan ekonomi kerakyatan, perilaku sosial-budaya, maupun agama/kepercayaan.
Memang patut diakui, dalam aplikasinya pada kehidupan berbangsa dan bernegara, ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Sebagai ideologi terbuka, norma nilai yang hidup dan berada di dalamnya sangat mudah dipengaruhi oleh sistem nilai kehidupan dari luar, seperti nilai kehidupan kapitalis-liberalis, komunias-sosialis, termasuk nilai kehidupan yang agamis.
Kondisi psikologis ideologi Pancasila yang demikian itu, bukanlah suatu kelemahan, namun sebaliknya merupakan wujud elastisitas. Atau dapat disebut, kelenturan dari sebuah ideologi yang mampu beradaptasi dengan dinamika nilai yang hidup di dalam masyarakat dunia. Maka dari itu, dalam alur pergerakan sejarah negeri ini kita bisa mencatat, tatkala bakal terjadi pergerakan sosial ke “kiri’ atau ke “kanan” secara ekstrem, selalu terdapat perlawanan dari rakyat agar negara ini kembali kepada ideologi Pancasila.
Saat ini di Indonesia setidaknya terdapat 7 (tujuh) aliran yang dapat dikatagorikan sebagai gerakan Islam transnasional. Sebut saja, antara lain Syiah, Ahmadiyah, Ikhwanul Muslimin, Salafi/Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Tabligh. Selain bergerak di bidang dakwah keagamaan, sebagian di antaranya memiliki kecenderungan bergerak di wilayah politik praktis. Dan, di antara mereka pun tak jarang terjadi benturan-benturan yang sifatnya dialogis, termasuk dengan ormas keagamaan lokal. Sedangkan di sudut lain, terdapat pula gerakan-gerakan sosial yang beraliran kapitalis-liberalis maupun komunias-sosialis.
Secara alamiah, keseluruhan aliran itu “bertarung” dalam dinamika kehidupan sosial berbangsa. Saling berkompetisi, saling mempengaruhi, bahkan saling “menyerang” satu sama lain, guna merebut posisi. Dan, ditingkahi kemajuan teknologi komunikasi seperti saat ini, menyebabkan “pertarungan” antar-aliran itu seakan telah menemukan medan pertempuran yang pas. Pada gilirannya, lahirlah berbagai ragam pola perilaku seperti, saling mengejek atau saling memfitnah satu sama lain, dengan target sosial bahwa kelompoknyalah sebagai yang terbaik.
Dalam kondisi sosial yang demikian itu, secara sadar atau tidak sadar, tak sedikit salah satu di antara mereka yang merasa paling moralis dan agamis. Tapi kemudian justru bertindak di luar koridor nilai moral yang diyakininya. Tanpa sadar mereka terjebak pada politik identitas dan budaya pop. Mereka, para pemuka dan tokoh masyarakat itu, seolah berada dalam pusaran antara nilai keiklasan dan perbuatan riya’. Perilaku yang merasa diri paling hebat (ujub) dipertontonkan setiap hari tanpa jeda melalui berbagai media sosial, diselingi sikap menjelek-jelekan komunitas lain dengan perasaan hasut.
Dalam kondisi seperti inilah, tampaknya saat yang tepat bagi pemegang amanat (baca: Pemerintah) Republik ini, untuk kembali menegakkan arah kemudi bangsa ini. Kita tegaskan kembali, bahwa negeri ini berideologi Pancasila, yang tidak miring ke “kiri” maupun miring ke “kanan”. Dan, kedudukan Republik ini juga tidak berdiri di persimpangan. Kita memiliki road map yang sudah jelas, yakni menuju terwujudnya cita-cita adil makmur berdasarkan Pancasila.
Tentang gagasan penggantian ideologi, kita bisa bercermin pada peristiwa yang terjadi di Republik Mesir, tatkala ada sekelompok masyarakat yang ingin mengubah ideologi dan dasar negara. Kala itu, setelah sekitar setahun berkuasa, Presiden Mursi dari kubu Ikhwanul Muslimin, yang terpilih secara demokratis, dinilai gagal menjalankan roda pemerintahan, gagal menciptakan tuntutan persatuan nasional. Ia, yang telah mengganti ideologi negara menjadi negara berbasis syariah, ternyata tidak serta-merta memperbaiki nasib dan kesejahteraan rakyat.
Militer terpaksa melakukan kudeta setelah jutaan warga Mesir turun ke jalan meminta Presiden Mursi mundur. Pemicunya, selain ketidakmampuan pemerintah baru mengembalikan kondisi perekonomian yang semakin memburuk, Pemerintahan baru tersebut juga dinilai kalangan masyarakat setempat, sebagai pemerintahan yang sektarian. Kehidupan masyarakat Mesir yang terbiasa hidup damai dalam naungan sistem pemerintah demokratis,  menghormati keragaman tata budaya sosial dan keagamaan, terbukti merasa tidak cocok dalam sistem politik identitas.
Baca Juga:  Khilafah vs Khalifah
Militer Mesir saat itu mencemaskan kebijakan Presiden Mursi yang mereformasi sistem politik dan ideologi negara. Dikhawatirkan dapat memicu konflik sektarian. Apalagi, enam bulan pasca ditetapkan sebagai Presiden, pada Desember 2012, Mursi mengesahkan Konstitusi Baru yang berhaluan Islam. Namun, melalui Majelis 50, suatu majelis yang dibentuk presiden sementara Mesir setelah lengsernya Mursi, menghapus pasal yang bernafaskan Islam tersebut. Oleh sebab pasal-pasal itu terbukti telah memicu bentrok massa, antara kubu yang pro dan kontra, serta menyebabkan timbulnya kerusakan sosial dan korban jiwa.
Di antara pasal yang dihapus dalam Konstitusi Baru tersebut, antara lain, Pasal 2, isinya: “Islam adalah agama resmi negara, Arab ialah bahasa resmi, dan prinsip-prinsip syariah merupakan sumber utama konstitusi”, dan Pasal 219 yang berbunyi: “Prinsip-prinsip syariah Islam mencakup intepretasi yang diterima secara umum, serta sumber-sumber yang dikenal umat dalam mazhab sunni”.
 Kita semua, tentunya tidak ingin negeri ini kacau balau, hanya karena menuruti hawa nafsu segelincir manusia yang ingin berkuasa. Biarkanlah negeri ini bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya, sesuai dengan cita-cita ulama yang ikut membidani kelahirannya. Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negara ini, harus mampu menjadi garda depan, menjadi penjaga kebhinekaan yang telah ditakdirkan menjadi potret bangsa Indonesia. Ditakdirkannya agama Islam sebagai mayoritas di Republik ini haruslah dipandang sebagai rahmatan lil ‘alamin.
*Penulis adalah advokat dan Dosen Luar Biasa pada Fak. Syariah UIN Malik Ibrahim Malang
#muslimsejati

0 coment�rios:

Jika Agama Islam Dijadikan sebagai Ideologi Negara Perdebatan tentang bentuk negara Islam selalu saja terjadi di tengah-tengah kita. Hal...

By Sepertiga Malam April 28, 2019 0 coment�rios

Jika Agama Islam Dijadikan sebagai Ideologi Negara

Perdebatan tentang bentuk negara Islam selalu saja terjadi di tengah-tengah kita. Hal inilah yang menjadi menarik untuk kita perbincangkan.
  •  
    Ahmad Solkan
  •  
  •  27 April 2019
  •  
  •   1074
  • Share
  • Tweet
Banyak pihak-pihak yang menginginkan agar negara ini menjadi negara Islam. Agama Islam menjadi ideologi bangsa. Hukum Islam menjadi hukum negara. Melihat hal demikian, berdasarkan pandangan penulis, Islam yang mana? Bukankah Islam selama ini terdiri dari berbagai macam aliran. Bukankah selama ini setiap para penganut aliran dalam Islam mengklaim bahwa Islam yang dianutnya yang paling benar. Sedangkan Islam yang dianut orang lain dipandang salah.
Apabila benar Agama Islam dijadikan sebagai ideologi negara, bukankah itu justru mereduksi Islam itu sendiri? Islam yang asalnya luas menjadi sempit. Berhenti pada tataran ideologis semata. Padahal islam itu sangat luas. Ia merupakan jalan hidup masyarakat.
Selain itu, agama seharusnya menjadi sumber landasan moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu ketika Gus Dur ditanya Prof. Mitsuo Nakamura dari Jepang. Begini pertanyaannya, “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara, mengapakah justru sekarang Anda justru membawa agama dalam kehidupan bernegara?” Gus Dur pun menjawab, bila yang terjadi  (dan terus terang saja, dikembangkan Gus Dur Melalui PKB), adalah menolak langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini.
Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non agama dalam kehidupan politik, di negara-negara berkembang yang belum memiliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar-dasar agama. Ukuran-ukuran ideologis-agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di siniliah letak antara moralitas dan ideologi, walaupun sama-sama berasal wahyu yang satu.
Dalam Islam sendiri belum ada riwayat pasti terkait negara agama. Nabi tidak pernah secara langsung memberi mandat secara langsung bagaimana pergantian pemimpin. Begitu Nabi wafat, beberapa hari kemudian semua bersepakat Abu Bakar menjadi khalifah atau pemimpin. Begitupun ketika Abu Bakar hendak meninggal beliau memberi wasiat bila yang menggantikannya kelak ialah Umar bin Khattab. Lalu, sebelum Umar wafat, Umar menunjuk dewan pemilih yang berisi tujuh orang untuk memilih khalifah. Dan jadilah Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga. Dan yang terakhir setelah Utsman, kemudian Ali bin Abi Tholib yang menggantikannya. Setelah keempat khalifah tadi wafat bentuk kepemimpinan dalam Islam menjadi kerajaan, baik Umayah, Abbasiyah dan Turki Ottoman.
Masih menurut Gus Dur, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas negara-bangsa (nation-state), ataukah negara kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Sampai di sini mungkin kita menemukan sebuah titik terang, bila dalam Islam tidak menyebutkan bagaimana bentuk negara. Tidak ada juga keterangan yang menyebutkan bila Islam merupakan sebuah ideologi. Islam merupakan jalan hidup masyarakat yang menjadi landasan moralitas dalam sebuah negara itu sendiri. Artinya meskipun Islam muncul bukan dalam bentuk sistem atau ideologi, tapi Islam muncul sebagai kerangka acuan kehidupan moralitas bernegara.
Hemat penulis, karena dalam Islam tidak menyebutkan secara jelas bagaimana bentuk negara Islam. Yang terpenting yakni kita dapat beribadah dan menjalankan ajaran agama tanpa kurang suatu apapun dalam sebuah negara tersebut. Bukankah itu juga sudah Islami?
Ahmad Solkan, saat ini melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga

0 coment�rios:

Perang Media; Bentuk Kekuatan Hancurkan Ideologi Kekerasan Terorisme merupakan sebuah paham yang sulit dihapuskan. Pada dasarnya tu...

By Sepertiga Malam April 27, 2019 0 coment�rios

Perang Media; Bentuk Kekuatan Hancurkan Ideologi Kekerasan

Terorisme merupakan sebuah paham yang sulit dihapuskan. Pada dasarnya tumbangnya pelaku terorisme bukanlah sebuah kendala yang mampu menghapus ajaran yang telah tertananm. Banyaknya anggota kelompok yang berjatuhan dan gugur di medan perang, membuat mereka bersemangat serta menyebarluaskan paham-paham radikalisme. Media internet tidak luput dari sasaran ajaran mereka. Mereka mampu mempengaruhi seseorang melalui tulisan-tulisan serta video provokatif yang mereka sebarkan.
Saat ini dunia maya sudah dipenuhi dengan konten negatif berupa penyebaran ideologi kekerasan. Ribuan blog dan akun palsu tidak mungkin ditangani sendiri oleh pemerintah. Di sisi lain masih terdapat celah dalam peraturan undang-undang dalam menangani bahaya radikalisasi. Disinilah perlu adanya dukungan dari semua pihak untuk mencegah bahaya radikalisme yang telah digagas oleh pemerintah.
Pengalaman menanggulangi kekerasan selalu berubah mengikuti setiap perkembangan kekerasan yang terjadi baik secara strategi, metode, dan cara mengikuti tantangan kekerasan yang disebarkan oleh kelompok radikal. Memang agak disayangkan, undang-undang yang berguna membatasi serta mengatasi tindak kekerasan dan terorisme masih terbuka celah yang cukup lebar. Sudah semestinya fenomena radikalisasi dunia maya dimanfaatkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak kekerasan dan terorisme.
Dengan kecanggihan dunia komunikasi saat ini, tidak hanya ratusan orang yang mendengar ajaran mereka, bahkan semua orang di muka bumi dapat mendengarkan setiap lantunan kata provokatif dari mereka. Mereka tidak perlu bersusah payah mengeluarkan banyak biaya untuk menyebarkan ajaran mereka. Dengan adanya internet, sudah tentu ajaran yang mereka bawa menyebar ke seluruh penjuru dunia tanpa perlu menghabiskan banyak biaya.
Kita pasti sudah mendengar kabar hancurnya ISIS di tangan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Kemenangan ini menandakan bendera kemanusiaan siap dikibarkan tinggi-tinggi. Namun yang menjadi permasalahan adalah ideologi yang masih tertanam dalam diri mereka. Memang kelompok ISIS sudah hancur, akan tetapi dengan bentuk yang baru mereka mampu menarik simpati warga.
Dalam hal ini, mereka dapat menggunakan pendekatan secara lembut yaitu dengan berbaur dengan masyarakat sekitar dan mengaku telah bertobat dan kembali menjunjung tinggi ideologi negara. Dengan cara seperti ini, mereka dapat kembali diterima oleh masyarakat. Kemudian mereka dengan lembut memasukkan ideologi radikal yang mereka punya ke tengah-tengah masyarakat.
Walaupun secara kenyataan mereka telah hancur lebur, akan tetapi dengan bantuan teknologi mereka dapat muncul kapan saja sebagai kekuatan yang besar. Dengan menggunakan media sosial, pemimpin mereka dapat dengan mudah mengirimkan strategi baru, perintah, serta memberikan bantuan jika diperlukan. Tentu saja, secara batiniah pergerakan mereka masih tetap ada dan akan terus berkembang apabila tidak dicegah dan diberantas.
Para kelompok radikal telah menyiapkan arena tempur baru yang cukup strategis lewat sosial media. Karena itulah menjadi sebuah keharusan bagi bangsa ini untuk melakukan “perang media” dengan menyiapkan senjata baru yang berbentuk strategi, kebijakan, dan program baru yang diperkuat dengan peraturan undang-undang yang kuat. Karena itulah penguatan undang-undang terkait dengan penanggulangan radikalisme perlu dicetuskan dalam waktu yang singkat.
Persoalan yang kerap muncul adalah bagaimana mengatasi sel-sel radikalisme yang tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Seringkali mereka membenci demokrasi, akan tetapi tingkah laku mereka seolah-olah mencari perlindungan di belakang bahu besar demokrasi. Mereka sering mengatasnamakan HAM atas setiap gagasan yang mereka keluarkan. Selama ini aparat masih ragu-ragu untuk menindak tegas mereka yang melontarkan narasi-narasi negatif. Apalagi narasi tersebut di lakukan di dunia maya.
Peraturan penanggulangan radikalisme juga harus menjangkau sistem media sosial. Dalam pencegahan tindak radikalisme, penguatan undang-undang sangat penting untuk dilakukan. Pemerintah harus memperhatikan penyebaran radikalisme yang sedikit demi sedikit mulai mengotori area bermain anak-anak dan remaja di media sosial.
Oleh karena itu butuh regulasi yang kuat yang dapat mengatur bagaimana menanggulangi fenomena radikalisme dan terorisme di dunia maya yang lebih tegas dan bervariatif. Namun, penting sekali dikatakan bahwa penguatan legislasi juga harus didasari oleh unsur kebebasan dan HAM. Regulasi tentang dunia maya seketat apapun harus menghargai kebebasan seseorang untuk menyuarakan pendapat serta melindungi hak pribadi yang sudah melekat dalam dunia maya.

https://www.harakatuna.com/perang-media-bentuk-kekuatan-hancurkan-ideologi-kekerasan.html
di April 27, 2019

0 coment�rios:

PEMBERANTASAN DAN METAMORFOSIS TERORISME By   al fatih  - 26th April 2019 0 1         Pada awal tahun 2014, terjadi...

By Sepertiga Malam April 26, 2019 0 coment�rios

PEMBERANTASAN DAN METAMORFOSIS TERORISME

By
 al fatih
 -
26th April 2019
0
1

    
Pada awal tahun 2014, terjadi operasi penggerebegan atas enam orang terduga teroris di rumah kontrakan di G a n g H H a s a n d i J a l a n K H D e w a n t o r o , RT / RW 0 4 / 0 7 , Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan yang dilakukan oleh Densus 8 8 A n t i Te r o r M a b e s P o lri . Dikabarkan Kapolri Jenderal Pol Sutarman sempat mendatangi lokasi operasi, tetapi tidak ada sesuatu elaborasi atas berita ini. Terakhir o p e r a si d i k a b a r k a n b e r h a si l membunuh beberapa orang yang diduga teroris dan satu orang ditangkap. Para terduga teroris yang dige r ebek ini t e rka it dengan penembakan polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, dan bom di Vihara Ek a y a n a . P a r a t e r d u g a j u g a diperkirakan punya kaitan dengan ke lompok Abu Roban. Polisi menyebutkan para terduga memiliki e n a m r a n g k a i a n b o m d a n menyebutkan di rumah itu ada enam ruangan yang dapat dipakai untuk para terduga bersembunyi. Fakta-fakta yang terjadi sebagai akibat penembakan pasukan Densus 88 terhadap sekelompok orang yang diduga teroris, telah terjadi korban semula seorang yang berusaha melarikan diri terbunuh dan seorang tertangkap, selanjutnya ketika Densus 88 berhasil mendobrak sasaran terdapat korban yang bersembunyi dalam kamar mandi lima orang. Jadi sesuai versi terakhir ini total ada enam o r a n g t e r b u n u h d a n s e o r a n g tertangkap. Berita sebelumnya seluruhnya ada lima orang yang menjadi sasaran untuk titangkap, seorang terbunuh ketika akan melarikan diri dan satu tertangkap, sisanya tiga orang bersembunyi dalam sebuah rumah kontrakan. Menurut versi pertama ini, tentunya di dalam kamar mandi hanya terdapat tiga orang mayat bukan lima orang. Diberitakan tembak menembak selama sepuluh jam, tetapi setelah gerombolan dilumpuhkan dan enam orang meninggal dan satu tertangkap tidak disebut senjata api apa yang digunakan dan dapat dirampas dari gerombolan yang digunakan utuk melawan selama sepuluh jam. Bahkan dikabarkan seorang anggota Densus 88 kakinya terluka kena tembakan. Pertempuran sepuluh jam juga dapat mengakibatkan daerah sekitar rumah kontrakansangat rawan. Disebutkan ada ledakan dan dugaan ada enam bom rakitan. Kalau benar telah terjadi ledakan bom seluruh bom pasti sudah meledak semua dan rumah tempat persembunyian hancur. Ciri bahan peledak akan ikut meledak apabila terjadi ledakan. Detonator adalah alat peledak untuk meledakan bahan peledak yang lebih besar. Polri sendiri masih ragu terhadap besarnya bom yang diduga dimiliki gerombolan yang bersembunyi dalam rumah tersebut. Rasanya ada beberapa kejanggalan fakta-fakta yang perlu klarifikasi dalam peristiwa pnggerebegan ini utamanya untuk memastikan siapa lima atau enam korban jiwa yang terjadi dalam penggerebegan tersebut. Pertama, tembak menembak selama sepuluh jam tetapi tidak disebutkan senjata api satu pucukpun dalam r uma h t e rs e b u t . D is e b u t k a n gerombolan membawa senjata api, tetapi tidak jelas jenis dan macamnya (pistol, laras panjang, otomatis atau tidak dsb). Kedua, lima orang yang meninggal dalam satu kamar mandi nampaknya be rs embunyi da ri berondongan senjata api Densus 88, bukan dalam posisi bersembunyi untuk melawan. Ada laporan disebut yang diketemukan mati dalam kamar mandi tersebut tiga orang. Ketiga, enam bom yang disebut-sebut tidak ada konfirmasi beritanya. Kalau enam bom ini sudah meledak maka rumah itu sudah hancur, kalau ada ledakan tetapi tidak ada sesuatu yang hancur maka yang meledak bukan bom tetapi sekedar petasan. Ledakan yang tedengar ada kemungkinan suara ledakan yang dilakukan untuk menjebol dinding. Untuk mengklarifikasi masalah yang terjadi kali ini, BIN didalamnya BNPT harus mencari klarifikasi atas beberapa kejanggalan tersebut. Komisioner Komnas HAM, Nurcholis k e p a d a www.r e p u b li k a . c o .i d mengatakan, Komnas HAM langsung mengirim tim khusus ke lokasi penggrebekan terduga teroris di Ciputat, Tangerang Selatan, untuk mengumpulkan informasi terkait p e n g g r e b e k a n y a n g s a m p a i menewaskan enam terduga teroris. M e n u r u t n y a , K o m n a s H A M mendukung pemberantasan terorisme yang dilakukan Polisi, tetapi tidak ingin tindakannya diluar prosedur. Pendapat senada dikemukakan Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila kepada www.tempo.co.id menilai tewasnya enam terduga teroris Ciputat sebagai hal yang wajar, karena para teroris melakukan perlawanan. Komnas H AM memb e n t u k t im u n t u k memantau kerja tim Densus 88 agar tidak asal tembak, karena selama ini banyak yang diduga teroris, tidak membawa senjata, ditembak di tempat meski tidak ada perlawanan. Laila menyarankan agar Densus 88 melakukan pendekatan persuasif dan komunikatif, agar tidak ada salah tembak. Ditembak Mati Menurut catatan penulis, sebenarnya Densus 88 tidak asal menembak mati t e r o r i s , k a r e n a m e r e k a berkepentingan menangkap teroris hidup-hidup, karena berdasarkan data sejak tahun 2002, dari 900 teroris yang dibekuk, hanya 90 teroris yang ditembak mati. Sementara itu, Polri berusaha mengulangi berbagai berita yang sudah tersiar dalam media massa dalam upaya meluruskannya pada 1 Januari 2014 siang dan sore hari. Penjelasan Polri yang dimaksudkan untuk meluruskan berita-berita yang menimbulkan berbagai pertanyaan s e b e l u m n y a . K e p a l a D i v isi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, semua jenazah terduga teroris ditemukan di ruangan paling depan rumah kontrakan yang mereka tempati. Hal itu dikatakan Boy saat melihat lokasi penggerebekan di kawasan Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (1/1/2014). “Ditemukan semuanya di ruangan paling depan setelah terjadi baku tembak dengan petugas,” kata Boy, kepada wartawan, Rabu. Menurut Boy, semua terduga teroris itu ditembak petugas tim Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri setelah menolak menyerahkan diri. Saat permohonan penyerahan diri itu ditolak, katanya, petugas tim Densus 88 menembaki rumah kontrakan dalam keadaan gelap. Pernyataan Boy itu meluruskan informasi sebelumnya yang menyatakan para terduga teroris d i t emu k a n d i k ama r ma n d i . Disebutkan bahwa tembok kamar mandi, tempat jenazah terduga teroris itu ditemukan, hancur. Diduga, ada sebagian dari para teroris yang tewas akibat tertimpa reruntuhan tembok. Namun, ada pula yang tewas akibat terkena tembakan. Berbicara mengenai kejanggalan, ternyata mereka yang diduga teroris hanya bersenjata beberapa pistol dan revolver, sehingga daya tembaknya sangat rendah dibanding senjata milik Densus 88 yang bersenjata senapan laras panjang otomatik. Tembak menembak sangat tidak seimbang, p a r a t e r o r is s a n g a t m u d a h dilumpuhkan dengan tembakan senapan laras panjang. Banyak kalangan mempertanyakan, mengapa Densus 88 tidak menembakan granat asap supaya terduga teroris yang be rs embunyi a t au tidak mau menyerah dapat keluar. Ancaman Terorisme Terlepas dari cara Densus 88 Anti Teror Mabes Polri ataupun BNPT dalam meminimalisir ancaman terorisme, namun faktanya ancaman terorisme masih cukup tinggi dapat terjadi di Indonesia sewaktu-waktu. Walaupun, harus diakui juga akibat operasi dan kegiatan penggalangan yang dilakukan jajaran intelijen khususnya BIN, maka kalangan teroris juga semakin sulit untuk melancarkan serangannya, karena sudah mendapat cegah dini dan antisipasi secara dini. Me n u r u t p e n g ama t ma s a l a h t e rorisme , Noorhuda Isma il, sejumlah pelaku teror masih akan muncul, baik dari Mujahidin Indonesia Barat maupun Mujahidin Indonesia Timur. Noorhuda menilai, terduga teroris yang digrebek di Ciputat adalah teroris generasi baru, yang mekanisme perekrutannya diawali dengan debat di salah satu situs jejaring sosial, sehingga karena proses perekrutannya sangat instan, maka loyalitas mereka sangat kurang. Sedangkan, Ali Fauzi yang juga adik kandung terpidana mati kasus terorisme Bom Bali I, Amrozi dan Ali Gufron alias Muchlas, tidak ada aksi t e ror s e l ama pe r aya an Na t a l menandakan kekuatan teroris di Indonesia sudah melemah, yang disebabkan karena empat faktor yaitu melemahnya kelompok radikal dalam 5 tahun belakang, kelompok garis keras kekuatannya sudah jauh menurun, meskipun tetap melakukan kade ris a si, ke lompok t e roris kesulitan mendapatkan alat pemicu bom atau detonator, disebabkan karena pasokan detonator dari luar negeri semakin menipis, juga karena lokasinya dijaga ketat Polisi dan diawasi oleh BIN ataupun aparat intelijen lainnya, sehingga jalurnya mulai terhambat. Menurut catatan BNPT, masih ada sekitar 100 orang yang berpotensi menjadi teroris, sedangkan menurut catatan penulis dari informasi berbagai kalangan, masih ada sekitar 200 orang menjadi teroris yang be lum t e rt angkap, wa l aupun sepanjang 2012 ada sebanyak 100 orang teroris tertangkap, serta 87 teroris diringkus selama 2013. Menurut penulis, para teroris telah bermetamorfosis menjadi seperti masyarakat kebanyakan, tidak lagi menonjolkan simbol-simbol khusus seperti yang sudah-sudah. Para teroris hadir kian susah dan nyaris tidak dikenali, tapi tiba-tiba merancang aksi yang besar. Ancaman terorisme tetap ancaman yang nyata.
* Penulis adalah peneliti senior di Forum Dialog (Fordial).
//www.harakatuna.com/buletin-jumat-harakatuna-26-april-2019.html
#Muslimsejati

0 coment�rios:

Bom Sri Lanka dan Sel Tidur Teroris Nasional by   Harakatuna 1 hari ago 1 hari ago Tak hanya mengejutk...

By Sepertiga Malam April 25, 2019 0 coment�rios

Bom Sri Lanka dan Sel Tidur Teroris Nasional


Harakatuna
by Harakatuna1 hari ago1 hari ago
Tak hanya mengejutkan, namun juga menyayat dan mencabik-cabik hati nurani manusia. Betapa tidak. Peristiwa bom di Sri Lanka menewaskan lebih dari 300 orang dengan 500 lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa yang terjadi di tiga gereja; St. Anthony, St. Sebastian, dan Sion serta di tiga hotel berkelas; Shangri La, Kingsbury, dan Cinnamon Grand ini merupakan peristiwa terorisme yang luar biasa brutalnya.
Sampai hari ini, belum ada satu pun organisasi teror yang melakukan pengklaiman atas kejadian di Sri Lanka ini. Tak ayal jika masih banyak spekulasi yang berkembang dalam kasus ini, diantaranya pemerintah setempat yang menuding National Thowheeth Jama’ath sebagai dalang peristiwa brutal ini. Bahkan ada yang menduga pula bahwa teror di Sri Lanka ini sebagai bukti balas dendam atas peristiwa penembakan massal di dua Masjid yang berada di wilayah Christchurch, Selandia Baru.
Kejadian demi kejadian aksi teror, baik dalam skala rendah maupun besar merupakan fenomena yang kompleks. Tidak hanya masuk dalam faktor agama, melainkan juga ada motiv lain seperti ekonomi dan politik. Terhadap motiv ekonomi-politik, lihatlah peristiwa terorisme yang menimpa kawan Timur Tengah. Amerika Serikat yang menyerang banyak negara di kawan Timur Tengah dengan dalih perang terhadap teroris, nyatanya semakin hari semakin ‘tak terbukti’.
Fakta lapangan menyebutkan bahwa aksi tersebut tak ubahnya hanya ingin menguasai beberapa kekayaan alam yang ada di negara setempat. Tak hanya itu, kisah pilu pun menyelimuti kawasan yang diserang AS. Betapa tidak. Aksi-aksi AS yang beralih war on terror  itu justru menyebabkan warga yang tak berdosa menanggung kepedihan; banyak kehilangan rumah dan harta benda, bahkan hak hidup dan kemerdekaannya tercerabut.
Baca Juga:  Mungkinkah 2018 Indonesia Bebas dari Radikalisme?
Kembali pada fenomena bom di Sri Lanka. Ada hal menarik yang patut dicermati dalam peristiwa bom di Sri Lanka, yakni cara bergerak dan modus yang dijalankan oleh bomber di Sri Lanka. Hal ini disampaikan oleh pengamat terorisme, Al Chaidar, bahwa cara dan aksi pelaku bom bunuh diri di Sri Lanka pada momentum Paskah, Minggu (21/4) kemarin, ada kemiripan dan biasa dilakukan oleh pendukung ISIS dan jaringan terorisme di Indonesia.
Dari sinilah, Indonesia, melalui aparat keamanan mulai waspada terhadap sel tidur jaringan teroris di Nusantara. Hal ini tak berlebihan, bahkan sangat logis mengingat klaim sementara dalang bom di Sri Lanka, yakni National Thowheeth Jama’ath mempunyai hubungan dengan kelompok radikalis-teroris di Indonesia.
Usai insiden bom beruntun di Sri Lanka, melalui berbagai media, Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, memberikan keterangan ke publik bahwa pihaknya sudah melakukan gerakan cepat, yakni mapping jaringan sel tidur teroris di Indonesia. Kemudian Dedi memberikan keterangan lanjutan bahwa sejumlah teroris yang ditangkap beberapa waktu lalu, merupakan langkah awal untuk antisipasi dn mencegah terjadinya serangan lanjutan dari kelompok teroris di Indonesia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sel-sel teroris di Indonesia yang memiliki jaringan secara internasional masih ‘hidup’, kendati pasca kekalahan ISIS beberapa waktu lalu. Maka, segenap pihak, baik pemerintah, masyarakat dan bahkan pegiat di media sosial dan media online, agar tidak lengah dalam mengedukasi masyarakat untuk tidak sampai terjerat oleh kelompok radikalis-teroris yang hingga saat ini, bahkan selamanya, selalu mencari kader untuk dijadikan sebagai eksekutor misi mereka.

#muslimsejati

0 coment�rios:

Tantangan dalam Memberi Pemahaman Pancasila bagi Generasi Milenial Rozali,  NU Online  | Rabu, 24 April 2019 01:05 Jakarta, ...

By Sepertiga Malam April 24, 2019 0 coment�rios

Tantangan dalam Memberi Pemahaman Pancasila bagi Generasi Milenial

Tantangan dalam Memberi Pemahaman Pancasila bagi Generasi Milenial
Rozali, NU Online | Rabu, 24 April 2019 01:05
Jakarta, NU Online
Ideologi Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang sudah final. Sebab Pancasila merupakan konsensus nasional yang telah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia yang beragam untuk menjaga kerukunan, membangun kedamaian sebagai untuk menghindari kerusakan maupun pertumpahan darah.

Pemahaman seperti ini harus diyakini oleh setiap warga negara, baik kalangan usia dewasa maupun kaum milenial. Namun tantangannya, memberikan pemahaman demikian bagi generasi milenial bukan perkara mudah. Terlebih di era teknologi informasi yang serba cepat seperti saat ini, di mana informasi yang deras kadang kala membawa serta ideologi lain secara sembunyi-sembunyi. 

Salah satu ideologi yang bisa masuk ke layar telepon genggam generasi millennial adalah paham radikalisme kekerasan seperti yang dialami oleh Danian, seorang remaja yang terjebak paham radikalisme kekerasan dan memutuskan untuk bergabung dengan ISIS beberapa tahun lalu. Danian terkecoh oleh kampanye apik ISIS yang tampak nyaris sempurna melalui media sosial yang ia temukan. Akibatnya ia memutuskan untuk membujuk keluarganya hijrah ke Suriah.

Fenomena kampanye seperti marak ditemukan di dunia maya. Kampanye kelompok kekerasan ini nyatanya berhasil mempengaruhi kelompok muda yang mencari jati diri seperti Danian yang masih duduk di bangku SMA kala itu. 

Hal itulah yang melatarbelakangi perlunya memastikan agar kelompok muda yang begitu dekat dengan platform media sosial tidak terjerumus ke dalam kampanye jahat kelompok kekerasan. Salah satunya dengan memastikan kelompok ini mengilhami nilai-nilai yang tertanam dalam Pancasila.  

“Di era keterbukaan ini mau tidak mau kita perlu memastikan mereka memahami Pancasila. Mengapa? karena kita lihat dari pernyataan anak-anak milenial ini mulai ada distorsi tentang pemahaman tersebut. Ini  karena mereka ini kemasukan paham-paham radikal. Itulah mengapa kita perlu terus tekankan Pancasila pada mereka,” ujar Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Laksdya TNI (Purn) Widodo beberapa waktu lalu. 

Untuk itu, kata dia, harus ada mekanisme baru untuk dalam memasukkan pemahaman Pancasila kepada peserta didik melalui sekolah-sekolah. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan perkembangan teknologi informasi yang berkembang saat ini.

Selain itu, lingkungan pendidikan perlu menanamkan kembali nilai-nilai pancasila dengan cara yang disukai oleh generasi milenial. “Ini harus dikawal, sehingga seluruh kewajiban di sekolah, baik sekolah negeri, swasta maupun sekolah-sekolah asing, untuk mengucapkan mengamalkan Pancasila, mengibarkan bendera tiap hari Senin dan menyanyikan lagu Indonesia Raya,” ucapnya.

Senada dengan itu, KH Ma'ruf Amin dalam perspektif kebangsaan ala Nahdlatul Ulama kerap menyebut bahwa Indonesia merupakan negara kesepakatan karena berdiri di atas kesepakatan elemen bangsa. Sedangkan Pancasila merupakan titik temu dan UUD 1945 berdiri sebagai tatanan kehidupan bangsa. "Kedua hal itu kita sebut sebagai ittifaqan akhawiyah, kesepakatan saudara sebangsa dan setanah air," ujar Kiai Ma'ruf. Oleh karena itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang itu selalu menyebut negara Indonesia sebagai darul mitsaqatau negara kesepakatan. (Red: Ahmad Rozali)

#muslimsejati

0 coment�rios:

Khilafah Produk Politik, Bukan Agama April 23, 2019 Hanya mereka yang tidak mengerti...

Khilafah Produk Politik, Bukan Agama

By Sepertiga Malam April 23, 2019 0 coment�rios





Khilafah Produk Politik, Bukan Agama

April 23, 2019
Hanya mereka yang tidak mengerti al-Qur’an dan membaca sejarah Islam yang akan menyangkal judul di atas. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa kegandrungan sebagian masyarakat Muslim di Indonesia terhadap sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan Islam adalah fenomena baru.
Dari awal, bahkan sebelum kebebasan, ide khilafah itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan kaum Muslim. Dua tahun setelah Khilafah Usmaniyah dibubarkan pada 1924, kongres tentang khilafah digelar di Kairo dan Jeddah, yang juga dihadari oleh peserta dari Indonesia.
Seperti dituturkan oleh Prof. Hamka, salah seorang peserta kongres tersebut adalah bapaknya sendiri. “Peserta dari Indonesia sama sekali tidak antusias dengan sistem khilafah,” tulis Hamka dalam memoar mengenang orang tuanya, Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
Peserta lain adalah Mohammad Natsir, seorang tokoh utama partai Islam Masyumi. Dalam bukunya, Islam dan Kristen di Indonesia (1969), Natsir juga menyinggung keikutsertaannya dalam kongres khilafah, tapi dia tidak tertarik. Ia lebih memilih ide Negara Islam, daripada khilafah.
Konsep Negara Islam yang ada dalam pikiran Natsir bukan teokrasi ala khilafah. Ia yakin bahwa betul bahwa Negara Islam itu tidak bertentangan dengan demokrasi. Makanya, dia mengatakan Negara Islam tidak teokrasi dan juga bukan sekuler, ada “Negara Demokrasi Islam”.
Artinya, sejak awal kelahiran Republik Indonesia, sistem khilafah memang bukan alternatif. Baru Muslim Muslim di Indonesia dibodohi dengan propaganda yaitu khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Selain tidak sesuai al-Qur’an, propaganda itu bersifat ahistoris.
Khalifah dalam al-Qur’an dan Tafsir Awal
Kata “khilafah” berasal dari akar kata yang sama dengan “khalifah”, yaitu “kh-lf”. Dalam literatur politik Islam klasik, pemerintahan khilafah dipimpin oleh seorang khalifah. Namun, jika dirujuk ke al-Qur’an, kata “khalifah” itu tidak memiliki konotasi politik.
Dalam kisah Adam yang berlangsung dalam surat al-Baqarah (2), ada dialog antara Tuhan dan malaikat yang berhubungan dengan seorang khalifah. Ketika Allah berfirman kepada malaikat, “Saya akan menciptakan seorang khalifah di atas bumi.” Respons malaikat, “Akankah Engkau menciptakan di atas bumi seorang yang akan melakukan kerusakan?” (QS 2:30).
Jelas sekali bahwa al-Qur’an tidak menggunakan istilah “khalifah” dalam definisi pemimpin politik. Lirik disimak bagaimana kata “khalifah” dipahami dalam tafsir awal mula.
Prof. Wadad al-Qadi dari Universitas Chicago, AS, melakukan studi tentang penafsiran khalifah di kalangan mufasir Muslim awal, terutama zaman pra-Tabari (w. 310/922). Mengapa literatur tafsir yang dipilih adalah karya-karya sebelum zaman Tabari? Sebab, Tabari itu cukup bermakna dalam rentang waktu menggunakan kata “khalifah” yang berkonotasi sebagai pemimpin politik. Dalam sumber-sumber yang dapat dipercaya, kata “khalifah” disematkan kepada pemimpin politik itu baru terjadi pada masa dinasti Umayyah, akan terjadi di akhir akhir tulisan ini.
Maka, fokus studi Prof Qadi tafsir-tafsir yang ditulis atau diproduksi pada zaman Umayyah, yang berkuasa antara tahun 661-750. Kesimpulan Qadi sangat menarik: kata menggunakan “khalifah” sebagai pemimpin politik dan tidak ada dalam sebagian besar karya pada masa pemerintahan Umayyah dan awal pemerintahan Abbasiyah. Sementara dalam tafsir-tafsir yang lebih awal, khalifah dimaknai tanpa konotasi politik apa pun.
Akar kata “kh-lf” bisa berarti “mungkin”, “orang yang datang setelah yang lain”. Para mufasir bingung dan bagaimana memahami kata “khalifah Allah”: mengutip Allah? Tapi, pertanyaan yang lebih subtil adalah: Mengapa manusia begitu mulia membentuk “khalifah” di atas bumi?
Terkait pertanyaan itu, dua alternatif jawaban diajukan, yang berkorespondensi dengan kronologi penggunaan istilah “khalifah” secara politik. Dalam tafsir yang ditulis pada masa masa Umayyah bercampur khalifah tak lain sebagai gelar pemimpin politik, alasan yang diajukan adalah karena manusia memiliki kemampuan untuk mengelola atau mengembangkan alam. Para paruh akhir zaman Umayyah, manusia disebut khalifah karena kemampuannya untuk memimpin.
Baca Juga:  Apa Itu MaʻRûf dan Apa Itu Munkar
Khilafah sebagai Institusi Politik
Dari penelusuran penafsiran “khalifah” dalam literatur tafsir awal tampak lepaskan dalam pemaknaan kata “khalifah”. Ini juga bukti nyata bahwa tafsir kontekstual itu tidak terhindarkan karena tak ada pemahaman yang lahir di ruang hampa. Tapi ini disebut lain yang akan saya diskusikan dalam tulisan lain. Cukup katakan di sini, praktik politik dan mempengaruhi corak penafsiran al-Qur’an.
Dalam buku-kitab sejarah Islam, kata “khalifah” itu disematkan kepada para pemimpin politik pasca wafatnya Nabi Muhammad.Empat khalifah pertama disebut “khulafa ‘rasyidun”, para khalifah yang baik. Tapi sebenarnya kita tidak punya bukti dokumenter yang ditulis sezaman dengan khulafa ‘rasyidun yang menunjukkan bahwa mereka memang disebut khalifah pada zamannya. Mereka penyebutan sebagai khulafa ‘(bentuk jamak dari “khalifah”) lebih merupakan proyeksi ke belakang yang dilakukan oleh para penulis Muslim di era itu pemimpin politik yang disebut khalifah.
Disebut kita tahu, kitab-kitab yang menyebut Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai khulafa ‘itu ditulis pada zaman Abbasiyah.Barangkali Abdulmalik bin Marwan, pemimpin dari dinasti Umayyah, yang pertama disebut sebagai khalifah. Ini terbukti dari mata uang koin yang dikeluarkan oleh Abdulmalik. Khalifah Umayyah ini melakukan reformasi uang dan mencetak uang dalam beberapa versi, dari yang semula mata uang Persia hingga akhirnya mengeluarkan koin dengan gambar dirinya dengan tulisan di bagian pinggir: khalifah Allah.
Lama, para pemimpin kaum Muslim itu disebut “amirul mu’minin” (perangkat kaum beriman). Apa yang dilakukan Abdulmalik itu tidak mengagetkan dan menyebar dengan proyek “Islamisasi” dan “Arabisasi” yang gencar dilakukan di zamannya. Kontribusi khalifah Abdulmalik bagi formasi islam seperti kita saksikan sekarang sangat besar. Kata “khalifah” dan “khilafah” pun menjadi kosa kata politik yang terwariskan hingga saat ini.
Baca Juga:  Islam Tidak Mengenal Konsep Mayoritas-Minoritas
Namun demikian, khilafah Umayyah justru dianggap tidak cukup Islami oleh dinasti yang menggulingkannya, khilafah Abbasiyah.Revolusi Abbasiyah yang memungkinkan berbagai intrik politik yang kotor, manipulasi, dan pembodohan yang mungkin tidak ada dalam sejarah. Dan juga pertumpahan darah.
Tapi alih-alih dari khilafah ke jalur yang diarahkan oleh empat khalifah pertama, para pemimpin Abbasiyah pada sistem pemerintahan dari Sasanid Persia. Misalnya, dalam struktur pemerintahan yang digunakan oleh Wazarah, yang mungkin selevel dengan kantor Perdana Menteri. Para teoritisi politik Muslim diusulkan, sistem Wizarah yang baru terbit pada zaman Abbasiyah, dan dipinjam dari Persia. Maka, penulis teori politik Islam seperti al-Mawardi atau Abu Ya’la telah merumuskan tugas-tugas “wazir” yang terkait dengan tata cara negara tidak berbenturan dengan otoritas khalifah.
Pengadopsian model pemerintahan Persia juga tidak mengagetkan karena banyak khalifah berasal dari birokrat Persia, seperti Ibnu Muqaffa atau Nizam al-Mulk. Dan pengadopsian itu memang wajar karena khilafah memang tampil politik dan bukan agama.
Bukan saja sistem khilafah tidak termasuk rukun Islam dan rukun iman, juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau praktik Nabi. Sejarah juga membuktikan bahwa khilafah itu produk politik (dan sudah terbukti gagal). Jadi, tolong jangan identikkan khilafah dengan Islam!
oleh: Prof. Mun’im Sirry, Ph.D.
Sumber : https://www.harakatuna.com/khilafah-produk-politik-bukan-agama.html
#MUSLIMSEJATI

0 coment�rios:

Postingan Lebih Baru Beranda Postingan Lama
Langganan: Postingan (Atom)

Follow Us

Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances

Popular Posts

    (tanpa judul) (tanpa judul)
    (tanpa judul) (tanpa judul)
    (tanpa judul) (tanpa judul)
    no image (tanpa judul)
    no image (tanpa judul)
    (tanpa judul) (tanpa judul)
    (tanpa judul) (tanpa judul)
    no image (tanpa judul)
    no image (tanpa judul)
    (tanpa judul) (tanpa judul)

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

  • Mei 2020 (1)
  • Agustus 2019 (8)
  • Juli 2019 (28)
  • Juni 2019 (31)
  • Mei 2019 (33)
  • April 2019 (31)
  • Maret 2019 (32)
  • Februari 2019 (28)
  • Januari 2019 (33)
  • Desember 2018 (31)
  • November 2018 (31)
  • Oktober 2018 (31)
  • September 2018 (29)
  • Agustus 2018 (21)

Laporkan Penyalahgunaan

  • Beranda

Mengenai Saya

Sepertiga Malam
Lihat profil lengkapku
Crafted with by TemplatesYard | Distributed by Gooyaabi Templates