Terorisme
merupakan salah satu fenomena global berupa ancaman yang menjadi permasalahan
dunia termasuk Indonesia. Sejak pertama kemunculannya, aksi serangan teroris terus
bertransformasi; baik dari segi organisasi, target dan modus operandinya. Evolusi
gerakan yang dibuat oleh pihak radikalisme dan terorisme meniscayakan negara
untuk terus beradaptasi dalam memberikan respons secara proporsional dalam
penanganan terorisme. Kelihaian dalam merespon tidak dimiliki oleh setiap
lembaga dan civil society dalam negara. Dibutuhkan syarat kelihaian ini
agar tidak terjadinya collateral damage.
Beberapa
terakhir ini, muncul perdebatan di kalangan publik mengenai sejauh mana Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dapat terlibat dalam menangani aksi radikalisme dan
terorisme di tanah air. Kekhawatiran itu disebabkan akan terjadinya pergeseran
dari criminal justice model yang mengedepankan penegakan hukum pada war
model yang mengedepankan pengerahan kapasitas militer. Kekhwatiran ini
semakin menguatkan masyarakat di tengah pandemi seperti saat ini.
Clark
McCauly membagi dua pendekatan dalam menangani terorisme, yakni criminal
justice model dan war model. Pendekatan pertama ini digunakan oleh
institusi kepolisian untuk menjadi garda terdepan dalam upaya penanganan
terorisme. Dalam konteks demokrasi, memang pendekatan ini lebih cocok ketimbang
war model. Lebih dari itu, pelibatan TNI secara berlebihan dalam
penanganan terorisme beresiko terhadap terjadinya tumpang tindih penugasan;
militerisasi kepolisian.
Pendekatan
war model hanya digunakan oleh negara-negara otoriter, walaupun seperti
Amerika Serikat yang menganut demokrasi liberal pun dalam beberapa praktiknya menerapkan.
Michael C Desch dalam Civilian Control of the Militery: The Changing
Security Environment (1999) mengatakan bahwa pelibatan militer berpotensi
terhadap pelemahan kontrol sipil terhadap militer seperti yang pernah terjadi
di Argentina. Pendekatan ini dinilai tidak efektif, sebab war model sangat
memicu respons yang lebih besar dari kelompok teroris.
Dalam
sejarah keindonesiaan, kehadiran militer dalam penanganan terorisme akan menjadi
pintu masuk atas kembalinya otoritarianisme; kontrol militer atas sipil. Implikasi
dari ini adalah teramputasinya hak-hak sipil seperti era Orde Baru. Pada zaman
Orba, serangan teror pembajakan pesawat DC-9 Garuda Indonesia Airways No 209
(Jakarta-Medan) atau yang dikenal dengan Operasi Woyla 1981 memicu pembentukan
unit khusus dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); yakni unit Detasemen
Penanggulangan Teror 81 atau Den Gultor 81 Kopassus. Di samping itu juga,
Angkatan Laut dan Udara membentuk sebuah satuan yang dikenal dengan Denjaka
Marinir (Detasemen Jalamangkara) dan Den Bravo Paskhas (Detasemen Bravo). Kewenangan
dan pendekatan war model kala itu membuat institusi kepolisian berfungsi
sebagai garda pendukung. Artinya, jika pelibatan militer disahkan maka potensi
Orba akan terjadi lagi dalam penanggulangan terorisme.
Syukurlah
Indonesia kala Era Reformasi, pergantian sistem politik berdampak pada
pemisahan antara fungsi Polri dan TNI. Dimana Polri bertanggung jawab pada
sektor keamanan, sedangkan TNI bertanggung jawab pada sektor pertahanan. Pembagian
tugas ini cukup ideal. Maka oleh sebab itu, ketika serangan Bom Bali I pada
tahun 2002, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yang memberi mandat kepada Kepolisian untuk membentuk
unit khusus dalam penanganan terorisme, yaitu Detasemen Khusus 88 yang berada
di bawah Bareskrim Mabes Polri.
Tugas
yang dijalankan Densus 88 ini dalam konteks negara yang berasaskan Pancasila
cukup efektif dengan pendekatannya yang menekankan aspek penegakan hukum. Misalnya,
fungsi intelijen (diteksi dini, analisis dan kontra-intelijen); fungsi represif
(negosiasi, pencegahan, penetrasi dan penjinakan bom); fungsi investigasi
(pemeriksaan TKP, saksi dan terdakwa, mengajukan bukti dan kasus); dan fungsi
pendukung (penyediaan peralatan seperti komunikasi, transportasi, logistik, koordinasi
dan kerjasama nasional-internasional). Kemudian dalam perjalanan waktu, terbentuk
pula Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui peraturan Perpres
No 46 Tahun 2010 tentang Pembentukan BNPT.
Alur
tugas dan fungsi-fungsi yang diperankan oleh Densus 88 dalam penanganan
terorisme lebih mengedepankan aspek penegakan hukum dan hak asasi manusia, yang
mengacu pada sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Artinya, pendekatan criminal
justice model yang diperankan Kepolisian berasaskan cara-cara damai,
akuntabel dan memiliki legitimasi dari unsur sipil. Cara ini pula yang
digunakan di Eropa seperti Belanda, Jerman, Inggris, Perancis dan negara yang
memiliki stabilitas sistem politik. Adapun negara yang menggunakan war model
seperti negara yang di bawah rezim Assad saat menghadapi ISIS di Suriah.
Oleh
sebab itu, alasan rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme
yang diserahkan ke DPR, kemudian DPR memberikan pertimbangan pada Pemerintah dapat
mengancam HAM di Indonesia dan mengembalikan memori lama rakyat Indonesia pada
rezim otoriter (Orde Baru). Mengapa? Perpres ini sebagai kunci utama TNI dalam
menjalankan wewenangnya dan mandat yang sangat luas. Disamping itu meniadakan
mekanisme akuntabilitas militer yang jeals untuk tunduk pada sistem peradilan
umum. Kekosongan aspek itu dalam menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan
pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) disamping berbahaya juga memberikan cek
kosong bagi militer.
Rancangan
Perpres pun tidak mengatur secara eksplisit dan detail maksud dari kalimat “operasi
lainnya”, yang terbunyikan dalam pengaturan kewenangan TNI tersebut. Ini sama saja dengan menimbulkan kecurigaan mendalam di tubuh
rakyat Indonesia bahwa militer kembali mengambil fungsi yang sangat luas, baik
di dalam maupun luar negeri. Bahkan istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun
hanya mengenal istilah “pencegahan”; di mana tugas kewenangan tidak diberi
kepada TNI (lihat pasal 7 Rancangan Perpres).
Dalam
konteks upaya penegakkan HAM di Indonesia, rancangan Perpres ini dapat
mengancam kehidupan hukum dan HAM. Militer yang sejatinya bukan merupakan
bagian dari aparat penegak hukum dan jati dirinya sebagai raison d’etre, tiba-tiba
diberikan kewenangan yang berlebihan menjadikan hal tersebut paradoks dengan
jati dirinya sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi
perang bukan pencegahan terorisme. Dalam perspektif
alat pertahanan negara, objek militer seharusnya berfungsi dalam menghadapi
ancaman terorisme di luar negeri, seperti umumnya diketahui ketika adanya
pembajakan kapal atau pesawat Indonesia, operasi pembebasan warga negara
Indonesia di luar negeri dan lain sebagainya.
Dengan adanya tugas penangkalan (istilah yang asing) dan penindakan yang
bersifat bukan perbantuan dalam mengatasi kejahatan di dalam negeri, akan
menimbulkan overlapping dan tumpang tindih antara penegak hukum (Kepolisian)
dan TNI. Artinya, Rancangan
Perpres tentang tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini bertentangan
dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebagai pasal tertinggi dalam
tubuh TNI, pasal per-pasal dalam Perpres pun akan bertabrakan dan telah menghilangkan
mekanisme checks and balances antara
Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar