Sabtu, 09 Mei 2020

Perlukah Kehadiran Militer dalam Penanganan Aksi Terorisme?


Terorisme merupakan salah satu fenomena global berupa ancaman yang menjadi permasalahan dunia termasuk Indonesia. Sejak pertama kemunculannya, aksi serangan teroris terus bertransformasi; baik dari segi organisasi, target dan modus operandinya. Evolusi gerakan yang dibuat oleh pihak radikalisme dan terorisme meniscayakan negara untuk terus beradaptasi dalam memberikan respons secara proporsional dalam penanganan terorisme. Kelihaian dalam merespon tidak dimiliki oleh setiap lembaga dan civil society dalam negara. Dibutuhkan syarat kelihaian ini agar tidak terjadinya collateral damage.
Beberapa terakhir ini, muncul perdebatan di kalangan publik mengenai sejauh mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat terlibat dalam menangani aksi radikalisme dan terorisme di tanah air. Kekhawatiran itu disebabkan akan terjadinya pergeseran dari criminal justice model yang mengedepankan penegakan hukum pada war model yang mengedepankan pengerahan kapasitas militer. Kekhwatiran ini semakin menguatkan masyarakat di tengah pandemi seperti saat ini.
Clark McCauly membagi dua pendekatan dalam menangani terorisme, yakni criminal justice model dan war model. Pendekatan pertama ini digunakan oleh institusi kepolisian untuk menjadi garda terdepan dalam upaya penanganan terorisme. Dalam konteks demokrasi, memang pendekatan ini lebih cocok ketimbang war model. Lebih dari itu, pelibatan TNI secara berlebihan dalam penanganan terorisme beresiko terhadap terjadinya tumpang tindih penugasan; militerisasi kepolisian.
Pendekatan war model hanya digunakan oleh negara-negara otoriter, walaupun seperti Amerika Serikat yang menganut demokrasi liberal pun dalam beberapa praktiknya menerapkan. Michael C Desch dalam Civilian Control of the Militery: The Changing Security Environment (1999) mengatakan bahwa pelibatan militer berpotensi terhadap pelemahan kontrol sipil terhadap militer seperti yang pernah terjadi di Argentina. Pendekatan ini dinilai tidak efektif, sebab war model sangat memicu respons yang lebih besar dari kelompok teroris.
Dalam sejarah keindonesiaan, kehadiran militer dalam penanganan terorisme akan menjadi pintu masuk atas kembalinya otoritarianisme; kontrol militer atas sipil. Implikasi dari ini adalah teramputasinya hak-hak sipil seperti era Orde Baru. Pada zaman Orba, serangan teror pembajakan pesawat DC-9 Garuda Indonesia Airways No 209 (Jakarta-Medan) atau yang dikenal dengan Operasi Woyla 1981 memicu pembentukan unit khusus dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); yakni unit Detasemen Penanggulangan Teror 81 atau Den Gultor 81 Kopassus. Di samping itu juga, Angkatan Laut dan Udara membentuk sebuah satuan yang dikenal dengan Denjaka Marinir (Detasemen Jalamangkara) dan Den Bravo Paskhas (Detasemen Bravo). Kewenangan dan pendekatan war model kala itu membuat institusi kepolisian berfungsi sebagai garda pendukung. Artinya, jika pelibatan militer disahkan maka potensi Orba akan terjadi lagi dalam penanggulangan terorisme.
Syukurlah Indonesia kala Era Reformasi, pergantian sistem politik berdampak pada pemisahan antara fungsi Polri dan TNI. Dimana Polri bertanggung jawab pada sektor keamanan, sedangkan TNI bertanggung jawab pada sektor pertahanan. Pembagian tugas ini cukup ideal. Maka oleh sebab itu, ketika serangan Bom Bali I pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memberi mandat kepada Kepolisian untuk membentuk unit khusus dalam penanganan terorisme, yaitu Detasemen Khusus 88 yang berada di bawah Bareskrim Mabes Polri.
Tugas yang dijalankan Densus 88 ini dalam konteks negara yang berasaskan Pancasila cukup efektif dengan pendekatannya yang menekankan aspek penegakan hukum. Misalnya, fungsi intelijen (diteksi dini, analisis dan kontra-intelijen); fungsi represif (negosiasi, pencegahan, penetrasi dan penjinakan bom); fungsi investigasi (pemeriksaan TKP, saksi dan terdakwa, mengajukan bukti dan kasus); dan fungsi pendukung (penyediaan peralatan seperti komunikasi, transportasi, logistik, koordinasi dan kerjasama nasional-internasional). Kemudian dalam perjalanan waktu, terbentuk pula Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui peraturan Perpres No 46 Tahun 2010 tentang Pembentukan BNPT.
Alur tugas dan fungsi-fungsi yang diperankan oleh Densus 88 dalam penanganan terorisme lebih mengedepankan aspek penegakan hukum dan hak asasi manusia, yang mengacu pada sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Artinya, pendekatan criminal justice model yang diperankan Kepolisian berasaskan cara-cara damai, akuntabel dan memiliki legitimasi dari unsur sipil. Cara ini pula yang digunakan di Eropa seperti Belanda, Jerman, Inggris, Perancis dan negara yang memiliki stabilitas sistem politik. Adapun negara yang menggunakan war model seperti negara yang di bawah rezim Assad saat menghadapi ISIS di Suriah.
Oleh sebab itu, alasan rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme yang diserahkan ke DPR, kemudian DPR memberikan pertimbangan pada Pemerintah dapat mengancam HAM di Indonesia dan mengembalikan memori lama rakyat Indonesia pada rezim otoriter (Orde Baru). Mengapa? Perpres ini sebagai kunci utama TNI dalam menjalankan wewenangnya dan mandat yang sangat luas. Disamping itu meniadakan mekanisme akuntabilitas militer yang jeals untuk tunduk pada sistem peradilan umum. Kekosongan aspek itu dalam menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) disamping berbahaya juga memberikan cek kosong bagi militer.
Rancangan Perpres pun tidak mengatur secara eksplisit dan detail maksud dari kalimat “operasi lainnya”, yang terbunyikan dalam pengaturan kewenangan TNI tersebut. Ini sama saja dengan menimbulkan kecurigaan mendalam di tubuh rakyat Indonesia bahwa militer kembali mengambil fungsi yang sangat luas, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun hanya mengenal istilah “pencegahan”; di mana tugas kewenangan tidak diberi kepada TNI (lihat pasal 7 Rancangan Perpres).
Dalam konteks upaya penegakkan HAM di Indonesia, rancangan Perpres ini dapat mengancam kehidupan hukum dan HAM. Militer yang sejatinya bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dan jati dirinya sebagai raison d’etre, tiba-tiba diberikan kewenangan yang berlebihan menjadikan hal tersebut paradoks dengan jati dirinya sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang bukan pencegahan terorisme. Dalam perspektif alat pertahanan negara, objek militer seharusnya berfungsi dalam menghadapi ancaman terorisme di luar negeri, seperti umumnya diketahui ketika adanya pembajakan kapal atau pesawat Indonesia, operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri dan lain sebagainya.
Dengan adanya tugas penangkalan (istilah yang asing) dan penindakan yang bersifat bukan perbantuan dalam mengatasi kejahatan di dalam negeri, akan menimbulkan overlapping dan tumpang tindih antara penegak hukum (Kepolisian) dan TNI. Artinya, Rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebagai pasal tertinggi dalam tubuh TNI, pasal per-pasal dalam Perpres pun akan bertabrakan dan telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar