Indoktrinasi Ala Kelompok Radikalis-Teroris
Harus diakui bahwa aksi terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi dunia, juga Indonesia. Hal ini terlihat dari serangkaian kejadian demi kejadian aksi teror yang terus menerpa masyarakat, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Dalam skala nasional, aksi teror pun terjadi belum lama ini. Tepat pada tanggal 13 lalu, terjadi ledakan bom yang mengagetkan warga di pemukiman padat penduduk Sibolga, Sumut. Seperti diketahui bahwa bom meledak saat tim Densus 88 Antiteror hendak menggeledah rumah perakit puluhan bom, Husain alias Abu Hamzah.
Tak selang lama, kejadian teror keji pun mengguncang dunia. Ya. Aksi penembakan secara membabi buta terhadap jamaah Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, Selandia Baru. Puluhan orang pun meninggal dalam aksi teror ini.
Dari dua kejadian di atas, dapat dianalisis lebih dalam, bahwa aksi-aksi teror sejatinya dilakukan tidak semata-mata atas nama individu, melainkan ada kelompok di dalam atau dibelakanganya. Dan kelompok inilah mendesain semunya melalui beberapa cara, salah satunya indoktrinisasi terhadap individu-individu untuk dijadikan/dimasukkan ke dalam kelompoknya.
Memang, dalam setiap aksi bom bunuh diri, misalnya; motivasi pelaku dapat dilihat dari dua sisi, yakni motivasi kelompok dan individu. Namun demikian, lazimnya aksi bom bunuh diri individu mulanya ia bagian dari kelompok radikalis-teroris.
Berbicara ihwal kelompok ekstrimis, rasanya tidak afdol jika tidak membahas atau mengulas agenda/strategi mereka. Salah satu strategi utama kelompok radikalis-teroris sejauh ini adalah indoktrinasi. Proses penanaman ideologi (kekerasn-red) terhadap seseorang adalah senjata yang paling diunggulkan. Mengapa? Karena proses ini menjadi pintu gerbang seseorang untuk ikut dan militan kepada kelompoknya. Jika nilai-nilai/ideologi kekerasan berhasil disuntikkan ke dalam diri seseorang, maka akan dengan mudah untuk mengatur/mengarahkan orang tersebut sesuai dengan keinginan.
Kruglanski (2014, dalam Aflus) menyebutkan tiga faktor utama dalam melakukan indoktrinasi. Pertama, aktivasi dari significance quest. Aktivasi dari cara pertama ini dapat dilakukan melalui tiga cara, salah satunya adalah melalui kesempatan significance gainyang berkaitan dengan konstruk intensif.
Dalam proses ini, seorang akan di-brainwashdan didoktrin serta diberikan harapan dan janji bahwa ia akan memperoleh imbalan yang setara dengan pengornanan yang ia lakukan. Biasanya, kelompok radikalis-teroris membelokkan makna jihad sebagai meledakkan bom di tengah masyarakat adalah bagian dari jihad yang mendapatkan imbalan surga.
Kedua, pemahaman tentang terorisme atau kekerasan sebagai jalan yang layak dan pantas untuk mendapatkan means to significance. Ketiga, commitment shift ke arah of significance.
Sebagai penegasan, bahwa indoktrinasi adalah senjata andalan kelompok radikalis, baik dalam konteks untuk merekrut maupun untuk menjalankan misinya. Sebab, indoktrinisasi merupakan proses yang dilakukan oleh kelompok radikalis-teroris yang sifatnya terencana, sistematis, efektif dan memiliki nilai berkelanjutan, yang tujuannya tidak lain dan tiada bukan adalah untuk mentransfer nilai-nilai/ideologi kelompok sehingga terbentuk kesamaan pola pemahaman, sikap, dan tindakan bagi para anggotanya.
Jika ditelisik lebih dalam, maka akan didapatkan berbagai cara/tahap dalam indoktrinasi yang diterapkan oleh kelompok-keompok garis keras. Secara umum setidaknya ada empat tahap.
Pertama, pelatihan lapangan. Tahap awal ini dilakukan sebagai bentuk untuk mempersiapkan mental dan fisik anggota. Lazimnya dilakukan secara tertutup. Dan ini pula yang menjadi salah satu ciri kelompok ini, yakni eksklusif karena laku mereka berbeda dengan orang kebanyakan.
Kedua, tarbiyah. Di kelompok teroris, tahap ini disebut sebagai langkah untuk memantabkan pemahaman aqidah. Di sinilah ideologi radikal-teroris ditancapkan dalam diri setiap anggotanya. Aqidah kelompok ini berbeda dengan aqidah Ahlusunnah pada umumnya. Salah satu perbedaannya adalah dalam memahami makna jihad dan kafir serta sistem negara.
Ketiga, komitmen. Setelah latihan lapangan dan pemantapan kesiapan jihad dilalui, maka langkah selanjutnya adalah berkomitmen. Pada tahap inilah para anggota diuji akan kesetiannya. Tak hanya itu, mereka juga ditanya komitmennya untuk bersedia mati syahid. Dalam tahap ini pula, militansi kelompok radikalis-teroris terbentuk. Komitmen yang tinggi menjadikan tak ada peluang sedikitpun bagi para anggota untuk kembali dan membatalkan niat dan keinginannya untuk mati syahid dengan cara meledakkan diri.
Terakhir, Isytisyhadiyah (menjemput kesyahidan). Setelah tahap demi tahap indoktrinasi dilalui, tibalah pada tahap terakhir, yakni menjemput kesyahidan. Dalam fase ini, anggota sudah memiliki pemahaman yang selaras dan memiliki komitmen tinggi terhadap kelompok.
Dengan demikian, tugas seorang guru atau mentor dalam hal ini adalah menjaga komitmen calon pelaku bom bunuh diri agar tetap pada keyakinannya untuk melakukan serangan tertentu. Dan serangan ini, sekali lagi, diartikan sebagai usaha menjemput kesyahidan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kelompok radikalis-teroris sudah sedemikian sistematis dalam merekrut anggota untuk menjalankan msisinya. Tugas kita sekarang ini adalah, merangkul generasi-generasi muda untuk tekun dalam belajar nilai-nilai agama yang sesungguhnya agar tidak mudah diindoktrinasi kelompok radikal.
#muslimsejati
Sumber : harakatuna.com
0 coment�rios: