Home Top Ad

Responsive Ads Here

Lima Bukti Pancasila Sesuai Syariat Islam Penulis   Abdul Aziz  - 22 Maret 2018 0 433 BincangSyariah.Com –  Akhir-a...

Pancasila sesuai syariat islam


Lima Bukti Pancasila Sesuai Syariat Islam


0
433
BincangSyariah.Com – Akhir-akhir ini suara-suara untuk menegakkan syariat Islam secara keseluruhan kembali mencuat. Seruan ini disertai dengan usaha-usaha untuk menyebarkan ideologi kekhilafahan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila dan UUD 45.
Bagi mereka, Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu jenis kemusyrikan dan bahkan layak disebut thagut. Jelas pemikiran seperti ini merupakan hasil pembacaan yang nominalis, pembacaan yang fokus kepada nama, bukan semangat yang dikandung nama tersebut.
Dalam Pancasila, tidak ada sila-sila yang dapat menjerumuskan ke dalam sistem kesyirikan atau ke-thagut-an. Coba perhatikan baik-baik lima sila dalam Pancasila. Semuanya merupakan pesan-pesan yang bersesuaian dengan nilai universal Islam.
Bagi kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam, al-Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika membandingkan semangat nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal Islam lewat kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa kedua dasar negara ini sesuai dengan maqasid syariah.
Sila pertama, ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sila ini dulu menjadi perdebatan yang hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau sering juga disebut sebagai Piagam Jakarta. Namun karena ada ketidaksetujuan di sana-sini, sila ini kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa’.
Jika dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih bernilai tauhid atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama. Sedangkan yang kedua, penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak menekankan makna tauhid yang sebenarnya.
Karena itu, sila yang sekarang digunakan jelas sangat bersesuaian sekali dengan semangat kemahaesaan Tuhan yang digaungkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran. Hal demikian misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat seperti QS. An-Nisa: 36, QS. al-An’am: 151, QS. an-Nur: 55, QS. Yusuf: 40, QS. Ali Imran: 64 dan masih banyak lainnya. Semua ayat ini mengandung arti perintah selalu untuk mengesakan Tuhan. Sementara itu musuh utama kemahaesaan Tuhan dan keserbamutlakannya ialah sikap mengesakan suatu pendapat sebagai satu-satunya kebenaran dan sikap memutlakkan yang seharusnya tidak berhak dimutlakkan. Gerakan mengkafir-kafirkan orang hanya karena berpaham Pancasila jelas merupakan lawan dari semangat tauhid.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita menolak semangat yang terkandung dalam sila kedua dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak menjalin hubungan baik dengan manusia secara beradab dan berakhlak. Konsekwensi logisnya, kalau kita menolak berhubungan baik dengan manusia, sebutan yang pas untuk kita ialah manusia tak bermoral, barbar dan biadab. Na’udzu billah!Dalam al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai posisi manusia dan kemanusiaan. Hal demikian misalnya seperti yang dapat kita perhatikan pada QS. At-Taghabun: 3, Hud: 61, Ibrahim: 32-34, Luqman: 20, ar-Rahman: 3-4, al-Hujurat: 13, al-Maidah: 32 dan lain-lain.
Membunuh manusia hanya karena alasan mereka kafir, musyrik menurut pandangannya jelas sangat bertentangan dengan ayat ini. Nabi saja diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia agar mereka menjadi manusia seutuhnya. Jika ada seorang muslim yang tidak memiliki sifat perikamanusiaan, maka dia bertentangan dengan al-Quran dan hadis nabi. Dalam hadis-hadisnya, Nabi sering mendefinisikan seorang muslim sebagai man salima al-muslimun min yadihi wa lisanihi “orang yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.” Jadi orang yang tidak menjaga lidah dan tangannya, dalam definisi hadis Nabi ini, layak disebut sebagai bukan muslim. Artinya sebagai manusia muslim kita harus berperikemanusiaan.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Dalam al-Quran, persatuan merupakan prinsip terpenting dalam membangun komunitas. Dalam al-Quran, ditemukan banyak sekali anjuran untuk bersatu dan kecaman terhadap perpecahan. Bahkan persatuan disebut al-Quran sebagai tali Allah. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat pada  QS. Ali Imran: 64, 102-107. Semangat persatuan juga dapat kita temukan dalam beberapa ayat al-Quran seperti dalam QS. al-An’am: 153, QS. ar-Rum: 30-32, QS. al-Bayyinah: 1-5 dan lain-lain. Di dalam prakteknya di negara Madinah, Nabi menjalin persatuan dengan kelompok-kelompok sosial dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan kalangan orang musyrik seperti Bani Khuza’ah, Bani Juhainah dan lain-lain yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.
Nabi mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu jika kemudian diserang oleh pihak musuh, yakni kaum Musyrik Quraish. Jika dengan kelompok non-muslim saja Nabi menjalin persatuan di negara Madinah, seharusnya umat Islam juga bersatu padu dan bahu membahu dalam kebaikan dengan kelompok selain mereka. Indonesia dengan berbagai macam suku, agama, budaya mampu menyatukan elemen-elemen masyarakat. Dalam perspektif Islam, Indonesia telah mengamalkan semangat al-Quran dan sunnah Nabi untuk menjalin dan menjaga persatuan dari tataran terkecil sampai tataran terbesar.
Jika menolak sila persatuan dan semangatnya ini, berarti  dengan sendirinya kita mendukung perpecahan dan kerusakan dan itu artinya kita dapat pula disebut sebagai pembuat keonaran dan pemecah belah umat. Jadi banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk bersatu.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Semangat yang terkandung dalam sila ini ialah semangat untuk melawan segala bentuk tirani yang terejawantahkan ke dalam sistem totalitarianisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan. Semangat melawan tirani  ini jelas semangat yang quranik, karena Islam menolak dengan tegas kekuasaan yang terpusat kepada individu atau segelintir elit tertentu. Kekuasaan yang terkumpul pada satu individu tertentu sangat rawan untuk disalahgunakan dan rawan dari kekeliruan dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Dalam al-Quran ilustrasi tentang pemusatan kekuasaan dan kebenaran hanya pada satu sosok tertentu terletak pada model kepemimpinan Fir’aun.
Untuk menghindari itu, al-Quran membuka kanal berupa musyawarah dan pembagian tugas dan wewenang (kullukum ra’in) sebagai solusi agar kekuasaan tidak  terpusat kepada satu sosok pemimpin. Nabi dalam QS. Qaf: 45 sering disebut sebagai wa ma anta alayhim bi-jabbar“Kamu bukanlah tipe orang yang bertindak semena-mena terhadap mereka” dan dalam QS. al-Ghasyiyah: 22 sebagai lasta alayhim bi-musaytir “Kamu bukanlah tipe orang yang otoriter”.  Dua ayat ini cukup untuk dijadikan rujukan bahwa dalam Islam, tipe kepemimpinan yang otoriter sangatlah dilarang. Ditambah lagi dengan penegasan untuk selalu bermusyawarah seperti yang dapat dilihat pada QS.  al-Baqarah: 233, Ali Imran: 159 dan as-Syura: 38 dan semangat pembagian kerja atau perwakilan seperti yang dapat kita temukan pada QS. an-Nisa: 35 dan QS. Yusuf: 55.
Jika kita menolak sila keempat dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak sistem perwakilan dan musyawarah serta mendukung sistem otoriter dan itu artinya kita mengadopsi sistem otoritarianisme yang kufur.  Semangat perwakilan dan
Sila kelima, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika mereka menolak Pancasila, berarti mereka mengabaikan keadilan dan membela kezaliman. Sila kelima dalam Pancasila sangat menjunjung tinggi keadilan, semangat yang selalu digaungkan al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya. Dalam al-Quran, menjunjung tinggi keadilan merupakan bentuk amal yang dekat dengan ketakwaan. Ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan dapat dilihat pada QS. An-Nisa: 58, 135, al-Maidah: 8, al-An’am: 152-153, al-A’raf: 29, Hud: 84-86 dan lain-lain.
Lebih jauh lagi, jika kita menolak UUD 45 yang bersemangat anti-penindasan dan penjajahan, berarti dengan sendirinya kita pro-penindasan dan pro-penjajahan. Jika demikian halnya, sebagian kita yang melakukan aksi-aksi penindasan yang mengatasnamakan Islam sebenarnya merupakan musuh Islam yang nyata dan musuh bagi Indonesia yang islami ini.  Dengan pendasaran teologis terhadap Pancasila dan UUD 45 melalui semangatnya yang sangat quranik, jelaslah bahwa tidak tepat jika kedua dasar sistem kenegaraan kita ini dianggap sebagai tidak Islami.
Meski secara nama, Pancasila dan UUD 45 tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah, namun seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar yang ma nataqa an-nash ‘apa yang ada dalam al-Quran dan Sunnah’ tapi lebih dari itu, yakni, yang ma wafaqa as-syar’a ‘yang sesuai dengan semangat syariat’. Pandangan ini cukup untuk membantah keyakinan bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran. Selagi hukum tersebut bersesuaian dengan syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, maka jelas Pancasila dan UUD 45 sangatlah islami.
Singkatnya, siapa pun orangnya dan apapun pahamnya yang tegas-tegas menolak keesaan Allah, menentang kemanusiaan, memecah belah persatuan, mengadopsi otoritarianisme dan menghancurkan sendi-sendi keadilan itulahthagut sebenarnya. Jika jaringan teroris yang mengatasnamakan Islam melawan ini semua, bukankah dengan sendirinya mereka itu salah satu thagut yang harus kita perangi? Wallahu a’lam.
#muslimsejati
Sumber : bincangsyariah

0 coment�rios:

Ini Penyebab Seseorang Terpengaruh Paham Radikal Mahasiswa dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Jabodetabek membacakan Deklaras...

Penyebab seseorang terpengaruh paham radikal

Mahasiswa dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Jabodetabek membacakan Deklarasi anti NII dan gerakan radikal agama lainnya di loby STIE Ahmad Dahlan Ciputat, Tangerang Selatan.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Banyak masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia memutuskan bergabung dengan kelompok radikal seperti ISIS karena ada beberapa faktor penyebab.

"Kemungkinan banyak dari orang Indonesia masuk ISIS untuk mendapatkan ekonomi yang lebih baik,"  kata pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia Smith Alhadad, Selasa (24/3).
Menurut Smith, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia semakin menurun sekarang. Hal ini berakibat orang berbondong-bondong pergi ke negara Timur Tengah yang dianggap negara kaya.
Menurutnya, kesalahan pandangan ini yang mendorong mereka bergabung dengan ISIS untuk mendapatkan ekonomi yang lebih baik. Hal ini dilihatnya dari kasus WNI yang baru tertangkap.
Indikasinya,  mereka membawa anak istri untuk turut bergabung. Jika memang tujuan utamanya jihad, ujar Smith, mereka tidak akan membawa perempuan dan anak yang masih sangat kecil.

Faktor kedua, adalah propaganda yang menyerang generasi muda lewat internet. Dijelaskannya anak muda sekarang lebih mengandalkan internet untuk mendapatkan informasi yang sangat luas.

"Mereka yang mencari informasi lewat internet sangat rentan terhadap pengaruh ISIS terutama kaum muda," ujarnya.

Ia mengatakan anak muda yang sudah semakin sedikit melihat informasi lewat media cetak atau buku-buku pelajaran. Mereka memilih mendapatkan informasi lewat internet yang dinilai ISIS sebagai kesempatan merekrut anggota lewat penyebaran video jihad dan pemahaman sesat mereka.
Lalu, dorongan dari organisasi masyarakat Islam yang salah mengarahkan pengikutnya untuk mendukung gerakan jihad Alkaidah  dan ISIS.
"Faktor dorongan dari ormas yang menyerukan untuk mengikuti kelompok Alkaidah dan mendukung jihad ISIS di Suriah dan Irak, juga tempat-tempat lain," kata Smith.
Namun, Smith mengaku diuntungkan dengan kondisi di Indonesia yang  masih banyak ulama besar berwibawa. Sehingga bisa menekan perkembangan radikalisasi Islam dengan fatwa-fatwa yang masih diperhitungkan.
#muslimsejati

Sumber:republika.co.id

0 coment�rios:

PEMERINTAH INDONESIA SUDAH MENERAPKAN AJARAN ISLAM  Banyakorang bilang Indonesia itu negara kafir Itu salah besar!! Pemerintah I...

PEMERINTAH INDONESIA SUDAH MENERAPKAN AJARAN ISLAM

PEMERINTAH INDONESIA SUDAH MENERAPKAN AJARAN ISLAM 


Banyakorang bilang Indonesia itu negara kafir
Itu salah besar!!

Pemerintah Indonesia itu sudah menerapkan ajaran-ajaran islam, dimana disini kita merasakan perdamaian antara umat beragama.
Karna seperti yang Rasulullah ajarkan, bagaimana Rasulullah menyabarkan ajaran Islam dulu
Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita dengan kekerasan, singkat cerita bagaimana baiknya Rasulullah dengan orang Yahudi yang pada saat itu menjadi musuhnya, ketika Rasulullah wafat sahabat bertanya kepada istrinya Rasulullah, apakah yang selalu dikerjakan Rasulullah setiap pagi sebelum wafatnya, istrinya menjawab memberi makan seorang wanita tua Yahudi di sebrang sana, maka mendengar itu langsung lah sahabat tersebut mengerjakan seperti Rasulullah yang selalu kerjakan, sesampai disana sahabat melihat ibu tua itu buta, kemudian sahabat tersebut memberikan makan kepada sang ibu tua itu dengan menyuapinya seperti yang Rasulullah lakukan, pada saat itu sang ibu terus mengupat-mengupat Muhammad dan pada saat di suapi sahabat sang ibu tua bertanya, engaku bukanlah orang yang selalu datang kesini, siapa engkau?
Bertanyalah sahabat, bagaimana engkau bisa tau?karna orang yang selalu datang kesini sebelum menyuapkan makanan kepada saya dia mengunyah lainnya terlebih dahulu,sepontan Sahabat kaget melihat bagaimana kebaikan Rasulullah dan pada saat itu sahabat itu memberi tahu kepada ibu tua tersebut, bahwa yang selalu menyuapinya makan setiap pagi itu adalah Muhammad Rasulullah SAW yang sudah wafat,maka mendengar itu sang ibu tua langsung menangis dan berdoa memeluk agama Islam.

Maka dari itu dari cerita ini Rasulullah sudh mengajarkan kita bagaimana Islam sesungguhnya

0 coment�rios:

Mahasiswa baru rentan terpapar radikalisme suhardi di UI. ©2018 Merdeka.c PERISTIWA  | 27 Agustus 2018 04:27 Reporter :  Wisnoe Moe...

Mahasiswa baru rentan terpapar radikalisme

PERISTIWA | 27 Agustus 2018 04:27Reporter : Wisnoe Moerti
Merdeka.com - Mahasiswa baru rentan terpapar paham radikalisme. Masuknya mahasiswa baru ke universitas negeri maupun swasta, dimulai pulalah usaha perekrutan oleh-oleh kaum radikal.
"Mahasiswa baru sangat rentan dengan penyebaran paham negatif ini," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius saat memberikan kuliah umum di hadapan lebih dari 1.700 mahasiswa baru Institut Teknologi Nasional, Bandung, seperti dilansir Antara, Minggu (26/8).
Menurut mantan Kabareskrim Polri ini, penyebaran paham radikalisme di wilayah kampus sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, banyak dosen yang juga terpapar radikalisme. Sehingga ketika mereka menjadi mentor, malah membawa anak didiknya ke paham negatif tersebut.
"Hati-hati dalam memilih mentor, hati-hati dengan dosen. Kalau kalian merasa sudah ada yang terlihat, laporkan karena bukan cuma kalian yang terpapar, dosen juga terpapar, bahkan guru besar juga terpapar," katanya dikutip dari siaran pers.
Suhardi menegaskan universitas melalui rektor bertanggung jawab terhadap apa saja yang terjadi di lingkungan kampus. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan, dalam hal ini menyebarnya radikalisme dan terorisme, rektor patut disalahkan.
"Saya sudah bilang sama Menristekdikti, peran rektor itu sangat besar, apa yang terjadi di kampus itu tanggung jawab rektor. Kalau tidak mampu mengelola kampusnya, saya minta rektornya diganti," ujarnya.
Suhardi menjelaskan bahwa banyak permintaan kepada BNPT untuk mengisi kuliah umum di berbagai universitas terkait dengan resonansi kebangsaan serta radikalisme dan terorisme. Pihaknya berupaya memenuhi semua permintaan tersebut.
"Karena penanaman benih-benih radikalisme dan perekrutan anggota itu juga saat penerimaan mahasiswa baru, saya berkepentingan. Para pejabat BNPT saya tugaskan habis untuk memberikan pencerahan," katanya pada kuliah umum yang dihadiri oleh Rektor Institut Teknologi Nasional Imam Aschuri itu.
Sumber : merdeka.com
#muslimsejati


0 coment�rios:

Pancasila Tidak Mengurangi Islam Kita Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun demiki...

Pancasila Tidak Mengurangi Islam Kita


Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun demikian, negara Indonesia bukanlah negara Islam, akan tetapi negara yang berasas Pancasila. Melalui Pancasila beragam perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, ras, bahasa, agama, bahkan tradisi dan budaya mampu dipersatukan menjadi Bhineka Tunggal Ika. Semua tak sama, tetapi semua memiliki tujuan yang sama menjadi Indonesia.

Prof Dr Kiai Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam salah satu ceramahnya di Youtube menyatakan, Pancasila dan Islam sama sekali tidak bertentangan. Justru di dalam butir-butir Pancasila mengandung esensi ajaran Islam. Menurutnya Pancasila bukanlah agama, namun Pancasila tidak mengurangi keislaman umat Islam indonesia.

Kiai yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur itu mengingatkan agar umat Islam Indonesia berkomitmen untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik, yang taat pada aturan-aturan dan kesepakatan negara bangsa Indonesia. Tidak boleh lagi ada yang mempertentangkan Pancasila, Undang-undang 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Semua dasar-dasar negara itu telah disepakati oleh para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya juga oleh para ulama.

“Pancasila bukan agama, Islam tidak mengganggu pancasila, pancasila tidak mengurangi Islam kita. Untuk itu jadi orang Islam yang baik dan menjadi warga negara yang baik, yaitu berdasarkan pancasila, UUD 1945, menghormati bhineka tunggal ika,”tegas Kiai asal Cirebon itu.[ islamramah.co]

0 coment�rios:

Islam Agama Cinta Damai Juli 04, 2018 Sebelum membahas islam sebagai agama yang damai, setiap individu hendaknya mengetahui...

Islam Agama Cinta Damai


Sebelum membahas islam sebagai agama yang damai, setiap individu hendaknya mengetahui hakikatnya sebagai manusia itu apa. Hakikat manusia adalah didalam Al Qur,an di temukan tiga kosakata yang berbeda dengan makna manusia. akan tetapi mempunyai subtansi yang berbeda.


1.       Basyar
Berhubungan dengan sifat biologis, yang berarti manusia makan dan minum.
2.       Insan
Disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 65 kali yang mana Insan berarti makhluk yang menjadi dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
3.       An Nas
Disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 240 kali yang mana Al Nas ini menunjuk kepada manusia sebagai ,akhluk kolektif.

Manusia yang paham akan hakikatnya sebagai manusia tidak akan membahayakan manusia lainnya. Baik dengan pola berpikir, berperilaku, maupun sadar dalam berinteraksi sosial. maka akan salah ketika manusia tersebut menganut ajaran sesat yang jauh dari ajaran islam sesungguhnya

Perbedaan keyakinan tidaklah menyurutkan rasa individualis seseorang atas keyakinan yang menurutnya agama yang paling benar. Keyakinan dalam beragama hendaknya menimbulkan konflik atau perceahan yang menjadikan negara Indonesia jauh dari menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme..
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan menjunjung tinggi persaudaraan meskipun berbeda keyakinan maka tidak akan adanya konflik dan perpecahan. Sehingga jadilah Indonesia negara yang damai dan tentram. Maka manusia harus sadar hakikatnya sebagai manusia apa. sehingga tidak salah langkah dalam setiap perbuatan yang dilakukan.
#muslimsehati

0 coment�rios:

Kurban dan Kejahatan Terorisme Abdullah,  NU Online  | Kamis, 23 Agustus 2018 05:29 Oleh Aris Adi Leksono Tentu kehadira...

Qurban dan kejahatan terorisme

Kurban dan Kejahatan Terorisme

Kurban dan Kejahatan Terorisme
Abdullah, NU Online | Kamis, 23 Agustus 2018 05:29
Oleh Aris Adi Leksono

Tentu kehadiran Idul Adha bukan sekadar seremonial kebahagiaan syiar Islam, tetapi mesti diambil hikmahnya karena segala sesuatu yang disyariatkan Allah SWT tidak akan sia-sia. Dengan kata lain, pasti mengandung berjuta makna dan pesan bagi kehidupan umat seluruh alam, "rabbana maa khalakta haadza baatila".

Makna mendalam dari Idul Adha atau Idul Qurban bisa digali dari dua aspek. Pertama, aspek ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Makna dari aspek ini adalah disyariatkannya haji dan umrah yang tidak akan terjadi di bulan lainnya. Tentu ibadah ini memiliki nilai yang istimewa dan hadapan Allah SWT. 

Sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda: "Barangsiapa berhaji ke Baitullah tanpa berkata keji, tanpa bersetubuh dan tanpa berbuat kefasikan (selama ihram), maka dia pulang (tanpa dosa) bagaikan bayi yang baru lahir." [HR. Al-Bukhari).

Kedua, aspek ibadah yang terkait dengan dimensi sosial dan kemanusiaan. Aspek ini dibuktikan dengan perintah berkurban, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat Al-Kautsar ayat 2; "maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah". 

Berkurban bernilai ibadah yang berkaitan erat dengan dimensi sosial dan kemanusiaan. Berbagai daging binatang ternak kepada sesama dan kepala orang kurang mampu yang lebih membutuhkan.

Perintah kurban sesungguhnya telah disyariatkan sejak Nabi Adam dan diperkuat kembali melalui perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail. 

Habil yang diriwayatkan sebagai peternak. Ia melakukan kurban kepada Allah dari hasil ternak terbaiknya, sebuah domba besar. Sementara Qabil diriwayatkan sebagai petani, ia melakukan kurban kepada Allah dari hasil panennya yang buruk. Maka Allah pun hanya menerima kurban dari Habil. Wal hasil domba yang dikurbankan oleh Habil diangkat ke surga. 

Pada masa yang jauh sesudahnya, di masa Nabi Ibrahim, ia diperintahkan untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail. Setelah keduanya berpasrah kepada Allah untuk melakukan perintah itu, maka Allah berfirman: "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Q.S. Ash-Shaffat: 107). Artinya Allah SWT mengganti Islmail dengan kambing gibas.

Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir, juz 7, Hal 31; "Sembelihan yang disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah domba kurban Habil yang telah diterima". 

Apa mungkin ini terjadi? sangat mungkin, karena Allah maha tahu dan maha bijaksana. Allah SWT buktikan itu, dengan pasti membalas keikhlasan dan totalitas hambanya dalam beribadah dengan kebaikan yang berlipat ganda. Keikhlasan dan totalitas ibadah Ibrahim dan Ismail, dibalas dengan menghindarkan kemudaratan kepada keduanya. 

Lantas apa benang merah antara hakikat kurban dan kejahatan terorisme? 

Sekilas sama-sama berkurban. Menurut oknum teror, mereka juga berkurban. Mereka juga semata-mata menunjukkan totalitas dalam beribadah. Awalnya juga hampir sama, yaitu berkurban nyawa, seperti Nabi Ibrahim akan mengorbankan Ismail. 

Tetapi yang patut menjadi catatan adalah terorisme berkurban dan totalitas penghambaannya dengan tetap menyakiti orang lain, membunuh orang lain, bahkan membunuh dirinya sendiri. Sedangkan Ismail yang akan disembelih ayahnya totalitas penghambaannya tetap memperhatikan nilai kemanusiaan, dalam bentuk Allah SWT mengganti Ismail dengan domba gibas.

Dalam kalimat sederhana, dapat dikatakan "Allah SWT saja sangat memuliakan manusia, meskipun pengorbanan manusia untuk ibadah kepada-Nya, Allah SWT tetap menjunjung nilai kemanusiaan dalam bentuk menyelamatkan Ismail". 

Mafhum muwafaqah dari kalimat sederhana tersebut, mestinya manusia lebih bisa memanusiakan manusia; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sehingga tidak akan terjadi kekerasan, pembunuhan, menyakitkan, atau bentuk teror lainnya atas nama agama atau manifestasi ideologi lainnya. 

Dalam kisah Habil dan Ibrahim, di satu sisi diingatkan untuk melaksanakan  sesuatu dengan ikhlas dan penuh totalitas bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan. Namun di sisi lain juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia—sebagaimana yang terjadi dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu—adalah hal yang diharamkan. 

Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan.

Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya. Bukan kemudian, dengan atas nama dakwah, atas nama menegakkan ajaran Islam, nyawa manusia tidak dihargai, semisal bom bunuh diri, teror, penganiayaan dan bahkan pembunuhan.

Walhasil, pengorbanan para jihadis yang dalam lingkup terorisme adalah perbuatan yang menentang ajaran Al-Qur'an. Karena Islam dan Al-Qur'an menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. 

Maka dengan momentum Idul Adha, hendaknya para jihadis mampu bermuhasaban dengan "menyembelih" nafsu hayawaniyyah pada diri mereka untuk tidak mengorbankan diri dan orang lain. Kembali memilih jalur dakwah Islam rahmatan lil alamin seperti teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.


Penulis guru MTsN 34 Jakarta, Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama

Sumber : nu online
#muslimsejati

0 coment�rios:

Waspada 5 strategi licik islam radikal kuasai indonesia Dalam riset yang diterbitkan bentuk buku berjudul   Wajah ...

Waspada strategi licik

Waspada 5 strategi licik islam radikal kuasai indonesia









Dalam riset yang diterbitkan bentuk buku berjudul Wajah Para Pembela Islam(2010), Setara Institute Jakarta menyebutkan bahwa berbagai kelompok Islam radikal telah menyusun strategi dan taktik yang lebih canggih dalam pergerakan mereka. Pernah dimuat Harian Bernas pada 5 Agustus 2016.

Ini bertujuan juga untuk menghancurkan kelompok Islam lainnya. Memahami strategi dan taktik kaum radikal ini sangat penting agar pemerintah, para ulama, organisasi,  serta masyarakat secara umum waspada akan gerakan mereka. Strategi tersebut adalah:

1. Aliansi Politik
Kelompok radikal membangun dukungan politik dengan politisi atau penguasa. Biasanya saat ada momen politik pemilu atau pilkada. Ada hubungan simbiosis mutulisme dalam aliansi ini. 

2. Cari Dukungan dari Tokoh dan Ormas Islam Moderat

Dikarenakan jumlahnya sedikit, maka kelompok intoleransi tersebut membangun hubungan dengan tokoh agama atau ormas yang moderat. Mereka mengembangkan berbagai taktik, di antaranya adalah aktif melobi tokoh dan para habib serta berbagai ormas Islam untuk berjuang bersama-sama mereka. 

3.
Infiltrasi MUI
Sejak tahun 2005, kelompok radikal memandang memerlukan dukungan lembaga ulama yang memiliki otoritas tertinggi di Indonesia (MUI).  Taktik yang dipakai adalah masuk menjadi pengurus ke MUI dan mendesakkan agenda radikal mereka atas nama MUI.

4. Aksi Hukum dan Aksi Jalanan

Belakangan ini, kelompok Islam radikal mengembangkan strategi advokasi yang memadukan advokasi non-litigasi (di luar pengadilan) dengan advokasi litigasi (lewat pengadilan). Mereka tampaknya sadar bahwa tanpa sokongan produk hukum, perjuangan mereka akan sulit berhasil. Namun, mereka juga sadar bahwa untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang pro agenda
perjuangan mereka, diperlukan aksi-aksi jalanan agar bisa menekan aparat hukum dan pemerintah. 

5. Jaringan Aksi Antarkota

Sudah sejak lama kelompok Islam radikal sudah mengembangkan strateg membangun jaringan aksi. Mereka berusaha agar setiap aksinya didukung oleh kelompok lainnya. Tujuannya agar isu yang diperjuangkan menjadi lebih kuat gaungnya dan bisa menjadi agenda perjuangan bersama.
Mereka berpikir, dengan semakin bergaungnya aksi, dan makin banyaknya kelompok lain yang memperjuangkan, akan makin besar [ula kemungkinannya untuk berhasil. Oleh karena itu, kelompok ini membangun taktik jaringan aksi antarkota. 

Silakan dianalisis tulisan di atas, hubungkan saja dengan kejadian saat ini, apakah ada kesesuaian atau tidak. Fenomena kasus penistaan agama di Jakarta hanyalah salah satu tragedi politik kotor yang dimainkan oleh beberapa kelompok radikal untuk terus tetap bergema. 

Gaungnya akan terus dipelihara dengan berbagai aksi untuk mendapatkan simpati dari kelompok masyarakat Islam lainnya. Tema penistaan agama, ancaman PKI, ancaman Syiah adalah isu yang "marketable" untuk meraih simpati masyarakat.


#muslimsejati 

0 coment�rios:

Akibat Beragama Secara Harfiah P ersoalan keagamaan sering terjadi dan muncul di tengah masyarakat, karena keterpakuan orang berag...

Akibat Beragama Secara Harfiah


Persoalan keagamaan sering terjadi dan muncul di tengah masyarakat, karena keterpakuan orang beragama pada teks. Misalnya, baru-baru ini, Evie Evendi Gapleh yang menyatakan Nabi Muhammad saw., sebagai orang yang sesat, akibat secara serampangan dan tanpa ilmu mengartikan secara harfiah dâllan dalam QS. Al-Dhuha/93:7.
Sebelumnya, Firanda Andirja, menyatakan kedua orang tua Rasulullah berada di dalam neraka, sebab mengartikan secara harfiah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim (baik riwayat Anas bin Malik maupun Abu Hurayrah). Sebelumnya lagi, pernyataan artis Teuku Wisnu yang mengundang perselisihan terkait sampai tidaknya bacaan Alfatihah untuk orang yang sudah wafat. Kasus lainnya, pemelintiran ceramah KH. Said Agil Siraj terkait masalah kesunahan jenggot dan jubah. Dan banyak lagi, kasus di mana orang salah memahami karena terpaku pada makna harfiah ayat atau hadis.
Bagi sebagian orang, terikat pada teks dalam hal keberagamaan adalah berpegang kepada kemurnian ajaran agama itu sendiri, karenanya benar dan mulia. Mereka tidak memperdulikan bahwa ada sejarah yang melatarbelakangi kelahiran dan pembuatan teks itu. Bagi mereka: teks adalah sumber kesegalaan. Mereka yang menggunakan konteks dan nalar semata dianggap telah mengkhianati kalam suci itu. Bahayanya, sikap harfiah dalam memahami teks agama dapat menimbulkan ragam permasalahan di masyarakat.
Kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri, misalnya, sangat mudah dan senang menuduh kelompok Islam lainnya sebagai pembuat bidah. Imbalan bagi pelaku sesat itu adalah neraka. Tidak jarang sifat kafir sering disematkan kepada siapapun yang pandangan keberagamaannya lain dengan mereka. Perilaku tak-bersahabat itu muncul dari keyakinan teguh pada satu atau beberapa teks dari Alquran atau Hadis. Padahal, kelompok yang sering dituduh sesat pun mengambil rujukan dan dasarnya dari Alquran dan Hadis yang sama.
Muara masalahnya adalah pada teks. Teks di dalam kajian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) juga dalam ilmu-ilmu sosial adalah sangat penting. Para peneliti dan sarjana selalu berhubungan dengan teks. Sejarawan, agamawan, pengkaji film, kritikus sastra, kesusasteraan, kebahasaan, kearsipan, arkeologi, sosiologi, dan antropologi selalu bekerja dengan teks. Ilmu tentang kajian naskah dan teks itu, atau Filologi, (atau kajian teks lainnya, tekstologi, atau analisis wacana/discourse analyse, dll.) amat bermanfaat dalam kajian Islam.
Khazanah klasik Islam dapat terbaca seperti sekarang berkat kerja keras para filolog. Dengan bantuan kajian naskah, akan membentuk dan memberikan hujjah yang sangat kuat. Sebab, semua hujjah berdasarkan teks yang berasal dari masa lampau, yaitu dari masa dan waktu yang menjadi inti kajian tersebut.
Kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri berpaku pada teks, tanpa melihat konteks sejarah teks tersebut, proses pembuatan teks, latar belakang, dan keadaan yang mengitari teks itu, dan lainnya. Filologi mendorong peneliti dan para sarjana untuk melihat teks dari berbagai sudut pandang. Ia sangat bermanfaat untuk melihat teks-teks keagamaan dari segala arah keilmuan. Filologi mendekati kepada teks dan maksud yang asli dari penulis atau pembuatnya. Namun, tidak bermaksud memberikan penafsiran tunggal.
Kajian atas naskah-naskah teks keagamaan amat berguna untuk melihat bahwa produksi teks tidak dihasilkan dari ruang hampa. Teks berkait-kelindan dengan lingkungan, bahasa, budaya, dan rasa yang berada dan melingkupinya. Dalam hal ini, Alquran yang merupakan kalam suci tidak luput dari proses kebudayaan dan kesejarahan. Latar belakang masyarakat, keadaan politik, sifat dan sikap kebahasaan, perasaan dan prilaku orang, dan semua aspek kemanusiaan dan kealaman memengaruhi pembentukan Alquran itu, apalagi hadis dan sunah.
Ambil contoh soal memakai jubah dan memanjangkan jenggot. Bagi yang melulu terpaku pada teks, maka sabda dan laku Rasulullah saw. tentang jubah dan jenggot adalah hal yang harus diikuti secara mutlak. Akibatnya, bagi yang tidak memakai jubah dan tidak memanjangkan atau tidak mempunyai jenggot, maka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi, dan karenanya bukan umat Islam yang baik. Alasannya sederhana: tidak mengikuti apa yang telah Rasulullah contohkan.
Namun, bagi yang memahami keadaan dan latar-belakang hadis dan sunah tersebut, maka sikap dan laku Rasulullah yang terkait dengan pribadinya bukan hal yang wajib mutlak diikuti., sebab terkait dengan pribadi (basyar) Nabi dan kebudayaan Semenanjung Arab saat itu. Ini soal menarik tentang apa yang universal/berlaku umum di manapun dan mana yang partikular/khusus dalam Islam, tentang mana yang global dan mana yang tempatan/lokal di dalam Islam: ini salah satu kegalauan Shahab Ahmed (w. 2015) hingga ia terdorong menulis What Is Islam?, salah satu buku yang amat penting dalam kesarjanaan Islam saat ini.
Apa yang universal dalam Islam adalah apa yang tercakup dalam kalimat Islam rahmatan lilalamin. Dengan kata lain, hal yang harus diikuti umat Islam adalah hal-hal yang bernilai universal, artinya berlaku umum di manapun dan kepada siapapun: menghormati orang lain, mengasihi mereka yang duafa dan mustadafin, menjaga alam dan merawat lingkungan-hutan dan mencegah perusakan hutan, menjaga laut dan sungai dari sampah dan limbah, berlaku jujur, tidak mencuri, membunuh, memperkosa, dll.
Nah, sikap mencoba memahami dan membedakan mana yang masuk dalam ranah pribadi Rasulullah dan mana yang masuk dalam ranah kesunahan, sesungguhnya didukung penuh dan telah diajarkan oleh keilmuan amat penting dalam Islam, yaitu Usul Fikih atau Filsafat Hukum Islam. Kita bisa ambil satu kitab Usul Fikih kontemporer, seperti karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974): Ushûl al-Fiqh. Dengan amat gamblang, Abu Zahrah menjelaskan bahwa apa yang terkait dengan pribadi dan kebiasaan Nabi Muhammad dan itu bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat Arab bukanlah sunah yang harus diikuti, seperti jubah dan jenggot. Dalam kajian usul fikih, hal-hal yang bisa jadi kita anggap melampaui teks dan tidak islami, ternyata merupakan pembahasan yang lumrah.
Bagi yang berpandangan kurang-terbuka akan berpendapat bahwa landasan dalam Islam adalah hanya Alquran dan Hadis (dikenal sebagai gerakan pasca-mazhab). Oleh karena itu, usul fikih yang mengandalkan kemampuan kajian teks yang kuat dianggap tidak bersumber dalam Islam, dan akibatnya harus dikesampingkan. Tentulah, bagi yang punya pandangan seperti ini hanya memperlihatkan bahwa ia tengah menolak ilmu pengetahuan.
Justru, saat para fukaha (ahli hukum Islam) mencoba memahami Alquran dan Hadis, mereka menemukan metodologi yang bisa digunakan oleh fukaha setelah mereka. Bapak pendiri Usul Fikih ini adalah Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii yang menjadi anutan Muslim se-Asia Tenggara.
Keilmuan di dalam Islam sangat mengandalkan kemampuan mengkaji teks. Filologi atau metodologi dan pendekatan lainnya atas teks akan menjadi alat bantu yang amat baik bagi para sarjana/ustad dalam memahami teks-teks keislaman. Memang, menjadi ahli agama itu harus orang yang sudah melalui pendidikan, seperti di pesantren, sehingga ia mampu memahami teks keagamaan.
Sayangnya, sekarang, siapapun bisa dan ‘mendadak jadi ahli agama’ berkat mesin pencari ‘google’ atau mengaku langsung berguru kepada Rasulullah dan para sahabat (astagfirullah, sombong sekali ya)….., kemudian mereka para “ustad karbitan” ini berceramah di hadapan khalayak ramai dan memberikan informasi yang salah. Jadilah mereka dâllun wa mudillun, tersesat dan menyesatkan (umat). Wa al-iyâzu billâhi…
Belajar agama tanpa guru, gurunya adalah setan, kata Imam Ali Ibn Abi Thalib kw. Belajar mengharuskan: waktu yang lama, kesabaran, ketekunan, kepintaran, dan pengabdian pada gurunya (kyai, ustad…), demikian nasehat Imam Waqi’ kepada muridnya Imam Syafii.
Jika tidak belajar agama dengan benar kepada guru yang benar dalam waktu yang lama, maka terjadilah seperti yang kita saksikan sekarang. Menelan bulat-bulat dan mengambil satu teks suci agama secara harfiah akan berdampak fatal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Terlebih, jika hal ini dilakukan oleh para muallaf, mantan-narapidana yang tobat, atau santri post-islamisme, yang menjadi ‘ustad/ulama’ dadakan. wallahu a’lam

#muslimsejati
Oleh: Ayang Utriza via islami.co

0 coment�rios:

Waspadai Penyebarluasan Radikalisme Dibungkus Kajian Keagamaan Karimun,  NU Online BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terori...

Waspadai Penyebarluasan Radikalisme Dibungkus Kajian Keagamaan


Karimun, NU Online
BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kepulauan Riau (Kepri), Rabu (15/8/2018), menggelar kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Karimun. Selain memberikan pembekalan kepada penyuluh agama, beberapa tips untuk mewaspadai penyebarluasan radikalisme juga disampaikan. 

Sekretaris FKPT Kepri, Indra Syah Putra, dalam sambutan pembukaan mengatakan, merebaknya radikalisme di Indonesia diawali dengan dibukanya kran kebebasan pascareformasi,  yang ditandai dengan munculnya sejumlah organisasi kemasyarakatan yang menunjukkan pandangan dan sikap persetujuan terhadap radikalisme. Kelompok itu salah satu cirinya adanya mengenalkan istilah-istilah bernuansa arab dalam aktifitas keagamaannya, di antaranya dawrah, mabit, halaqah dan sejenisnya. 

"Satu sisi kegiatan itu bagus, membuka kesempatan masyarakat memperdalam akidah. Tapi sisi buruknya tak jarang yang menjadi jamaah memiliki kecederungan intoleran," kata Indra. 

Pada tingkatan tertentu, lanjut Indra, jamaah kajian keagaamaan sejenis dawrah, halaqah, mabit dan sejenisnya telah menunjukkan pandangan dan sikap yang menyetujui sikap radikal dalam beragama. "Beberapa di antaranya menyetujui aksi terorisme," tambahnya.

Dalam sambutannya tak lupa Indra mengingatkan peserta bahwa perang melawan radikalisme dan terorisme adalah tugas bersama. Aparat di pemerintahan dan keamanan tak akan sanggup melawan penyebarluasan radikalisme sendiri. 

"Bentengi diri dari radikalisme dan terorisme dengan memperluas wawasan dan pergaulan, datangi kajian-kajian keagamaan yang moderat. Kemampuan kita membentengi diri akan membantu meredam penyebarluasan radikalisme," pungkas Indra. 

Kepala Seksi Partisipasi Masyarakat Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Letkol (Laut) Setyo Pranowo, dalam sambutan mewakili Direktur Pencegahan, mengatakan kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme merupakan  upaya peningkatan kewaspadaan terhadap radikalisme dan terorisme. Dia mendorong penyuluh agama sebagai juru penerangan di masyarakat untuk juga menyebarluaskan ajakan hidup damai. 

"Jika ada masyarakat yang memiliki pandangan menyimpang, condong bersikap radikal dan menyetujui terorisme, dekati dan nasehati. Kami yakin bapak dan ibu penyuluh agama memiliki kemampuan melakukan itu," kata Setyo.

Terkait penguatan kapasitas yang dilakukan,   masih kata Setyo, BNPT dan FKPT ingin memberikan pembekalan kepada penyuluh agama agar aktifitasnya membantu meredam penyebarluasan radikalisme memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar. "Mungkin selama ini bapak dan ibu lebih banyak berdakwah secara lisan. Di sini kami ingin sampaikan, dakwah bisa dilakukan lewat tulisan dan kami membekali, mendorong, sekaligus mengundang bapak ibu untuk berkarya. Nanti karya terbaik akan dilombakan dan mendapatkan hadiah," pungkasnya. 

Selain dilaksanakan di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme sudah dan akan diselenggarakan di 32 provinsi se-Indonesia sepanjang tahun 2018. (shk/Abdullah Alawi) 
#muslimsejati  #kontranarasi

0 coment�rios: