Home Top Ad

Responsive Ads Here

Dinamika hubungan keagamaan di Indonesia sempat memanas lagi. Bukan hubungan antar agama, melainkan hubungan antar-internal umat Islam....

Kafir atau Non-Muslim?


Dinamika hubungan keagamaan di Indonesia sempat memanas lagi. Bukan hubungan antar agama, melainkan hubungan antar-internal umat Islam. Hal ini dipicu oleh hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Ponpes Miftahul Huda, Banjar, beberapa bulan lalu dimana salah satu hasil musyawarah tersebut adalah muncul usulan untuk mengganti istilah ‘kafir’ dengan istilah ‘non-muslim’.
Bukan tanpa sebab, para kyai dan akademisi yang tergabung dalam komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Maudluiyyah mempunyai argumentasi yang cukup detail dan kontekstual, yaitu karena ‘Indonesia negara bangsa’.
Sontak. Tak hanya menimbulkan gejolak di dunia nyata, keputusan tersebut memancing reaksi yang luar biasa di kalangan netizen. Kala itu, jumlah tersebut menempatkannya di nomor 19 topik yang paling banyak ditelusuri di google wilayah Indonesia. Sementara di media sosial, kebanyakan menunjukkan respon sentimen negatif.
Tak sedikit, sentimen negatif tersebut hanya berhenti di ranah teks sepotong, seperti “Mengapa tidak mengganti Surah al-Kafirun menjadi al-Non Muslimun?” Atau yang langsung menunjukkan jumlah kata ‘kafir’ di Al-Quran. Ada juga yang menganggap bahwa penggantian itu dilakukan oleh orang-orang liberal. Hal tersebut tentu rancu bila ditilik melalui pemahaman komunikasi.

Istilah adalah Simbol Kebudayaan

Menurut Ernawati Waridah (2013: 64) dalam bukunya EYD dan Seputar Kebahasaan-Indonesiaan, istilah adalah kata atau frasa yang dipakai sebagai nama atau lambang dan yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat khas dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dengan kata lain, istilah adalah kesepakatan dari berbagai macam faktor, disimpulkan menjadi suatu kata tertentu yang sesuai.
Oleh karena fungsinya sebagai lambang, istilah mempunyai peranan penting dalam proses pertukaran informasi. Dalam studi komunikasi antarbudaya, lambang sering dikenal dengan sebutan “simbol”.
Simbol menjadi penanda dari suatu entitas yang kompleks. Proses komunikasi akan berjalan lebih mudah dengan simbol yang disepakati bersama. Sehingga tujuan dari komunikasi bisa tercapai, yakni tercapai kesesuaian makna.

Semakna, Beda Konteks 

Bila ditinjau dari segi istilah, ‘kafir’ dan ‘non-muslim’ tidaklah memiliki makna yang berbeda. Kafir bermakna orang yang tidak percaya (ingkar) terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan non-muslim (bukan muslim) diterjemahkan sebagai orang yang tidak mengikuti agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad yang berpedoman dengan al-Quran (wahyu) Allah, dalam hal ini adalah Islam.
Oleh karena itu, kafir atau non-muslim adalah setiap orang yang tidak beragama Islam. Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu masuk dalam bingkai tersebut. Seperti itulah arti yang diafirmasi dalam KBBI, panduan baku ‘budaya’ Indonesia.
Perbedaan mendasar antara ‘kafir’ dan ‘non-muslim’ hanya terjadi dalam ranah konteks, yakni konteks tempat, dari sudut pandang apa ‘simbol’ itu dilihat, serta siapa yang melihatnya. Istilah ‘kafir’ akan sangat cocok bila digunakan dalam konteks aqidah, ajaran Islam.
Setiap orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam setelah Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, maka ia kafir. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana  muslim (red: ulama) mengenai hal tersebut. Meskipun dalam pembahasan lanjutannya, kafir masih dibagi ke dalam empat macam; kafir dzimmikafir mu’ahadkafir musta’man, dan kafir harbi.

Makna Kontekstual Kafir

Sedangkan dalam ranah kebangsaan, istilah yang tepat untuk menyebut orang di luar Islam adalah ‘non-muslim’. Terlebih di negara Indonesia yang sangat heterogen kehidupan beragamanya. Ditambah lagi, kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara berdasar kesepakatan bersama, menambah tinggi kesesuaian istilah tersebut.
Ernawati Waridah (2013: 65) menyebutkan bahwa penciptaan istilah mempunyai syarat-syarat tertentu. Menurutnya persyaratan istilah yang baik adalah kata atau frasa yang paling tepat untuk mengungkapkan konsep termaksud dan yang tidak menyimpang dari makna itu.
Selain itu, istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang bernilai konotasi baik dan yang sedap didengar. Dengan begitu, istilah ‘kafir’ tidak memenuhi persyaratan tersebut. Tidak menjadi ‘simbol’ utama, tentunya dalam konteks ke-Indonesiaan. Karena pemaknaan terhadap simbol dilakukan dengan analisis konteks di mana simbol itu dibangun (Irwan Abdullah, 2006 : 21)
George Herbert Mead, seorang pakar interaksi simbolik, berpandangan bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi. Makna diciptakan dalam interaksi antar-manusia.
Makna dapat ada ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Oleh karena itu, ‘kafir’ dan ‘non-muslim’ adalah dua istilah bersinonim, mempunyai arti yang sama. Hanya berbeda konteks, mana yang paling sesuai dengan keadaan.

Sudah ada yang Mencontohkan

Telah banyak contoh pemisahan ‘kafir’ antara konteks keagamaan dan kebangsaan. Teladan paling awal diberikan oleh Rasulullah ketika terjadi Fathul Makkah. Ketika Nabi Muhammad memasuki Makkah untuk membebaskannya, beliau tidak menyebut orang Quraisy “Yaa Kuffar (Hai orang-orang kafir)”.
Tetapi yang beliau gunakan adalah “Yaa Ma’syarol Quraisy (Hai orang-orang Quraisy)”. Hal tersebut untuk menunjukkan kesantunan beliau, sehingga orang akan dengan suka rela masuk Islam.
Contoh zaman sekarang, yang paling tampak adalah yang ditunjukkan oleh Arab Saudi. Dalam ajaran agama, orang selain Islam dilarang memasuki kawasan Makkah, lebih spesifiknya Masjidil Haram.
Tetapi betapa-pun demikian, negara kerajaan Islam ini tidak menuliskan ‘For Disbelievers/For Kafir’ di rambu lalu lintas jalan. Melainkan menggunakan ‘For Non-Muslims’ untuk dituliskan di atasnya.
Pemilihan istilah itu bukan berarti Arab Saudi mengganti kafir dengan ‘non-muslim’, melainkan sebagai bentuk kepatutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan negara se-tekstual Arab Saudi pun menggunakan istilah ‘Non-Muslims’. Mengapa di Indonesia istilah kafir dan non-muslim dipermasalahkan, padahal Indonesia negara paling heterogen, lho?
Sumber : harakatuna.con
#muslimsejati

0 coment�rios:

Oleh: Rohmatul Izad  (Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta) KHITTAH.CO —  ​Muhammadiyah sering disebut orang sebagai o...

Muhammadiyah dan Islam di Indonesia




Oleh: Rohmatul Izad (Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta)
KHITTAH.CO — ​Muhammadiyah sering disebut orang sebagai organisasi Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Walaupun dari segi usia Muhammadiyah lebih duluan berdiri dibanding dengan Nahdlatul Ulama.

​Dalam catatan sejarah, Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 M oleh KH. Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabatnya di Yogyakarta.
​Muhammadiyah ini pertama-tama harus dipahami sebagai organisasi Islam yang mengikuti paham Ahlusunnah wal Jama’ah, tapi gerakan keislaman Muhammadiyah lebih menekankan pada pemurnian ajaran atau tajdid sebagai misi pokoknya, yakni pembaharuan dalam pengertian pemurnian Islam Indonesia dari apa yang dulu disebut KH. Ahmad Dahlan dengan TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat). Inilah tujuan pokok Muhammadiyah sejak berdirinya dan sampai sekarang sepertinya masihsangat konsisten dengan tujuan itu.

​Menurut Azyumardi Arza, bila melihat konteks tujuan didirikannya Muhammadiyah, yang merupakan gerakan tajdid, maka Muhammadiyah sebenarnya sebuah organisasi Salafi. Yakni lebih menekankan pada model keislaman yang murni, bahwa umat Islam harus menjauhkan diri dari tahayul, bid’ah, dah khurafat, serta cukup mengamalkan corak Islam yang murni saja tanpa tambahan apapun.

​Memang belakangan ini kalau seseorang berbicara tentang salafi, seakan-akan cenderung memiliki gerakan yang keras dan radikal. Dalam arti ingin memurnikan Islam dengan cara-cara yang keras dan ekstrem. Misalnya seperti gerakan para pendahulunya Wahabi di Saudi Arabia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M. Tapi penting dicatat bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi salafi tidak mengadopsi cara-cara kekerasan dalam upaya memurnikan Islam. Itulah perbedaan mendasar dari Muhammadiyah yang memiliki paham pemurnian Islam dengan gerakan-gerakan salafi lainnya, termasuk Wahabi.

​Muhammadiyah tidaklah menempuh cara-cara kekerasan di dalam memurnikan Islam, tapi menempuh cara yang damai dan toleran, seperti melalui jalan pendidikan dan pelayanan sosial. Karenanya, sejak Muhammadiyah berdiri, yang dilakukan Muhammadiyah dalam upaya mencerdaskan umat adalah melalui pelayanan sosial. Seperti mendirikan rumah sakit, klinik, panti asuhan, dan mendirikan sekolah-sekolah yang cenderung meniru cara-cara modern. Jadi sistem pendidikannya justru diambil dari sistem Belanda, model-model sekolah Belanda ini diambil semua, tapi kemudian Muhammadiyah memasukkan pelajaran agama.

​Sebab, di sekolah Belanda pada umumnya, hampir tidak ada pelajaran agama, yang betul-betul merupakan representasi dari model sekolah sekuler. Tetapi Muhammadiyah mendirikan sekolah model Belanda dengan memasukkan pelajaran agama di kurikulumnya. Itulah yang disebut dengan HIS ala Belanda dengan menambahkan pelajaran-pelajaran seperti Alquran, akidah Islam, dan kemuhammadiyahan.
​Oleh karena itu, salah satu peran penting Muhammadiyah adalah mendirikan cikal bakal lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah yang sekarang ini kita kenal dengan sekolah Islam. Memang pada awalnya Muhammadiyah tidak mendirikan pesantren dan madrasah, tetapi yang mula-mula didirikan adalah sekolah-sekolah yang bisa kita sebut sebagai sekolah Islam.
​Upaya yang dilakukan Muhammadiyah dalam pendidikan ini bisa dikatakan sangatlah fenomenal, bahwa Muhammadiyah sangatlah kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas. Bahkan sekarang ini, salah satu kampus milik Muhammadiyah masuk jajaran dua puluh besar kampus terbaik di Indonesia. Saya kira ini prestasi penting dan dapat menjadi contoh bahwa kampus swasta milik organisasi Islam juga bisa bersaing dengan kampus-kampus negeri, lebih-lebih persaingan itu bisa sampai pada tingkat global.

​Boleh dikata, Muhammadiyah adalah organisasi pendidikan Islam terbesar di dunia, terutama dalam kategori pendidikan umum dan modern yang berbasikan pada konsep pendidikan Barat. Tentu saja pada konteks yang lain kita masih punya Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar di dunia, yang memiliki pesantren dan jumlahnya juga terbesar di seluruh dunia. Kedua organisasi Islam ini memiliki peranan yang sangat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia, kita tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila kedua organisasi ini tidak pernah ada di negeri ini, mungkin corak berkeislaman masyarakat kita menjadi lain dari yang semestinya.

​Kita patut bersyukur dengan kehadiran Muhammadiyah yang saling melengkapi dengan Nahdlatul Ulama. Di mana Muhammadiyah melahirkan ulama-ulama berbasis kitan putih yang merupakan keluaran dari sekolah-sekolah Muhammadiyah, sementara Nahdlatul Ulama melahirkan ulama-ulama kitab kuning yang lahir dari lingkungan pesantren. Sehingga kedua organisasi Islam ini dapat menjadi warisan intelektual dan kultural yang sangat berharga dan penting, tidak hanya bagi masa silam, tetapi juga masa kini dan masa yang akan datang.
Sumber :http://www.khittah.co/muhammadiyah-dan-islam-di-indonesia/13811/

0 coment�rios:

Setiap wanita pasti ingin merasakan indahnya kehidupan berumah tangga. Begitupun dengan laki-laki. Akan tetapi hidup berkeluarga mem...

Jihadmu adalah Menafkahi Keluargamu



Setiap wanita pasti ingin merasakan indahnya kehidupan berumah tangga. Begitupun dengan laki-laki. Akan tetapi hidup berkeluarga memerlukan sikap yang dewasa. Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adalah apabila ia tidak semata menuntut agar semua haknya dipenuhi tanpa menyeimbangkan dengan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya.
Sudah seharusnya orang yang berumah tangga mengerti tidak hanya hak, tetapi apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab terhadap pasangannya. Upaya  sungguh-sungguh untuk memenuhi tanggungjawab dan kewajiban dalam rumah tangga adalah bagian ibadah, bahkan lebih tinggi dari sekedar beribadah. Memenuhi tanggunggjawab keluarga adalah jihad bagi suami.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas ra. ia berkata: "Saya bertanya, 'Ya Rasulallah, mana yang lebih utama, bercengkrama (bercakap-cakap) bersama keluarga atau duduk-duduk (I’tikaf) di dalam masjid?' Rasulullah Saw. menjawab, 'Bercengkrama satu jam bersama keluarga itu lebih aku senangi dari pada i'tikaf di dalam masjidku ini. Anas lalu, bertanya lagi, 'Ya Rasulallah, apakah memberi nafkah keluarga itu lebih engkau senangi daripada memberi nafkah untuk sabilillah?' Beliau menjawab, 'Satu keping dirham yang dinafkahkan kepada keluarganya itu lebih aku senangi dari pada seribu keping dinar yang dinafkahkan demi sabilillah."
Inilah kemulian memenuhi tanggungjawab dan menata keluarga dalam Islam. Islam memposisikan sekedar bercengkrama dengan keluarga melebihi pahala I’tikaf. Bahkan Nabi menegaskan kembali pentingnya menjaga keluarga melalui pemenuhan kewajiban nafkah lebih berharga dari pada menafkahkan demi sabilillah.
Sangat ironis, banyak sekali kasus yang dapat kita lihat di lingkungan sekitar kita dari seorang ibu yang mengeluhkan suaminya yang enggan bekerja untuk menafkahi keluarganya. Kalaupun ia bekerja maka hasilnya semata untuk diri sendiri, untuk makan enak, dan membeli kebutuhannya. Sementara itu, untuk makan sehari-hari anak dan istrinya ditanggung oleh sang istri yang terpaksa harus bekerja jauh dari anaknya guna menghidupi diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan uang dari sakunya apabila istrinya telah marah-marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Baca Juga : Evolusi Makna Jihad
Beda lagi dengan kisah seorang ibu yang memiliki 5 orang anak yang harus bekerja hingga larut malam hanya agar dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan layak. Hal itu dilakukan karena sang suami telah mengambil jalan dakwah dengan pergi kepelosok-pelosok untuk alasan memenuhi tanggungjawab ilmu. Alasan lain dikemukan untuk berjihad di jalan Allah untuk memenuhi kewajiban. Sang suami lupa ada tanggungjawab lebih besar yang harusnya dipenuhi. Ada jihad yang lebih besar yang mestinya ia laksanakan.
Ladang Jihad Para Suami
Seorang kepala rumah tangga wajib untuk memberi menafkahi tanggungannya baik secara lahir maupun batin. Suami wajib berusaha untuk mencari rizki yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Allah ta’ala berfirman dalam surat Ath-Tholaq:7 :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ .
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Selain itu, Rasulullah Saw. bersabda:"Sesungguhnya Allah Swt. senang terhadap orang (hamba) yang menjaga keluarganya." Rasulullah Saw juga bersabda: "Barang siapa semalaman berada dalam keadaan kesulitan mencari biaya untuk menghidupi anak-anaknya, maka semalaman pula dia mendapat ampunan dari Allah Swt."
Allah sudah memberikan janji yang indah pada orang tua yang berjuang untuk menafkahi keluarganya. Seharusnya hal ini dapat menjadi motivasi para suami agar mereka dapat memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga. Pahala dan janji bertanggungjawab kepada keluarga juga lebih besar dari pada ibadah. Hal ini juga sepadan dengan ancaman Allah terhadap mereka yang melalaikan dan mengabaikan tanggungjawab keluarga.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud-Ibnu Hibban, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Dari uraian di atas cukup jelas bahwa sesungguhnya menafkahi dan memenuhi tanggungjawab terhadap keluarga adalah bentuk ibadah yang paling disukai Allah. Ada pahala dan ampunan yang diberikan kepada suami yang berjihad untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan Nabi menegaskan menafkahi keluarganya lebih mulia daripada jihad di medan perang.
Rasulullah Saw. bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian semalam suntuk dalam keadaan susah dan perihatin karena memikirkan keluarganya (sebab rizki yang sangat sempit), maka yang demikian itu bagi Allah Swt. lebih utama dari pada seribu kali sabetan pedang dimedan perang demi menegakkan agama Allah.
Memikirkan tentang pemenuhan keluarga saja melebih keutamaan berperan, apalagi bersungguh-sungguh mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Itulah jihad yang sesungguhnya dari para suami. Salah kaprah jika suami menelantarkan anak dan istri dengan alasan berjuang demi Allah. 
*Tri wahyuningsih 
Source:https://islamkaffah.id/afkar/jihadmu-adalah-menafkahi-keluargamu

0 coment�rios:

By   bahir albasil  - Setelah terlaksananya akad nikah, sepasang suami isteri akan hidup bersama dalam sebua...

Tidak Perlu Ada Ketaaan Istri Kepada Suami Teroris


Setelah terlaksananya akad nikah, sepasang suami isteri akan hidup bersama dalam sebuah rumah tangga. Ibarat bahtera, mereka berdua akan mengarungi lautan kehidupan kehidupan untuk mencapai pulau yang menjadi tujuan bersama. Mereka akan bekerjasama, bahu membahu, melaksanakan segala tugas kehidupan dan mengatasi segala rintangan untuk mencapai keluarga bahagia.
Supaya kerjasama dapat berlangsung dengan baik haruslah ada salah seorang di antara mereka berdua yang memegang kemudi. Persoalannya sekarang adalah, siapa yang memegang kemudi itu, suami atau isteri? Para ulama umumnya, baik fuqaha’ maupun mufasir berpendapat bahwa suamilah yang bertindak menjadi pemimpin. Allah Ta’ala telah berfirman;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar..” (QS. An-Nisaa` [4] : 34)
Kewajiban patuh pada suami selain ditegaskan oleh al-Qur’an, juga diperkuat Hadist Nabi yang berbunyi ;
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَت
Artinya: “ Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.” (HR. Ibnu Hibban 9/471 no.4163 dan ath-Thabrani 5/34 no.4598 dan yang lainnya; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Adab az-Zafaf 286).
Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Penegasan ini menyimpan makna pentingnya kepemimpinan dalam keluarga yang harus dihormati dan ditaati agar perjalanan keluarga dalam berjalan secara harmonis. Dalam Islam kepemimpinan keluarga dipercayakan kepada suami sebagai nakhoda perjalanan rumah tangga. Namun, sejauhmana ketaaan pada suami harus dilaksanakan?
Lalu bagaimana bila seorang suami mengajak istrinya untuk ikut melakukan bom bunuh diri?
Baru-baru ini kita dicengangkan dengan berita rilis dari kepolisian. Polisi mengungkapkan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral di Pulau Jolo, Filipina adalah Pasangan suami istri dari warga negara Indonesia. Keduanya adalah deportan dari Turki pada tahun 2017. Masih ingatkah bom yang dilakukan sekeluarga suami, istri dan anak-anaknya pada Mei 2018 silam? Pertanyaanya, apa yang mendasari seorang istri harus patuh terhadap suami yang mengajak pada perbuatan yang dibenci Allah seperti terorisme yang membuat kerusakan di muka bumi?
Dalam Islam, kewajiban istri untuk menaati suaminya bukan ketaatan tanpa batasan, melainkan ketaatan seorang istri yang shalihah untuk suami yang baik dan shalih, suami yang dipercayai kepribadiannya dan keikhlasannya serta diyakini kebaikan dalam tindakannya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat maksiat, akan tetapi ketaatan adalah pada hal-hal yang baik.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Dan  ketaatan itupun tidaklah mutlak. Bila suami memerintahkan istri untuk tidak berjilbab, meninggalkan shalat lima waktu, bersetubuh saat haid, atau berdandan di depan pria lain, perintah itu tidak boleh ditaati. Apalagi mengajak untuk melakukan bom bunuh diri sangat tidak boleh untuk ditaati.
Para ulama ahli tafsir sepakat dalam hal :
  1.      Larangan kepada umat Islam agar tidak membunuh sesamanya, karena umat Islam itu diibaratkan sebagai satu tubuh, jika satu bagiannya sakit maka bagian yang lainnya akan merasakan. Ketika seorang muslim membunuh muslim yang lainnya, seakan-akan ia telah membunuh dirinya sendiri.
  2. Larangan kepada umat Islam untuk tidak melakukan bunuh diri.
  3. Larangan kepada umat Islam untuk tidak melakukan hal-hal yang telah dilarang oleh Allah, yang dapat membinasakan dirinya sendiri dan orang lain.
Menurut para ulama, bunuh diri adalah suatu perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran manusia dalam menghadapi suatu ujian, suatu bentuk keputusan, dan sesuatu yang mendahului kehendak Allah. Orang-orang yang melakukan bunuh diri akan menerima akibat yang luar biasa kejamnya. Hal ini sepadan dengan apa yang telah dilakukannya.
Hal ini diperkuat hadist Nabi Dari Jundub bin Abdullah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kamu yang mengalami luka, lalu dia berkeluh kesah, kemudian dia mengambil pisau, lalu dia memotong tangannya. Kemudian darah tidak berhenti mengalir sampai dia mati. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga baginya’. [HR. Al-Bukhari, no. 3463] – Baca juga  Tafsir Ayat Ahkam
Lalu, bagaimana dengan suami yang mengajak istrinya untuk ikut dalam melakukan bom bunuh diri  dengan dalih bahwa hal tersebut adalah salah satu jalan ‘jihad?
Sesungguhnya, bunuh diri cara meledakkan diri bersama bom bukanlah sebuah bentuk pembelaan agama Islam ataupun jihad. Aksi bom bunuh diri seperti itu dapat dikatakan sebagai penyimpangan atau pelanggaran syariat. Terlebih, orang yang melakukan bom bunuh diri tersebut menghabisi nyawa orang lain yang belum tentu bersalah.
Jika orang-orang muslim yang melakukan bunuh diri itu beralasan bahwa mereka ingin menghabisi orang-orang kafir, hal itu juga tidak dibenarkan. Dalam kondisi perang saja Nabi memperingatkan pasukan Islam untuk tidak membunuh wanita, anak-anak, orang tua renta, Gedung dan tempat ibadah, serta pepohonan. Sungguh ini etika perang Islam yang sangat menghormati nyawa dan perdamaian.
Jika pada kondisi perang saja melakukan tindakan brutal dengan melukai dan membunuh orang lain yang tidak ikut dalam peperangan dilarang dalam Islam, apalagi bom bunuh diri yang dilakukan dalam kondisi damai. Logika jihad yang sesat dan menyesatkan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks ini, tidak ada alasan ketaatan istri kepada suami yang mengajaknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Pada intinya, bunuh diri haram hukumnya dan merupakan sebuah dosa besar. Tidak dibenarkan untuk melakukan bunuh diri dengan alasan apapun. Kehidupan adalah suatu anugerah luar biasa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pantaskah kita mengakhiri dan membuang anugerah tersebut dengan cara yang dilarang keras oleh-Nya dan menukarnya dengan kekekalan di neraka?
Wallahu’alam.
*Farida Asy’ari (Alumni Ma’had Aly situbondo dan Dosen Agama Politeknik Negeri Pontianak )
Sumber : islamkaffah.id

0 coment�rios:

Masih ingatkah dengan dengan peristiwa Bom di dua Gereja Surabaya pada 14 Mei 2018 tragis yang melibatkan satu keluarga. Itulah feno...

Terorisme Sekeluarga Bukan Cerminan Keluarga Islami



Masih ingatkah dengan dengan peristiwa Bom di dua Gereja Surabaya pada 14 Mei 2018 tragis yang melibatkan satu keluarga. Itulah fenomena yang paling menggemparkan di Indonesia sebagai fenomena bom bunuh diri yang dilakukan kompak oleh satu keluarga termasuk anak-anaknya. Termasuk dalam kategori terorisme sekeluarga ini secara beruntun terjadi Rusunawa Wonocolo dan Polretabes Surabaya.
Kita beralih pada 13 Maret 2019 ketika Istri terduga Teroris Husain alias Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara meledakkan diri. Baru-baru ini pula Polisi mengungkapkan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral di Pulau Jolo, Filipina adalah Pasangan suami istri dari warga negara Indonesia. Keduanya adalah deportan dari Turki pada tahun 2017.
Radikalisasi Melalui Keluarga
Fenomena terorisme sekeluarga ini tergolong menarik karena sudah menjadi trend baru dalam aksi terorisme. Perempuan dan anak tidak hanya menjadi penyokong terorisme, tetapi sudah berani menjadi pelaku aktif dalam jaringan terorisme.
Menarik untuk menjadi perhatian dan kewaspadaan bahwa kelompok radikal sudah bermigrasi masuk ke ranah keluarga sebagai bagian dari media radikalisasi. Mereka sekeluarga bisa muncul dengan tak terdeteksi menjadi pelaku yang terlepas dari jaringan besar dan komando.
Proses radikalisasi melalui keluarga sebenarnya sudah dimulai dengan berangkatnya para WNI dengan membawa istri dan anak menyebarang ke arena konflik Suriah. Banyak sekali WNI yang tidak hanya berangkat sendiri, tetapi membawa keluarganya dengan alasan ingin hidup bahagia di negeri khilafah.
Proses radikalisasi melalui keluarga juga menjadi strategi dengan memanfaatkan pernikahan sebagai cara rekrutmen. Ingatkah dengan sosok Dian Yulia, perempuan asal Cirebon yang juga mantan pekerja migran berniat menyerang istanan negara dengan bom panci. Diketahui pernikahannya dengan Nur Solikhin adalah sebagai sarana untuk merekrut calon pengantin bom bunuh diri.
Keluarga Sakinah sebagai Benteng
Keluarga dalam Islam merupakan pondasi membangun komunitas dan masyarakat yang baik. Keluarga yang baik akan menghasilkan komunitas dan masyarakat yang baik. Karena itulah, persoalan keluarga dan pernikahan mendapatkan porsi yang serius dalam ajaran Islam.
Pernikahan untuk membangun keluarga mempunyai arti ibadah sebagai salah satu perintah Allah kepada manusia. Membangun keluarga yang bahagia merupakan muara dari tujuan pernikahan sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ar-Rum ayat 21. Inilah tujuan membina keluarga dalam Islam.
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS: Ar-Rum: 21).
Kata sakinah berasal dari kata sakanah yang berarti diam dan tenang. Keluarga sakinah berarti keluarga yang memberikan ketenangan dan ketentraman yang menjamin adanya suasana aman, damai, penuh kasih dan sayang. Keluarga sakinah bukan keluarga yang penuh dengan kekerasan, percekcokan dan ketegangan.
Konsep keluarga sakinah merupakan konsep dalam Islam yang menggambarkan tujuan keselamatan di dunia dan akhirat. Keluarga yang mampu menjamin kenyamanan keluarga bukan membawa pada kesengsaraan dan kebinasaan. Keluarga yang menjamin kasih sayang di dalam keluarga dan di tengah masyarakat.
Fenomena munculnya satu keluarga yang jatuh dalam kesesatan pandangan untuk menjadi mujahid dengan melakukan bom bunuh diri tidak hanya melanggar nilai-nilai ajaran Islam, tetapi juga telah menunjukkan tatanan keluarga yang tidak islami. Bukan keluarga yang menjamin ketenangan, ketentraman dan kenyamanan, tetapi keluarga yang dipupuk dengan doktrin kebencian, kekerasan dan kesesatan makna jihad.
Karena itulah, fenomena keluarga menjadi teroris patut menjadi kekhawatiran semua pihak. Banyak sekali modus menikahi perempuan oleh kelompok teroris untuk dijadikan martir dan pelaku bom bunuh diri. Doktrin ketaatan istri kepada suami disalahtafsirkan dalam bentuk ketaatan untuk kemaksiatan dan kemunkaran.
Membangun keluarga dalam Islam merupakan tujuan mulia untuk membangun keluarga yang sakinah, sebagai sarana pendidikan keluarga, sebagai sarana meneruskan keturunan dan menjaga kelanjutan generasi Islam. Keluarga yang hanya menghantarkan kepada kerusakan dan kebinasaan adalah bangunan keluarga yang bertentangan dengan ajaran Islam.

0 coment�rios:

Oleh Ayik Heriansyah DutaIslam.Com  - Tadinya saya berpikir, “Ya sudahlah. HTI tidak perlu diladeni. Kan mereka sudah menjadi ormas ter...

HTI dan Guyonan Gus Dur


Oleh Ayik Heriansyah

DutaIslam.Com - Tadinya saya berpikir, “Ya sudahlah. HTI tidak perlu diladeni. Kan mereka sudah menjadi ormas terlarang. Kita tinggal nunggu berita viral aparat menangkap tokoh-tokoh mereka.” Apalagi saya sudah sangat paham HTI, teori dan praktik, lahir dan batin. Saya tahu persis isi hati HTI yang paling dalam. Tentang kitab-kitab resmi (mutabanat), saya mendapatkan ijazah dari Mu’tamad/Mas’ul ‘Am (Ketua Umum HTI) untuk mengajarkannya.

Tapi ternyata, kegiatan HTI tanpa nama HTI (pakai nama samaran) membuat masyarakat sadar akan hakikat HTI yang sesungguhnya. Publik menyimak polemik dan perang opini antara kader-kader NU melawan HTI. Sementara ini publik tidak berpihak ke HTI. Belum ada ormas, ulama dan tokoh umat yang menyatakan siap pasang badan seandainya kader-kader HTI diciduk polisi. Bagi penggiat diskusi yang berminat pada isu-isu politik kontemporer dan pemikiran  Islam memiliki, narasi-narasi basi HTI dijadikan bahan untuk memperluas spektrum tentang Khilafah yang akan memperkaya wawasan seputar pemikiran politik Islam.

Seperti guyonan Gus Dur, orang Indonesia itu apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dikerjakan, HTI persis itu. Ulama-ulama HTI muter-muter membahas dalil-dalil tentang Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, merujuk maqalat ulama aswaja tentang Khilafah, memperlihatkan indahnya persatuan umat di masa Khilafah, menyampaikan tingginya peradaban Islam di masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah, menjadikan penaklukan kota Konstantinopel sebagai bukti kehebatan Khilafah, dan sebagainya.

Semua itu hanya narasi-narasi bodong yang tidak ada hubungannya dengan Khilafah yang sedang diperjuangkan HTI karena khilafah yang diperjuangkan HTI merupakan Khilafah Tahririyah ‘ala Minhajin Nabhaniyah yakni suatu konsep negara versi Hizbut Tahrir hasil konstruksi pemikiran (ijtihad) Taqiyuddin an-Nabhani. Pilar-pilar dari Khilafah Tahririyah adalah 1). Khilafah didirikan dengan cara kudeta (thalabun nushrah) oleh dewan jenderal. 2). Amir Hizbut Tahrir adalah calon Khalifah yang menerima penyerahan kekuasaan dari dewan jenderal. 3). Undang-undang Dasar (UUD) yang disusun Amir Hizbut Tahrir menjadi konstitusi negara.

Dari tiga pilar ini, jelas sekali perbedaan antara Khilafah Tahririyah dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwahtepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Pada Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, seorang Khalifah dibai’at setelah dilakukan musyawarah (pemilihan) yang dilakukan bebas tanpa paksaan (ridla wal ikhtiar). Meskipun cara dan teknis (uslub) musyawarahnya berbeda-beda, keempat Khalifah tersebut mendapat mandat kekuasaan setelah ada pemilihan dan mendapat suara mayoritas. Artinya bai’at adalah sebab dan tanda penyerahan mandat kekuasaan dari umat kepada calon Khalifah untuk menjadi Khalifah.

Bertolak belakang dengan hal tersebut, HTI meyakini penyerahan kekuasaan dari dewan jenderal binaan HTI (setelah berhasil mengambil kekuasaan dari penguasa sebelumnya) kepada Amir Hizbut Tahrir sebagai metode baku. Metode ini telah menghilangkan proses musyawarah (pemilihan). Tidak terjadi penyerahan mandat dari umat kepada calon Khalifah secara sukarela. HTI secara sepihak menetapkan Amir mereka sebagai Khalifah kemudian meminta umat membai’atnya di bawah bayang-bayang todongan senjata dari pasukan yang dipegang masing-masing jenderal anggota dewan jenderal. Skenario HTI ini persis yang dilakukan Mu’awiyah ketika meminta bai’at kepada umat atas ke-Khalifah-an anaknya, Yazid.
Pada masa Khulafaur Rasyidin semua Khalifah tidak pernah mencalonkan diri sebelumnya. Mereka tidak membentuk tim sukses apalagi partai politik agar menjadi Khalifah. Mereka juga tidak melakukan kampanye agar dipilih menjadi Khalifah. Lain halnya dengan HTI. HTI sebagai partai politik sekaligus tim sukses agar Amir mereka menjadi Khalifah. Mereka juga melakukan serangan-serangan opini untuk mendelegitimasi pemerintah pada saat yang sama melakukan infiltrasi ke tubuh TNI-Polri dalam rangka mendapat dukungan dan perlindungan serta mencari jalan meraih kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh HTI ini mirip dengan gerakan politik al-Saffah ketika meruntuhkan Khilafah Umayyah lalu mendirikan Khilafah Abbasiyah di atas puing-puingnya.

Khilafah Tahririyah juga berbeda dengan Khilafah ‘ala  Minhajin Nubuwwah dari sisi penetapan Amir Hizbut Tahrir sebagai Khalifah dan Undang-undang Dasar susunannya sebagai konstitusi negara oleh HTI. Penetapan ini memang hak HTI namun ini penetapan sepihak. Penetapan sepihak yang pernah dilakukan oleh kaum Anshor ketika mereka menetapkan figure terbaik mereka yakni Saad bin Ubadah sebagai khalifah pengganti Rasulullah Saw.

Penetapan ini dianulir oleh Umar bin Khaththab. Para sahabat dari Anshor dan Muhajirin yang  berkumpul di Saqifah Bani Saidah menerima sikap Umar tersebut. Kemudian mereka memilih ulang Khalifah yang akhirnya terpilih Abu Bakar. Abu Bakar meskipun sahabat terbaik Nabi Saw tapi tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Saw sebagai khalifah pengganti Beliau Saw. Khulafaur Rasyidin dalam mengatur urusan umat berdasarkan ijtihad politik yang mereka duga kuat benar. Mereka tidak merancang Undang-undang Dasar negera Khilafah layaknya Hizbut Tahrir.

Khilafah Tahririyah dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Dari metode perjuangan HTI mirip dengan al-Saffah ketika mendirikan Khilafah Abbasiyah. Sedangkan dari aspek bai’at, HTI seperti Khilafah Umayyah. Jadi narasi-narasi yang diviralkan oleh kader-kader HTI seputar Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah hanya pepesan kosong. Guyon Gur Dur: “orang Indonesia itu apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dikerjakan.” Lahul Fatihah… [dutaislam.com/gg]

Ayik Heriansyah, Pengurus LD PWNU Jabar. Ketua LTN NU Kota Bandung.
#muslimsejati
sumber :https://www.dutaislam.com/2019/07/hti-dan-guyonan-gus-dur.html

0 coment�rios:

IslamKaffah.id Sebagian kita masih berpikir bahwa akhlak hanyalah pelengkap dari agama. Terpenting adalah ibadah. Akhlak sesun...

Akhlakul Karimah sebagai Paradigma dalam Berislam

Sebagian kita masih berpikir bahwa akhlak hanyalah pelengkap dari agama. Terpenting adalah ibadah. Akhlak sesungguh ruh dan inti beragama. Ibadah merupakan latihan dan penampakan luar untuk membentuk orang memiliki akhlak.

Akhlak adalah sesuatu yang inheren dalam agama, keimanan, ajaran agama, dan ibadah. Nabi ketika menyandingkan keimanan selalu berbicara tentang akhlak kepada sesama seperti tetangga, tamu, dan saudara. Bahkan perilaku sosial menjadi pra syarat kesempurnaan iman.


Begitu pula dengan ibadah. Dimensi ibadah adalah membina akhlak agar menjauhi perkara yang buruk dan munkar. Puasa misalnya disebutkan Nabi sebagai perisai umat manusia dari pikiran, perkataan dan tindakan yang jelek dan buruk. Hukum Islam pun diajarkan dan ditegakkan untuk membina akhlak.

Pentingnya posisi akhlak sehingga Nabi menegaskan Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi). Apa makna dari penegasan ini?


Ketika Nabi menegaskan misinya tentang akhlak, sesungguhnya misi ini yang menjadi tujuan utama. Akhlak sebagai misi terkandung dalam keimanan, ajaran, dan ibadah Islam. Ketika terjadi keimanan, ajaran dan ibadah yang tidak mampu membentuk akhlak, sejatinya kita umat Islam hanya menjalankan formalitas berislam, tetapi tidak berupaya mesukseskan misi kerasulan.

4 Kedudukan Akhlak dalam Islam

Pentingnya akhlak sebagai misi kerasulan Nabi menjadikannya sebagai paradigma dalam berislam. Akhlak merupakan misi untuk mencapai visi kerasulan Nabi. Fahad Salim Bahammam dalam bukunya Akhlak memposisikan akhlak dalam 4 hal:

Pertama, akhlak adalah tujuan utama diangkatnya Nabi Muhamamd sebagai rasul. Artinya, setiap Rasul mengemban misi kerasulan terhadap problem umat yang beragam. Kenyatannya, misi Rasulullah saw adalah akhlak. Dengan demikian, ada yang salah dalam akhlak masyarakat saat itu.

Kedua, akhlak adalah bagian tak terpisahkan dari iman dan akidah. Sebagai tujuan kerasulan, wajar akhlak menjadi hal yang tak terpisahkan dari keimanan. Disebut orang Islam apabila ia mampu menanamkan akhlak dalam keimanan dan mempraktekkan keimanan melalui akhlak yang mulia.

Ketiga, akhlak merupakan tujuan dari ibadah. Ibadah adalah sarana membentuk diri yang berakhlak. Orang beribadah dengan benar niscaya akan membentuk jiwa dan perilaku yang penuh dengan akhlak mulia.

Keempat, akhlak mulia mengandung keutamaan tidak hanya di dunia tetapi pahala besar di sisi Allah. Kedudukan akhlak bukan pelengkap dalam Islam, tetapi justu menjadi subtansi misi Islam. Karena itulah, posisinya menjadi perantara pahala dan karunia dari Allah.


Semoga kita umat Islam masih terus menyadari pentingnya akhlak dalam beragama dan kehidupan bermasyarakat. Akhlak adalah sebuah paradigma dan cara pandang berislam. Akhlak mulia pada akhirnya menjadi identitas seorang muslim.

 #muslimsejati
sumber : islamkaffah.id

0 coment�rios: