Home Top Ad

Responsive Ads Here

Bila Pancasila Dilaksanakan dengan Baik, Radikalisme dan Terorisme Akan Terbendung kata Lily Wahid Minggu, 30 September 2018 00:40 WIB ...

Bila Pancasila Dilaksanakan dengan Baik, Radikalisme dan Terorisme Akan Terbendung kata Lily Wahid

Bila Pancasila Dilaksanakan dengan Baik, Radikalisme dan Terorisme Akan Terbendung kata Lily Wahid
Tribunnews.com/Rachmat Hidayat
Lily Wahid 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Jelang hari kesaktian Pancasila 1 oktober 2018 tokoh kebangsaan Hj. Lily Chodidjah Wahidmengimbau seluruh bangsa Indonesia untuk kembali menjadikan Pancasila bukan sekadar lima sila yang tertera dalam hurup, tapi melaksanakan Pancasila sebagai sebuah falsafah hidup bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
"Kalau lima sila itu betul-betul dilaksanakan, pasti akan menjadi kekuatan hebat bagi bangsa Indonesia yang majemuk tapi bersatu,” ungkap Hj. Lily Chodidjah Wahid, Sabtu (29/9/2018).
Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari itu yakin bila Pancasiladilaksanakan dengan baik, masuknya berbagai ideologi asing seperti radikalisme dan terorisme, otomatis akan terbendung.
Menurutnya, Pancasila sangat ideal dengan Indonesia. Dan itu sudah dipikirkan dengan matang oleh para founding fathers bangsa saat memutuskan Pancasila yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi dan landasan hidup bangsa, dengan mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja” dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Itu dilakukan demi untuk mengakomodir keinginan saudara-saudara kita dari Indonesia timur. Pasalnya, Indonesia timur mau bergabung dengan Indonesia bila tujuh kata itu dihilangkan.
“Itu kontribusi umat islam yang sangat besar. Kalau hari ini ada isu intoleransi, itu adalah buah gangguan dari luar yang memang ingin memecah belah bangsa kita. Wong selama ini selama 72 tahun merdeka tidak ada apa-apa, dengan tujuh anak kata yang dihilangkan itu,” jelas Hj. Lily Wahid.
Ia menilai, upaya-upaya yang ingin memecah belah Indonesia itu adalah sebuah setingan internasional yang ingin menjadikan Indonesia menjadi beberapa negara bagian. Upaya pecah belah itu sudah lama dilakukan, namun sampai saat ini tidak pernah berhasil.
Konspirasi internasional itu tidak lepas dari keinginan negara-negara asing yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya.
“Mereka menggunakan cara-cara dengan ongkos murah yaitu adu domba. Hari ini yang mereka benturkan islam dengan islam dan yang dipakai sebagai isu salah satunya intoleransi dan kebhinekaan. PadahalPancasila sebagai sebuah kesatuan sudah menjaga kita dari benturan sesama anak bangsa,” urai mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKB ini.
Ia mengaku kondisi bangsa Indonesia yang karut marut akhir-akhir ini akibat mulai lunturnya pemahaman dan pengamalanPancasila, terutama di kalangan generasi muda. Bahkan banyak orang Indonesia yang sudah tidak hafal lagi dengan sila-silaPancasila.
Untuk itu ia sangat mendukung upaya pemerintah yang ingin kembali mengaktualisasikan kembali Pancasilasebagai falsafah hidup bangsa.
Menurutnya, nilai-nilai Pancasila inheren dengan kehidupan bangsa Indonesia karena kemanusiaan itu bagian dari keimanan, turunan dari ketuhanan. Kemudian keadilan sosial ini adalah dakwah bil hal-nya, dalam kenyataan sehari-harinya.
“Jadi sebetulnya harus kita upayakan untuk memperbaiki keadaan hari ini adalah membangkitkan kembali persatuan Indonesia dan musyawarah mufakat,” tutur Lily Wahid.
#muslimsejati
Sumber :http://m.tribunnews.com/metropolitan/2018/09/30/bila-pancasila-dilaksanakan-dengan-baik-radikalisme-dan-terorisme-akan-terbendung-kata-lily-wahid

0 coment�rios:

Ketua NU Jember: Agama Jangan Jadi Sumber Konflik Syaifullah,  NU Online  | Sabtu, 29 September 2018 16:30 Jember,  NU Online ...

Ketua NU Jember: Agama Jangan Jadi Sumber Konflik

Ketua NU Jember: Agama Jangan Jadi Sumber Konflik
Syaifullah, NU Online | Sabtu, 29 September 2018 16:30
Jember, NU Online
Prinsipnya, semua agama punya misi suci sebagai pembawa kedamaian,  yang dalam istilah Islam disebut  rahmatal lilalamin. Hanya persoalannya, terkadang ekspresi keagamaan dari oknum pemeluk agama tampil eksklusif monolitik, sehingga menutup diri untuk memberi ruang terhadap kebenaran yang dibawa orang  lain. 

Demikian diungkapkan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember, Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin saat memberikan sambutan pada Seminar Persatuan di Hotel Bandung Permai, Jember, Sabtu (29/9).

Menurutnya, ekspresi keagamaan yang eksklusif itu, salah satunya disebabkan oleh adanya kesalah pahaman dalam membaca teks-teks agama hingga mengakibatkan disfungi agama sebagai perekat sosial. “Yang ada malah agama itu tampil sebagai sumber konflik yang kemudian melegitimasi  kekerasan atas nama agama,” kata kiai yang juga dosen di pascasarjana IAIN Jember tersebut.

"Ketika agama ditampilkan seperti itu, jelas tidak sejalan dengan misi agama saat diturunkan, dan tidak membawa kedamaian dalam kehidupan," jelasnya.

Gus Aab, sapaan akrabnya menambahkan, bumi adalah satu. “Dan di atas bumi ini hidup manusia dari beragam suku, bahasa, budaya dan agama,” urainya. Realitas kemajemukan ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri.oleh siapapun, lanjutnya. 

"Karena itu, siapaun yang ingin hidup dalam keseragaman, dan tidak ingin ada kemajemukan, tentu tidak ada tempat baginya hidup di bumi Allah ini," tandasnya.

Seminar bertema Menggalang Kesadaran Keagamaan dan  Kebangsaan Menuju Indonesia Bersatu itu digelar Gerakan Nusantara Bangkit (GNB) dan dihadiri tokoh lintas agama serta sejumlah kiai. (Aryudi AR/Ibnu Nawawi)

#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/96454/ketua-nu-jember-agama-jangan-jadi-sumber-konflik

0 coment�rios:

Tak Ada Bidadari untuk Pelaku Terorisme Abdullah,  NU Online  | Kamis, 27 September 2018 15:30 Belitung,  NU Online Sekretaris...

Tak Ada Bidadari untuk Pelaku Terorisme

Tak Ada Bidadari untuk Pelaku Terorisme
Abdullah, NU Online | Kamis, 27 September 2018 15:30
Belitung, NU Online
Sekretaris Utama BNPT Marsekal Muda Asep Adang Supriyadi menegaskan, janji bertemu bidadari untuk sebuah aksi terorisme merupakan sebuah ilusi. Bidadari untuk pelaku terorisme disebutnya tidak ada di surga. 

"Tidak ada pembenaran apa pun dalam agama yang menjamin aksi terorisme dibalas dengan ganjaran bertemu bidadari," kata Asep Adang dalam sambutan pembukaan kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, Kamis (27/9). 

Dalam sambutannya Asep Adang sempat memutar rekaman video Dani Dwipermana,  pelaku peledakan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot beberapa tahun silam, yang menyebut aksinya akan diganjar dengan 72 bidadari. 

"Yang harus dicari adalah siapa yang menanamkan isme-isme bahwa terorisme diganjar surga. Bapak ibu harus membantu bahwa aksi terorisme memang diganjar bidadari, tapi tidak di surga, melainkan di neraka," tegas Asep Adang. 

Asep Adang juga sempat memutar beberapa rekaman video anak-anak Indonesia di Irak dan Suriah.  Melalui pemutaran video tersebut diharapkan tumbuh kesadaran bahwa terorisme merupakan ancaman nyata bagi keutuhan NKRI. 

"Saya ke Rusia beberapa waktu lalu, dapat informasi mereka yang dilatih ISIS sekarang sudah siap kembali ke daerahnya masing-masing. Makanya peran bapak dan ibu sekalian sebagai penyuluh agama sangat dibutuhkan, agar terorisme tidak semakin mengakar," urainya.

Di akhir sambutannya, perwira AU dengan penguasaan 11.000 jam terbang tersebut mengingatkan, terorisme tidak bisa ditangani oleh pemerintah sendiri. Keterlibatan masyarakat ditegaskannya sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan. 

"Kami percaya bapak dan ibu penyuluh agama memiliki kemampuan membantu pencegahan terorisme," tutup Asep Adang. 

Kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Belitung terlaksana atas kerjasama BNPT dan FKPT Bangka Belitung. Kegiatan yang sama sudah dan akan dilaksanakan di 32 provinsi se-Indonesia sepanjang tahun 2018. (shk/shk/Abdullah Alawi)
#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/96365/tak-ada-bidadari-untuk-pelaku-terorisme

0 coment�rios:

Untuk Hentikan Radikalisme, Lepaskan Ambisi Kekuasaan Abdullah,  NU Online Jakarta,  NU Online Menguatnya radikalisme...


Untuk Hentikan Radikalisme, Lepaskan Ambisi Kekuasaan
Abdullah, NU Online
Jakarta, NU Online
Menguatnya radikalisme yang berujung pada maraknya tindak kekerasan lahir dari aspirasi kekuasaan. Hal ini, menurut KH Masdar Farid Masudi, diyakini betul oleh umat Islam.
 
"Radikalisasi yang mewujud pada tindak kekerasan itu muncul karena aspirasi kekuasaan yang sangat kental dalam kesadaran akan keyakinan umat Islam," katanya saat menjadi narasumber pada peluncuran dan diskusi buku Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Rabu (26/9).
 
Bagi Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, cara menghentikan laju radikalisme adalah melepaskan ambisi kekuasaan. 

"Kalau mau melakukan deradikalisasi, dalam konteks keislaman, jawaban paling strategtis menurut saya ya lepaskan itu ambisi kenegaraan (Islam), kekuasaan," ujarnya.
 
Sebab, lanjutnya, Islam tidak boleh diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan. "Jangan lagi terobsesi Negara Islam," tegasnya.
 
Kiai Masdar sendiri mempertanyakan asal usul penyebutan negara Islam. Padahal, negara-negara yang berpenduduk mayoritas agama lain tidak melabelkan diri dengan negara agama tersebut. Ia mencontohkan India yang tidak melabelkan dirinya sebagai negara Hindu dan Thailand yang tidak menyebut dirinya sebagai negara Budha.
 
"Tapi kenapa negara dengan berpenduduk Muslim terbesar meyakini betul Islam dijadikan label resmi negara," katanya.
 
Hal tersebut, menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut. "Ini saya kira dari mahasiswa Paramadina boleh dilacak ini," ungkapnya.
 
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengungkapkan bahwa Islam Indonesia sudah sangat baik mengingat tidak mengajarkan permusuhan terhadap kaum minoritas. 

"Kita tidak pernah diajarkan untuk bermusuhan dengan kaum minoritas. Kita tidak pernah diajarkan untuk bermusuhan dengan agama lain," katanya.
 
Menurut Hendri, buku yang ditulis oleh syaiful Arif itu penting guna mengingatkan masyarakat, bahwa Indonesia baik-baik saja dengan adanya Pancasila. "Di Indonesia itu ada Islam, ada Pancasila dan baik-baik saja," terangnya.

Islam dan Pancasila, menurutnya, merupakan jawaban untuk mengatasi radikalisme di Indonesia. "Karena Islam mengajarkan persaudaraan dan Pancasila juga mengajarkan persaudaraan. Islam mengajarkan kebangsaan, Pancasila juga mengajarkan kebangsaan," pungkasnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)
#muslimsejati 

0 coment�rios:

Pemahaman Kebangsaan sebagai Benteng dari Radikalisme Rozali,  NU Online  | Selasa, 25 September 2018 20:06 Jakarta,  NU Online ...

Pemahaman Kebangsaan sebagai Benteng dari Radikalisme

Di UGM, Kepala BNPT Berikan Pemahaman Kebangsaan sebagai Benteng dari Radikalisme
Rozali, NU Online | Selasa, 25 September 2018 20:06
Jakarta, NU Online
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius membekali mahasiswa baru Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dengan sejumlah pemahaman kebangsaan. Hal ini ditujukan agar para mahasiswa UGM lebih imun terhadap virus radikalisme kekerasan yang menjalar ke semua tempat termasuk perguruan tinggi. 
“Dalam kondisi masyarakat yang mulai terkikir rasa persaudaraan dan persatuan, rasa cinta air harus terus diberikan kepada generasi muda. Ini penting agar mereka tidak terpengaruh infiltrasi paham-paham yang menggerus ke-Indonesia anak bangsa,” ujar Komjen Suhardi Alius saat memberikan kuliah umum di UGM, Yogyakarta, Selasa (25/9). 
Ia mengharapkan pemahaman kebangsaannya akan bermanfaat untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Baginya generasi muda tidak hanya perlu dibekali dengan knowledge dan skill yang handal, namun juga harus memiliki nilai moral dan etika.
Pada kesempatan itu, Suhardi kembali juga menjelaskan bahaya ancaman paham radikal. Makna radikal menurutnya adalah paham anti-Pancasila, Intoleransi, anti-NKRI dan dan menggunakan paham takfiri (suka mengkafir-kafirkan sesama muslim yang bukan kelompoknya). 
Ia mengungkapkan bahwa, paham radikal saat ini juga tersebuar luas dengan memanfaatkan sejumlah peluang termasuk media sosial. Untuk membendung pemikiran radikal terorisme itu, Kepala BNPT menghimbau agar mereka mengedepankan kebaikan bersama.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Panut Mulyono, menyebut bahwa kuliah umum yang diberikan Suhardi Alius sebagai bahan yang patut diketahui oleh mahasiswanya. 
"Apa yang disampaikan oleh Kepala BNPT tentang resonansi kebangsaan dan bahaya radikalisme sangat penting untuk menyakinkan kepada mahasiswa baru akan jati diri UGM,” ungkap Panut.
Prof. Panut menuturkan bahwa UGM selalu memperhatikan berbagai kegiatan mahasiswa sehingga termonitoring dengan baik. Semua dilakukan dalam rangka melakukan pencegahan paham-paham negatif yang masuk kepada mahasiswa dan dosen.
"Selain memperhatikan berbagai kegiatan mahasiswa dilingkungan kampus, kita juga memasukkan kuririkulum terkait bahaya radikalisme dan tentu saja wawasan kebangsaan sebagai bekal mahasiswa ketika nanti kembali ke masyarakat" tutupnya. (Ahmad Rozali)
#mulimsejati
Sumber http://www.nu.or.id/post/read/96285/di-ugm-kepala-bnpt-berikan-pemahaman-kebangsaan-sebagai-benteng-dari-radikalisme

0 coment�rios:

Membuktikan Keakraban Goethe dengan Islam Syaifullah,  NU Online  | Senin, 24 September 2018 21:15 Tangerang Selatan,  NU Online...

Membuktikan Keakraban Goethe dengan Islam

Membuktikan Keakraban Goethe dengan Islam
Syaifullah, NU Online | Senin, 24 September 2018 21:15
Tangerang Selatan, NU Online
Berthold Damshauser menyebut Johan Wolfgang von Goethe memiliki kedekatan yang begitu akrab dengan Islam, baik secara teologis, maupun filosofis.

"Goethe lebih dekat dengan Islam daripada Nasrani. Itu sebuah fakta yang tidak bisa dibantah," katanya saat mengisi diskusi buku Telah Berpilin Timur dan Barat, antologi puisi Goethe yang diterjemahkannya bersama Agus R Sarjono.

Kegiatan digelar di Ruang Teater Lantai 1, Gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Senin (24/9).

Lebih lanjut, Berthold menjelaskan bahwa sastrawan yang pernah menjadi menteri Jerman itu juga menolak trinitas Kristen. "Ia tidak menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan," jelas pengajar Universitas Bonn, Jerman itu.

Islam yang dikenal oleh Goethe, bukanlah Islam lahiriah ataupun dogmatis, kata Berthold, melainkan Islam yang lebih dalam, yakni Islam sufistik. Sebab, sejak mudanya, ia sudah akrab dengan puisi-puisi Rumi melalui buku-buku yang dimiliki ayahnya.

Ia juga dikenalkan dengan dunia Timur melalui karya-karya sastrawan Timur oleh gurunya. "Itu patut kamu baca," kata gurunya kepada Goethe. Padahal saat itu, menurut Berthold, hampir tidak ada orang Islam di Eropa. "Ketika itu belum ada satu masjid pun di Jerman," ceritanya.

Pertemuan Goethe dengan orang Islam hanya sekali saat pasukan Napoleon berada dekat tempat tinggalnya. Saat itu, katanya, Goethe melihat mereka shalat. "Di dekat rumahnya, ia lihat pasukan Napoleon shalat," ujar akademisi yang pernah menjadi Presidential Friend of Indonesia itu.

Sastrawan yang menghabiskan banyak waktunya untuk penelitian ilmiah itu juga sangat menghormati Nabi Muhammad. Hal ini tertuang dalam puisinya berjudul Sabda Sang Nabi.

"Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan // Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, // Sebaiknya dia pasang tambang kasar // Pada tiang rumahnya yang terbesar. // Biar ikatkan diri di sana! Tali cukup kukuh. // Akan ia rasakan murkanya meluruh," tulisnya.

Bahkan, saking merasa dekatnya dengan Islam, ia, menurut Berthold, menganggap dirinya bersaudara dengan para sufi. Lebih dari itu, ia menulis satu bait khusus tentang makna Islam.

"Alangkah pandir menganggap diri istimewa // Mengira keyakinan sendiri benar belaka // Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri, // Maka dalam Islam, semua kita hidup dan mati," tulis Goethe dalam Kitab Hikmah.

Sementara itu, Adib Misbahul Islam menyebut Goethe sebagai orang yang paham akan dinamika Islam. "Goethe memahami betul dinamika Islam," terang Sekretaris Jurusan Program Magister Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Adib merasakan keluasan pengetahuan Goethe mengenai Al-Qur'an, hadis, dan dinamika intelektual dan teolog Islam, dalam puisi-puisinya. Meskipun demikian, Agus R Sarjono mengungkapkan bahwa kita tidak perlu berdebat tentang keislaman Goethe. Ia dicap kafir oleh gereja di Jerman. Di samping itu, ia juga diakui oleh sekelompok orang sebagai Muslim.

"Gak penting itu Islam atau tidak," tegasnya. Hal terpenting, menurut pengajar Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu, adalah mempelajari karya-karyanya.

Kita, katanya, mengenal dan mengakui Nabi Muhammad saw. Tetapi, tak pernah membaca Al-Qur'an dan Hadis. Hal demikian, menurutnya, percuma.
Diskusi yang digelar oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga dihadiri oleh atase Pers dan Budaya Kedutaan Jerman. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)
#muslimsejati
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/96225/membuktikan-keakraban-goethe-dengan-islam

0 coment�rios:

PBNU: NKRI Berdiri atas Dasar Ijtihad Ulama Ketua PBNU, H Marsudi Syuhud Abdul Muiz,  NU Online  | Senin, 24 September 2018 13:00...

PBNU: NKRI Berdiri atas Dasar Ijtihad Ulama

PBNU: NKRI Berdiri atas Dasar Ijtihad Ulama
Ketua PBNU, H Marsudi Syuhud
Abdul Muiz, NU Online | Senin, 24 September 2018 13:00
Kota Banjar, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Marsudi Syuhud menjelaskan bahwa sebagai santri harus paham, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri atas dasar ijtihad ulama.

"Karya besar, pemikiran besar yang datangnya pemikiran besar ini hasil dari ijtihad bukan karena datang dari mabok, mimpi, atau khayalan tidak jelas," jelasnya.

Hal itu disampaikan H Marsudi Syuhud pada acara Halaqah Kebangsaan yang diisi dengan membahas Buku Fikih Kebangsaan, Merajut Kebersamaan di tengah Kebhinekaan dalam rangka Memperingati Muharam 1440 Hijriyah sekaligus Haul Ke-21 Simbah KH Abdurrohim  dan Harlah Ke-58 Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo (PPMAC) Kota Banjar, Ahad (23/9). 

Untuk itu, jelas Marsudi, dengan diadakannya halaqah kebangsaan ini santri dan peserta dapat memahami bahwa sebagai warga negara, harus mampu untuk selalu menjaga silaturahmi antar sesama. "Harus bisa menyatukan Jama'ah," ungkapnya.

Negara Indonesia berdiri sudah berdasarkan ajaran Islam. Walaupun kerap ditemukan pihak yang menganggap Negara Indonesia kafir, dan harus digantikan dengan khilafah. Namun, Bangsa Indonesia tetap mempertahankan Keutuhan NKRI dengan landasan Negara yang telah dibentuk oleh para ulama terdahulu dan pendiri NKRI. 

"Bernegara seperti ini ya atas pandangan Islam di Nusantara," katanya.

Dikatakan, mengisi keberlangsungan NKRI dengan hal positif adalah kewajiban bagi warga Negara. Karena dengan melakukan kebaikan merupakan salah satu bentuk merawat Indonesia. "Wajib menjaga kesatuan NKRI," pungkasnya. (Wahyu Akanam/Muiz)

#muslimsejati
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/96201/pbnu-nkri-berdiri-atas-dasar-ijtihad-ulama-

0 coment�rios:

Paradoks Radikalisme Republika/Da'an Yahya KH Haedar Nashir (Ilustrasi)         Red: Elba Damhuri  | Radikalisme d...

Republika/Da'an Yahya
KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Red: Elba Damhuri |
Radikalisme dalam beragama berarti kembali ke fondasi murni seperti akidah.
REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Haedar Nashir
Diksi radikal sangat populer di Indonesia, selain di mancanegera. Berbagai pihak menjadikan isu radikal dan radikalisme sebagai bahan diskusi, kajian, dan tentu saja penangkalan yang sifatnyaextraordinary alias gawat darurat.
Sebagian malah menjadikannya lahan komoditas, proyek, dan politisasi yang seksi. Padahal, siapa pun yang terkena label radikal dan radikalisme sontak menjelma sebagai hantu yang menakutkan sekaligus menjadi musuh bersama dunia.
Rujukan radikal di negeri ini tidak jarang dikonotasikan dengan radikalisme agama, lebih khusus radikal Islam. Tautan radikal Islam itu bahkan berindentik dengan ekstremis atau jihadis dan teroris, yang identifikasinya samar maupun terbuka sering atau pada umumnya tertuju pada golongan tertentu umat Islam.
Sejumlah pihak boleh membantah secara verbal atas deskripsi radikal yang serba menjurus itu, tetapi diakui atau tidak tampak kuat konotasi dan identifikasinya radikalisme tertuju pada Islam dan umat Islam.
Kadang terjadi paradoks atau ambigu. Ketika ada perangai dan tindakan serupa di tempat dan golongan lain, nyaris tidak dikategorisaskan radikal dan radikalis.
Kelompok tertentu yang mengangkat senjata dan sesekali memekikkan slogan merdeka di suatu daerah yang melahirkan anarki dan kekecauan, belum terdengar disebut radikalis dan teroris. Mereka malah tidak disebut separatis. Hanya sebatas disebut gerakan pengacau keamanan dan kelompok kriminal bersenjata.
Ketika sekelompok orang Islam berujar rela mati demi agama, sontak label radikal tertuju kepadanya. Kata jihad pun sepenuhnya menjadi negatif dan identik dengan radikal yang mengandung makna kekerasan jalanan.
Setelah itu dipulerkan di ruang publik sebutan kaum jihadis yang maknanya sama dengan radikalis-teroris. Diksi “Wahabi” sering dipertautkan dengan aura negatif kaum jihadis, radikalis, dan teroris yang menakutkan itu.
Berbeda ketika sekelompok orang menyuarakan “rela mati demi NKRI” sampai slogan “NKRI harga mati”. Kendati sesekali ada sejumlah aksi disertai cap jempol darah, gerakan kebangsaan seperti itu tidak akan dituding sebagai radikal dan radikalis.
Mereka sebaliknya dikategorikan sebagai pembela Tanah Air sejati. Mereka disebut para pahlawan nasionalis yang berada di garda depan dalam membela Indonesia, Pancasila, kebinekaan, dan UUD 1945. Mereka adalah para “mujahid kebangsaan”.
Ketika sekelompok orang atas nama agama melakukan sweeping tempat maksiat yang tentu saja tidak benar secara hukum karena mengambil alih tugas kepolisisan, mereka disebut radikalis Islam. Namun, manakala sekelompok orang atas nama nasionalisme dan bela NKRI melakukansweeping atau mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik dan beda paham agama, tidak disebut radikalis.
Lebih-lebih manakala tindakan radikal atas nama bela Tanah Air itu menggunakan slogan “hubbul wathan”, maka terbangunlah citra nasionalisme tulen. Padahal sama radikalnya, yang melahirkan paradoks tentang radikalisme!
Objektivasi Pandangan
Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata radikal berasal dari akar kata radix (Latin) berarti origin(asli) atau root (akar).
Mereka yang menganut paham radikal artinya yang ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar. Jika beragama, berarti kembali ke fondasi yang murni dan mendasar, yaitu keyakinan seperti akidah, demikian pula radikal dalam ideologi atau sikap hidup lainnya.
Radikal ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa” (Kartodirdjo, 1973).
Adapun radikalisme ialah suatu paham atau gerakan mengambil sesuatu hingga ke akarnya (taking things by the roots), tulis Anthony Giddens (1994). Dalam kajian Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa mereka yang radikal memang revolusioner meski tidak indentik semuanya revolusioner.
Karenanya, pada awalnya tidak ada yang salah dengan radikal. Boleh jadi karena ingin kembali ke asli atau akar, sebagian kaum radikalis menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta, dari sinilah benih radikalisme yang eksklusif, monolitik, dan intoleran.
Namun, sikap kepala batu seperti ini milik semua kaum radikal, termasuk radikal nasionalisme yang dikenal “ultra-nasionalis”, sebagaimana kaum “New-Left” atau “Kiri Baru”, bukan hanya di kalangan agama.
Dalam kenyataan, tidak ada satu golongan tertentu yang mewakili genre radikal dan radikalisme. Gerakan petani radikal bahkan sudah melegenda menjadi realitas sejarah, yang menjadi perhatian khusus ilmu-ilmu sosial dalam studi gerakan sosial sebagaimana ditemukan dalam kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial, seperti karya JC Scott (1976, 1983), E Wolf (1969), Kartodirjo (1973), dan Kuntowijoyo (1983).
Dalam banyak gerakan sosial yang bersifat “Ratu Adil” atau “Millenari” para tokoh radikal malah menjadi idola rakyat untuk pembebasan. Sangat keliru kalau paham radikal dipatok ke satu paham dan golongan tertentu sambil tutup mata dari radikal paham dan golongan lain.
Sejarah paham dan pergerakan radikal dimulai di Eropa, khususnya Inggris, pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1797, gerakan "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan "reformasi radikal" dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen.
Setelah itu, sejak abad ke-19, pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan “Kiri Baru” di banyak negara termasuk dalam radikalisme, sering diadopsi oleh gerakan-gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk di Indonesia.
Gerakan radikal dan radikalisme lebih banyak dijumpai dalam gerakan dan kelompok politik, selain kelompok sosial. Termasuk di dalamnya radikal ideologi, yang sangat mengabsolutkan paham tertentu, tidak kecuali paham kebangsaan atau nasionalisme.
Komunisme merupakan lanjutan paham marxisme radikal, yang dalam sejarah dunia di mana pun menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik dan diktatorial dalam pemerintahan maupun proletarianisme yang mendewakan populisme. Di Indonesia, banyak peristiwa kelam akibat gerakan komunis.
Paham kebangsaan yang radikal juga dapat dijumpai di banyak negara, yang sering disebut dengan ultranasionalisme. Pekik, ujaran, tulisan, pandangan, serta aksi-aksi yang berlebihan atau mengandung unsur pengabsolutan disertai ekstremitas sampai mengandung unsur kekerasan atas nama nasionalisme dapat dikategorisasikan ke dalam paham radikal atau radikalisme.
Sikap kedaerahan yang disertai paham dan sikap ekstrem, yang mengandung sikap chauvinis, termasuk sikap anti terhadap orang dari daerah luar dan lebih-lebih bila sering memberikan ancaman merdeka manakala tidak puas terhadap keadaan, juga dapat dikategorikan sebagai radikal dan radikalisme. Demikian halnya dengan primordialisme lain yang serbaekstrem.
Maka menjadi paradoks dan tidak adil manakala baju radikal dan radikalisme disematkan terbatas pada satu paham dan golongan, seperti kepada umat Islam. Paham, sikap, dan tindakan radikal dalam makna ekstrem, intoleran, dan keras dalam kenyataan terdapat pada paham dan golongan lain, termasuk radikal dalam paham kebangsaan, baik atas nama nasionalisme maupun pandangan agama dan ideologi lain yang serbaekstrem, eksklusif, dan tidak jarang mengandung muatan intoleransi dan kekerasan.
Paradoks tentang pandangan radikalisme seperti itu menunjukkan reduksi dan kekeliruan pemikiran yang menunjukkan bukti radikalisme dalam wujud lain. Di sinilah pentingnya keobjektifan pandangan secara adil dan komprehensif tentang radikalisme agar tidak terjebak pada reduksi dan salah pemikiran.
Radikalisme Keagamaan
Bagaimana dengan radikalisme agama? Radikalisme agama atau keagamaan memang dijumpai dalam kehidupan umat beragama sepanjang sejarah di mana pun, sebagaimana radikalisme lainnya. Radikalisme agama, lebih-lebih yang mengandung ekstremisme (ghuluw), intoleransi, dan kekerasan, tidak baik dan tidak dibenarkan ajaran agama, termasuk Islam. Islam adalah agama tengahan (wasathiyah) dan menebar rahmatan lil-‘alamin di muka bumi.
Islam mengajarkan damai, tasamuh, kebaikan, dan spirit hanif dalam beragama. Kalaupun ada ajaran dan sejarah jihad dalam makna qital ataughozwah (perang) dalam Islam sangatlah terbatas, ketat, dan menjunjung etika kemanusiaan yang tinggi demi mempertahankan agama dan diri umat dari ekspansi pihak lain yang sewenang-wenang.
Islam tidak membenarkan jihad fisik secara serampangan, sepihak, dan sewenang-wenang alias anarkistis. Dalam posisi paham keagamaan moderat pun perlu keterbukaan, tidak menjadi ekstrem tengah dengan mengembangkan pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan radikal atas nama kemoderatan.
 
Kenyataan ada radikalisme ekstrem dan mengandung kekerasan pada seglintir kelompok Islam, seperti digelorakan al-Qaida, ISIS, Jamaah Islamiyah, dan gerakan-gerakan serupa, terutama yang dilarang di dunia Muslim. Kita semua menentang radikalisme agama seperti itu, termasuk jika dikembangkan di Indonesia.
Kita juga secara tegas tidak bersetuju dengan gerakan Islam yang mengusung paham dan aksi menegakkan kekhalifahan atau negara Islam di Indonesia. Semua atau mayoritas terbesar umat Islam sudah bersepakat bahwa Indonesia ialah negara hasil konsensus nasional di mana Pancasila sebagai dasar negara sejalan dengan Islam, yang dalam terminologi Muhammadiyah dideklarasikan sebagai Darul Ahdi Wasyahadah.
Namun, menjadi salah manakala radikalisme agama secara mudah dialamatkan kepada Islam dan umat Islam Indonesia. Keliru juga manakala terjadi perbedaan pandangan keagamaan dari mayoritas mazhab atau paham dengan mudah dikonotasikan pada radikalisme agama.
Lebih keliru lagi manakala ada semacam otoritas tertentu yang diberikan atau digunakan oleh golongan keagamaan tertentu untuk melabeli pihak lain yang berbeda dengannya sebagai radikal dan radikalisme Islam. Apalagi jika label radikalisme Islam itu harus selalu ada demi melestarikan proyek deradikalisme. Tudingan radikal dan radikalisme Islam menjadi sangat murah-meriah, bergantung pada pihak yang dominan dan berkepentingan dalam politik keagamaan.
Selain itu, dalam kenyataan, radikalisme agama pun berlaku umum untuk semua agama atau lebih tepatnya pada semua umat beragama. Radikalisme atau dalam idiom lain fundamentalisme yang melahirkan kekerasan atas nama agama dalam kajian para ahli juga dilakukan oleh pemeluk agama pada umumnya selain Islam, seperti Kristen-Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya seperti temuan Richard T Antoun (2003), Juergensmeyer (2000), Amstrong (2000), dan studi empirik lainnya.
Artinya, ketika membahas radikalisme agama tidak dapat sembarangan ditujukan kepada agama dan umat beragama tertentu, juga dengan sudut pandang tertentu. Radikalisme Islam pun manakala dikaitkan dengan sejumlah kasus mutakhir dalam kenyataannya mengandung banyak muatan kepentingan dan bersifat kompleks (Youssef M Choueiri, 1990; Hassan Hanafi, 1989).
Perlu dipahami pula kecenderungan radikal dalam beragama maupun sikap hidup lainnya sering terjadi karena berbenturan dengan kelompok lain yang sama radikal. Tariq Ali memperkenalkan istilah ”benturan antar-fundamentalisme”, yang melibatkan kelompok keagamaan yang menunjukkan sikap “religious fundamentalism” (fundamentalisme keagamaan) dengan sikap yang sama radikalnya di seberang lain yang disebutnya “imperial fundamentalism” (fundamentalisme penjajah), yang satu seperti diwakili sosok Osama bin Laden dan lainnya Goerge W Bush (Tariq Ali, 2003: xi). Lahirnya radikalisme agama berhadapan dengan radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan radikalisme lainnya.
Artinya, jangan pernah mereduksi pandangan tentang radikalisme, lebih-lebih dengan satu sudut pandang dan hanya ditujukan kepada pihak tertentu. Ketika terdapat radikalisme agama dan melibatkan umat beragama, selalu perlu pertanyaan lebih mendasar.
Mengapa sikap dan tindakan radikal keagamaan seperti itu terjadi dalam kehidupan umat beragama, padahal agama mengajarkan perdamaian dan kebajikan? Bagaimana dengan radikalisme di luar keagamaan yang sama radikalnya, termasuk radikal atas nama nasionalisme dan ideologi lain yang memproduksi ekstremitas, intoleransi, dan bahkan kekerasan verbal maupun fisik.
 
Posisi kaum moderat yang objektif sangatlah tegas. Jauhi radikalisme dalam bentuk apa pun yang membawa pada paham serbaabsolut, lebih-lebih mengandung ekstremisme, intoleransi, dan kekerasan. Namun, jangan ambigu dan melakukan politisasi dalam mengonstruksi radikalisme sehingga label dan konsep radikalisme hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu sembari menegasikan radikalisme lainnya.
Paradoks pandangan yang berstandar ganda dan politis seperti itu hanya akan melahirkan sesat pikir, kebijakan, dan tindakan yang rawan penyimpangan dalam menyikapi radikalisme. Akhirnya jatuh pada pemikiran yang apriori, bagaikan kata pepatah klasik, “masuk ke mulut dimuntahkan, tiba di perut dikempiskan!”
#muslimsejati
Sbr :https://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/09/23/pfhk0u440-paradoks-radikalisme-part2

0 coment�rios:

Wahabi Bukan Pengikut Salafus Shalih MusliModerat.Com - Amin ‘Aam (Sekretaris Umum) Darul Fatwa Australia Syekh Salim Alwan Al-Hus...

Wahabi Bukan Pengikut Salafus Shalih



MusliModerat.Com - Amin ‘Aam (Sekretaris Umum) Darul Fatwa Australia Syekh Salim Alwan Al-Husaini menyatakan bahwa kelompok Wahabi Takfiri yang selama ini menamakan dirinya kaum salafi, pengikut para Salafus Shalih tetapi perilaku jauh dari ajaran para Salafus Shalih. Mereka bukan salaf, baik dari segi zaman maupun keyakinan.
Hal ini disampaikan Syekh Salim sesaat sebelum memberikan ijazah sanad Kitab “Matan Fiqhul Akbar” karangan Imam Abu Hanifah (80-150 H), Jumat (26/2/2016) di lantai 5 Gedung PBNU Jakarta.
Di hadapan ratusan kader NU yang memadati ruangan rapat lantai 5 untuk mendapatkan ijazah sanad kitab tersebut, Syekh Salim mengatakan bahwa kelompok wahabi juga telah menuduh Abu Hanifah sesat dan kafir.
“Padahal sesungguhnya akidah Abu Hanifah tidak ada bedanya dengan ulama bermadzhab Asy’ari, karena Abu Hanifah sendiri mengikuti Imam Maturidi yang secara akidah adalah sama dengan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari,” jelas Syekh Salim.
Advertisement

Mufti Australia yang mengaku banyak belajar kepada kiai dan ulama yang mempunyai sanad kepada KH Hasyim Asy’ari ini menerangkan, mengapa kitab Matan Fiqhul Akbar yang diijazahkan. Di sini dia menjelaskan, karena Abu Hanifah adalah seorang Salafus Shalih. Salah satu imam madzhab empat ini adalah ulama yang fokus pada akidah dan tauhid. Dan risalah Abu Hanifah tentang tauhid dan akidah ini adalah Kitab Matan Fiqhul Akbar.
“Melalui ijazah sanad kitab ini yaitu agar bisa menjelaskan kepada banyak orang bahwa Abu Hanifah tidak ada bedanya dengan ulama bermadzhab Asy’ari, karena Maturidi dan Asy’ari hanya berbeda dalam menjelaskan, secara makna sama,” ujarnya.
“Ahlussunnah wal Jamaah merupakan mayoritas umat Nabi Muhammad SAW, dan kelompok ini merupakan Firqotun Najiyah, yaitu kelompok yang selamat karena benar-benar para penguikut Salafus Shalih yang sesungguhnya,” tambahnya.
Di dalam pengenalan dirinya, Syekh Salim sering mengunjungi Indonesia. Dia mengaku sudah 20 tahun mengunjungi Indonesia tetapi baru kali ini datang ke Indonesia untuk memberikan ijazah sanad kitab.
Dia juga memilih Gedung PBNU karena mayoritas warga NU adalah golongan Ahlussunnah wal Jamaah dengan jumlah yang sangat besar. Mereka juga, terangnya, mempunyai ulama yang luar biasa seperti KH Hasyim Asy’ari yang tak lain adalah pendiri NU. 
“Maka siapapun yang berafiliasi dengan NU, hendaknya juga berafiliasi dengan ilmu-ilmunya (KH Hasyim Asy’ari, red),” tegas Syekh Salim. 
Program yang digelar atas kerja sama dengan Yayasan Syahab Ahlussunnah wal Jamaah tersebut diikuti peserta pria dan wanita yang merupakan peserta aktif Pendidikan Kader Dakwah LD PBNU.
Wakil Ketua LD PBNU Syamsul Ma’arif mengatakan seperti yang telah diberitakan sebelumnya, ngaji model talaqqi merupakan bagian dari tradisi keilmuan NU yang kerap dipraktikkan antara santri dan kiai. Menurutnya, tradisi ini penting dihidupkan terus di tengah banyak orang kehilangan sandaran keilmuan. (Fathoni/NU Online/MusliModerat
#muslimsejati

0 coment�rios:

Ketidakadilan dan Kezaliman Bisa Lahirkan Radikalisme Kamis, 20 September 2018 | 22:49 WIB Dok SBBI Prof Dr KH Didin Hafidhuddin...

Ketidakadilan dan Kezaliman Bisa Lahirkan Radikalisme

Kamis, 20 September 2018 | 22:49 WIB
Dok SBBI
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
Red: Andi Nur Aminah | Rep: Fuji E Permana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-18 merekomendasikan negara-negara Islam melakukan pendekatan ideologi dan program deradikalisasi. Tujuannya untuk menjauhkan radikalisme dari kalangan muda.

Cendekiawan Muslim, Prof KH Didin Hafidhuddin berpandangan, wajar saja kalau ada pendakatan seperti itu. Mungkin mereka merasa khawatir terhadap pemahaman yang mengarah kepada radikalisme. "Tapi seharusnya pandangannya lebih objektif, apakah radikal itu muncul karena pemahaman atau karena unsur lain," kata Prof KH Didin kepada Republika.co.id, Kamis (20/9).
Ia mengatakan, sebab ada faktor-faktor lain seperti ketidakadilan dan kezaliman yang bisa melahirkan radikalisme. Sebagai contoh, di Palestina terjadi kezaliman, maka timbulah gerakan-gerakan untuk melawan pihak yang zalim.
Begitu pula dalam kehidupan masyarakat, sosial dan ekonomi, menurut dia, kalau terus menerus terjadi kesenjangan di tengah kehidupan masyarakat maka akan menyebabkan orang melakukan perlawanan dengan berbagai macam cara. Padahal itu hanya respons dari orang-orang yang ingin mendapatkan keadilan.
Menurut Didin, jadi harus komprehensif memandang masalah ini karena aspek sosial dan politik juga harus dilihat pengaruhnya terhadap kemunculan radikalisme. Jadi radikalisme jangan dianggap tidak berkaitan dengan kehidupan sosial dan lain sebagainya. "Orang radikal bukan semata-mata karena faktor ideologi, tetapi juga karena faktor lain," ujarnya.
Sebelumnya, rekomendasi AICIS dibacakan juru bicara sekaligus Steering Committe AICIS, Prof Noorhaidi Hasan. Dalam rekomendasi itu, Pemerintah Indonesia dan negara-negara Islam dianggap perlu menggunakan pendekatan ideologi dan program deradikalisasi untuk menjauhkan radikalisme dari kalangan muda.
 
"Selain pendekatan ideologi dan program deradikalisasi, langkah-langkah dalam bidang ekonomi, budaya dan pendekatan sosial juga harus segera diambil untuk mengikis pengaruh radikalisme dan terorisme," kata Noorhaidi melalui keterangan tertulis yang diterimaRepublika.co.id, Rabu (19/9).
Sumber :  https://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/09/20/pfd2ml384-ketidakadilan-dan-kezaliman-bisa-lahirkan-radikalisme

#muslimsejati

0 coment�rios:

Pemecah Belah Bangsa Harus Ditangani Secara Serius Kamis, 20 September 2018 05:00 Nasional Bagikan      Seminar nasional...

Pemecah Belah Bangsa Harus Ditangani Secara Serius

Kamis, 20 September 2018 05:00Nasional
Bagikan   

Seminar nasional di Pemkot Solo, Jateng
Solo, NU Online
Komandan Densus 99 Pimpinan Pusat GP Ansor Muhammad Nuruzzaman mengingatkan beberapa persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat mesti ditangani secara serius.
“Saat ini peta politik di Indonesia memang agak memanas, ada sejumlah persoalan yang mesti segera diselesaikan, di antaranya kemunculan pihak-pihak tertentu yang mempertanyakan konsensus kebangsaan, terutama terkait dengan dasar negara Pancasila dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkapnya dalam seminar nasional Pemilu 2019, di Pendapa Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/9).
Pada acara seminar bertema Pemilu 2019, Merajut Kebhinekaan dalam Demokrasi itu Nuruzzaman mengatakan, jika hal tersebut tidak ditangani secara serius, diyakini akan menjadi sebab pemecah belah bangsa yang telah diperjuangkan para pendahulu tanpa membedakan latar masing-masing, baik agama, ras, suku, golongan dan lain-lain.
Kepada NU Online, Rabu (19/9) Nuruzzaman mengungkapan, persoalan intoleransi yang berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa, merupakan persoalan yang sangat serius dan hal itu harus segera dicarikan jalan keluar oleh pemangku kepentingan.
Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Indonesia didirikan oleh para tokoh dari berbagai latar belakang, baik agama, ras, suku, golongan, dan lain-lain. Meski demikian, justru dari perbedaan inilah, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar,” jelasnya.
“Kita ini adalah bangsa yang berbhineka, berbeda-beda agamanya, sukunya, bahasa daerahnya, etnisnya, tetapi tetap satu sebagai bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Selain Nuruzzaman, turut hadir sebagai narasumber Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Isharyanto dan Ketua Pembina Yayasan Center For Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi. (Ajie Najmuddin/Muiz)Seminar nasional di Pemkot Solo, Jateng
Solo, NU Online
Komandan Densus 99 Pimpinan Pusat GP Ansor Muhammad Nuruzzaman mengingatkan beberapa persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat mesti ditangani secara serius.
“Saat ini peta politik di Indonesia memang agak memanas, ada sejumlah persoalan yang mesti segera diselesaikan, di antaranya kemunculan pihak-pihak tertentu yang mempertanyakan konsensus kebangsaan, terutama terkait dengan dasar negara Pancasila dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkapnya dalam seminar nasional Pemilu 2019, di Pendapa Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/9).
Pada acara seminar bertema Pemilu 2019, Merajut Kebhinekaan dalam Demokrasi itu Nuruzzaman mengatakan, jika hal tersebut tidak ditangani secara serius, diyakini akan menjadi sebab pemecah belah bangsa yang telah diperjuangkan para pendahulu tanpa membedakan latar masing-masing, baik agama, ras, suku, golongan dan lain-lain.
Kepada NU Online, Rabu (19/9) Nuruzzaman mengungkapan, persoalan intoleransi yang berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa, merupakan persoalan yang sangat serius dan hal itu harus segera dicarikan jalan keluar oleh pemangku kepentingan.
Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Indonesia didirikan oleh para tokoh dari berbagai latar belakang, baik agama, ras, suku, golongan, dan lain-lain. Meski demikian, justru dari perbedaan inilah, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar,” jelasnya.
“Kita ini adalah bangsa yang berbhineka, berbeda-beda agamanya, sukunya, bahasa daerahnya, etnisnya, tetapi tetap satu sebagai bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Selain Nuruzzaman, turut hadir sebagai narasumber Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Isharyanto dan Ketua Pembina Yayasan Center For Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi. (Ajie Najmuddin/Muiz)
#muslimsejati
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/95952/pemecah-belah-bangsa-harus-ditangani-secara-serius-

0 coment�rios: