Home Top Ad

Responsive Ads Here

Argumentasi Penerimaan Konsep Negara Bangsa Ilustrasi (ist) Fathoni,  NU Online  | Rabu, 31 Oktober 2018 10:45 Kesada...

Argumentasi Penerimaan Konsep Negara Bangsa

Argumentasi Penerimaan Konsep Negara Bangsa
Ilustrasi (ist)
Fathoni, NU Online | Rabu, 31 Oktober 2018 10:45
Kesadaran berbangsa muncul atas dasar kondisi senasib sepenaggungan yang menimpa bangsa Indonesia karena kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan. Kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa perlu dibangunkan dan digerakkan sehingga Indonesia mempunyai kekuatan dalam upaya melepaskan diri dari kungkungan penjajah.

Kesadaran sebagai satu bangsa ini yang menjadi alasan mendasar bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hadiah dari penjajah, tetapi hasil dari perjuangan dan pengorbanan seluruh elemen bangsa, tak terkecuali. Di antara kelompok yang kerap bersinggungan dengan penjajah ialah kalangan pesantren, kiai dan santri.

Sebab itu, kalangan ini hingga sekarang mengerti dan paham bagaimana menjaga Indonesia. Termasuk dari rongrongan kelompok yang berusaha melakukan bughot (pemberontakan) terhadap eksistensi negara. Sejarah mencatat, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi terdepan yang menolak pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta maupun PKI karena menolak dasar negara yang telah menjadi konsensus bersama, yaitu Pancasila.

Konsekuensi yang diterima NU sudah tentu menjadi sasaran pemberontakan tersebut. Namun, komitmen menjaga bangsa dan negara tidak akan surut karena perdamaian bisa dicapai karena kesepakatan bersama apalagi Indonesia mencapai kemerdekaan atas dasar perjuangan bersama seluruh rakyat.

Ideologi komunis yang dibawa PKI yang berusaha mendirikan negara soviet maupun ideologi khilafah yang dibawa DI/TII yang berupaya mendirikan negara Islam menjadi perhatian serius dari NU. Bagi jami’yyahyang didirikan oleh para kiai ini, Pancasila sebagai konsensus bersama terbukti menyatukan rakyat dan mewujudkan perdamaian.

Pergerakan nasional telah sejak lama dilakukan oleh kalangan pesantren, termasuk menggembleng para pemuda untuk mencintai bangsanya. Perjuangan ini lalu ditindaklanjuti oleh perjuangan para pemuda dalam meneguhkan negara berdasar asas kebangsaan. Peletakan negara bangsa (nation state) dilakukan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Dalam catatan Abdul Mun’im DZ (Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011), gema Sumpah Pemuda Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia menggelora di seluruh penjuru Nusantara sehingga menjadi bahasan semua kalangan pergerakan termasuk dalam NU dan dunia pesantren secara umum.

Namun, salah satu butir yang menjadi perhatian adalah munculnya aspirasi negara bangsa (nation state) sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tersebut. Konsep negara bangsa tersebut sekaligus menjadi persoalan krusial bagi sebagian umat Islam yang masih berpandangan untuk mendirikan negara Islam.

Karena persoalan ini menjadi bahan perbincangan umat Islam, maka sebagai bentuk tanggung jawab sosial, NU kemudian membawa persoalan tersebut ke dalam Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Setelah diadakan penyelidikan, baik yang bersifat historis bahwa kawasan Tanah Jawi atau Bumi Nusantara adalah sebuah negara yang diperintah oleh sejumlah kerajaan Islam. Di dalam pemerintahan kerajaan Islam tersebut berkembang tradisi dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk kesenian, sistem pengetahuan, sistem politik, dan perekonomian. Para sultan atau raja memerintah atas dasar ajaran dan tradisi Islam. Apalagi mereka mendapat bimbingan para wali dan ulama sehingga di dalam pemerintahan berjalan norma-norma Islam.

Pemerintahan raja-raja Islam kemudian direbut oleh penjajah Belanda yang kemudian berganti menjadi pemerintah Hindia-Belanda di atas Bumi Nusantara. Namun, walaupun Bumi Nusantara telah di-ghasab(dijarah) oleh Belanda tetapi bumi ini tetap merupakan masyarakat Islam. Sebab, meskipun ratusan tahun dijajah Belanda, budaya Nusantara tetap berhasil dipertahankan dan mayoritas penduduknya Islam.

Apalagi dengan sikap kalangan ulama pesantren yang tetap melakukan perlawanan terhadap semua budaya yang dibawa oleh penjajah Belanda. Maka tradisi masyarakat Islam di bumi Nusantara tetap lestari, baik sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, hukum, termasuk politik tetap dipertahankan.

Meskipun mayoritas masyarakatnya Nusantara beragama Islam, begitu pun tradisi dan budaya yang dikembangkan, bukan berarti di negeri Indonesia wajib didirikan negara Islam. Konsep negara bangsa yang digelorakan para pemuda tidak membatasi agama Islam di Indonesia. Dengan kata, nation state sudah sesuai dengan aspirasi Islam.

Singkatnya, dalam Muktamar tersebut, NU mempertegas bahwa nation state tidak bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam, juga sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas. Dengan demikian, Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan (negara bangsa) telah memenuhi aspirasi Islam. (Fathoni)

#muslimsejati

Sumber :

 http://www.nu.or.id/post/read/98311/argumentasi-penerimaan-konsep-negara-bangsa

0 coment�rios:

Gagal Paham Bendera Rasulullah by   Iwan Hantoro 11 jam ago 11 jam ago 64  shares,  1  point Pe...


Gagal Paham Bendera Rasulullah



64 shares, 1 point


Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh beberapa oknum BANSER Garut menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Pro-kontra mewarnai aksi yang bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2018. Banyak pihak, mulai dari ormas Islam, tokoh masyarakat, politisi, masyarakat umum, sampai netizen ikut mengungkapkan pandangannya. Mayoritas mengkritik habis-habisan, tetapi tak sedikit pula yang tak ikut menyalahkan BANSER.
Terdapat alasan kuat di balik pro-kontra aksi pembakaran. Pihak pro mengatakan bahwa itu adalah bendera HTI, ormas Islam terlarang. Sementara yang kontra menganggap bendera tersebut adalah bendera Rasulullah. Lantas mana pendapat yang paling sesuai bila dilihat dari konteks komunikasi antarbudaya?
Makna dan Fungsi Bendera
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bendera diartikan sebagai sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda; panji-panji; tunggul: sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. Dari pengertian tersebut, dapat disederhanakan bahwa fungsi bendera yaitu sebagai tanda, simbol yang menunjukkan identitas.
Dalam bahasa hadis, bendera (red: Royah dan Liwa’) berfungsi sebagai simbol perang dan menjadi tanda di mana posisi pemimpin perang. Pun demikian, pembawa bendera adalah komandan perang, atau terkadang diserahkan kepada pasukan yang berada di barisan terdepan. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari.
Simbol sebagai IdentitasDalam konteks komunikasi antarbudaya, simbol menjadi suatu hal yang sangat penting. Simbol berperan sebagai representasi atau perwakilan dari suatu hal yang lebih besar. Orang lain bisa mengenal budaya orang lain melalui simbol-simbol yang dikenakan. Pemaknaan terhadap simbol dilakukan dengan analisis konteks di mana simbol itu dibangun (Irwan Abdullah, 2006 : 21). Jadi simbol bisa disepakati maknanya oleh orang lain berdasarkan konteks sosial-budaya.
Simbol-simbol yang digunakan pada akhirnya melahirkan “identitas”. Littlejohn dalam bukunya Theories of Human Communication menyebutkan bahwa identitas berfungsi sebagai “kode” yang mendefinisikan keanggotaan individu / kelompok dalam komunitas yang beragam. (Littlejohn, 2009: 131). Identitas menjadi suatu ciri khas pengenalan kelompok kepada kelompok lain.
Bendera Indonesia dan Monako: Sama Tapi Berbeda
Dari kedudukannya sebagai simbol, kehadiran bendera bisa menjadi identitas bagi suatu negara. Hal ini bisa dilihat dari bendera Indonesia. Indonesia memiliki bendera dengan komposisi warna merah dan putih. Warna merah berada di bagian atas, dan putih di bawah (red: merah-putih). Tetapi kalau dicermati negara lain, akan ditemukan bendera dengan komposisi serupa, yaitu Monako. Kesamaan tersebut akan memunculkan dugaan salah satu negara menjiplak bendera.
Kalau ditinjau dari konteks historis, ternyata bendera Monako lebih dahulu disahkan daripada bendera Indonesia. Merah-putih sah menjadi bendera Monako  pada 4 April 1881. Sementara Indonesia baru sah memakai komposisi merah-putih sebagai bendera pada 17 Agustus 1945, saat proklamasi kemerdekaan. Kesamaan tersebut tidak menjadikan Monako menuntut Indonesia. Kedua negara tahu dan paham bahwa meskipun komposisi warna bendera sama, tetapi tetap berbeda.
Bendera Monako memiliki proporsi 4:5, hampir berbentuk persegi. Berbeda dengan Indonesia, proporsi merah-putihnya 2:3. Perbedaan proporsi tersebut menjadikan masing-masing bendera memiliki ciri khas. Indonesia dan Monako memiliki “Identitas” masing-masing melalui merah-putihnya. Sehingga dengan identitas yang dimiliki, kedua negara bisa dikenali berdasarkan simbol khasnya.
Klaim Keliru Atas Bendera Rasulullah
Sebagian orang menganggap bendera yang dibakar oleh oknum BANSER sebagai “Bendera Rasulullah”. Padahal di Indonesia, bendera tersebut dipopulerkan oleh HTI. Berdasarkan konteks komunikasi antarbudaya, bendera tersebut tidak bisa disebut sebagai bendera Rasulullah. Salah satu penyebabnya karena perbedaan khat tulisan. Perbedaan khat tidak bisa dipandang remeh. Karena berbeda sedikit saja akan sangat berpengaruh terhadap identitas yang direpresentasikan oleh simbol.
Yahya Wahib Al-Jabburi dalam kitabnya Al-Khat wa Al-Kitabah fi al-Basarah al-‘Arabiyyah cetakan Dar al-Gharb al-Islam menjelaskan, pada masa awal Islam hanya dikenal satu jenis khat kaligrafi, yaitu Khat Kufi . Khat Kufi dikenal oleh masyarakat Islam sejak masa Umar bin Khattab. Dalam menulis al-Qur’an, Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya menggunakan model tulisan Kufi sederhana. Pada masa ini, tulisan tidak memiliki penanda vokal  dan pembeda konsonan. Selain itu, masih belum dikenal penanda kalimat yang berupa titik, koma, ataupun hiasan tulisan.
Sedangkan bendera yang dipopulerkan oleh HTI memiliki jenis Khat Tsuluts. Khat Tsuluts ini dirintis oleh Ibn Muqlah (w. 328 H.) pada pemberian titik dan ukuran tulisan. Khat ini mulai terlihat bentuk indahnya sejak dikembangkan oleh Ibn al-Bawwab ‘Ali ibn Hilal al-Baghdadi (w. 413 H.). Jarak waktu yang sangat jauh dengan masa Rasulullah maupun Sahabat.
Maka, berdasarkan pemahaman terhadap simbol dan identitas, bendera yang dibakar oleh oknum BANSER adalah Bendera HTI. Bukan Bendera Rasulullah sebagaimana yang diklaim sebagian pihak. Pun demikian, jika tetap memaksakan menyebut Bendera Rasulullah, maka bendera ISIS bisa disebut juga Bendera Rasulullah. Karena bendera ISIS juga bertuliskan kalimat tauhid. Bahkan, jenis khat yang digunakan lebih klasik daripada bendera HTI. Demikian juga tidak adanya tanda baca, harusnya semakin menguatkan untuk menyebutnya sebagai bendera Rasulullah. Tetapi apakah mereka berani dan mau? Tidak!
*Oleh : Iwan Hantoro, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.
#muslimsejati

0 coment�rios:

Santri Menjaga Indonesia dari Gerakan Kaum Islamis Jihadis Ilustrasi istighotsah kubro NU Jatim (Foto: Antara) Fathoni,  NU O...

Santri Menjaga Indonesia dari Gerakan Kaum Islamis Jihadis

Santri Menjaga Indonesia dari Gerakan Kaum Islamis Jihadis
Ilustrasi istighotsah kubro NU Jatim (Foto: Antara)
Fathoni, NU Online | Senin, 29 Oktober 2018 07:05
Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

Hari Santri 2018 pada 22 Oktober telah berlalu, tetapi perayaan dan perdebatan mengenai hal tersebut masih terus berlangsung. Di beberapa daerah masih melaksanakan perayaan Hari Santri dengan berbagai bentuk kegiatan, mulai istighotsah, shalawatan, pawai sampai pentas seni religi. Selain itu perdebatan mengenai Hari Santri dan eksesnya juga masih berlangsung di media sosial.

Untuk menemukan spirit Hari Santri dengan berbagai peristiwa yang terjadi selama perayaan Hari Santri berlangsung kita perlu menggali berbagai makna yang ada di balik Hari Santri. Perayanaan Hari Santri terkait dengan peristiwa Resolusi Jihad yang dikumadangkan oleh KH Hasyim Asy’ari yang kemudian dianggap menjadi bara  pengobar semangat jihad para santri dan masyarakat melawan sekutu (Inggris) dan Belanda yang ingin kembali menjajah.

Ada beberapa makna penting di balik peringatan Hari Santri. Pertama, Hari Santri membongkar peran santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama ini peran sejarah santri selalu "digelapkan", tak pernah ditulis dalam sejarah. Penulisan sejarah Nasional selalu menonjolkan peran kaum modernis dan para tokohnya seperti Natsir, Sukiman, Bung Tomo, Masyumi, Hizbul Wathon dan kaum modernis lainnya (lihat Kahin, 2013; Anderson,  1988; MC. Rikleft, 2005; Malcolm Codwell dan Ernest Utrecht, 2011).  

Dalam catatan para sejarawan internasional itu peran kaum santri terlihat hampir tidak ada, hanya disebut sambil lalu, menjadi subordinat dari gerakan kaum modernis. Dalam penulisan sejarah yang bias modern ini terjadi pengerdilan peran kaum santri. Misalnya ketika Mbah Hasyim menginisiasi Resolusi Jihad kemudian mendapat dukungan dari kelompok lain, maka yang besarkan adalah dukungan dari kelompok lain.

Berbagai langkah konsolidasi para kyai se Jawa yang menggerakkan masyarakat mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan tempat-tempat nyaris tidak ter-cover oleh sejarawan Barat Modern. Inilah yang menyebabkan Mu'arif menganggap Resolusi Jihad hanya masalah kecil, tidak penting, hanya mewakili kelompok kecil sehingga tidak layak ditulis dalam sejarah. (Lihathttp://www.suaramuhammadiyah.id/2016/11/10/catatan-t)

Melalui perayaan Hari Santri terjadi upaya penggalian sejarah untuk menyingkap peran sejarah santri yang selama ini tersimpan (atau sengaja disimpan) di balik lipatan sejarah. Dari sini muncul semangat menulis sejarah alternatif baik dari dalam yang dilakukan oleh sejarawan NU maupun dari luar (lihat Agus Sunyoto, 2013, Ahmad Baso, 2013; Abdul Mun'im, 2016, Zainul Milal Bizawie, 2014, Ahmad Ginanjar Sya'ban, 2017).

Dengan cara ini, narasi kecil sejarah santri yang selama ini dianggap tidak penting akan terangkat ke permukaan sehingga bisa menjadi sumber inspirasi untuk membangkitkan nasionalisme. Ini artinya Hari Santri menjadi pintu masuk diskusi akademik memgenai sejarah santri dan gerakan kebangsaan Indonesia.

Kedua, makna penting dari Hari Santri adalah kejelasan hubungan antara agama (Islam) dan faham Kebangsaan. Melalui Hari Santri yang berpijak pada peristiwa Resolusi Jihad maka menjadi tonggak bahwa hubungan antara Islam dan Kebangsaan sudaj final.

Dengan demikian secara implisit makna hari santri adalah peneguhan atas nasionalisme Indonesia sebagai cerminan dari spirit keislaman. Spirit ini tercermin dalam semboyan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy'ari yang kemudian menjadi populer di kalangan umat Islam di Nusantara khususnya para santri.

Dengan spirit ini maka Hari Santri jelas mendapat tantangan dari kelompok yang anti terhadap nasionalisme. Hari Santri dianggap ganjalan dan batu sandungan bagi kelompok gerakan Islam transnasional yang masih menginginkan berdirinya negara Islam dan menjadikan Indonesia sebagai bagian imperium kekhalifahan Islam internasional.

Kelompok ini terus membenturkan antara nasionalisme dengan rezim khilafah Islam internasional. Dengan topeng agama dan atas nama Islam mereka melakukan gerakan merongrong NKRI dengan segala cara. Termasuk mengacaukan perayaan Hari Santri, karena bagi mereka Hari Santri merupakan momentum peneguham nasionalisme.

Jika Hari Santri sukses dan paham nasionalisme tertanan kuat di kalangan bangsa Indonesia maka perjuangan mereka membangun sistem khilafah di negeri ini akan gagal dan akan sulit dilakukan. Provokasi pengibaran bendera HTI di Garut bisa dibaca dari perspektif ini.

Ketiga, Hari Santri merupakan bentuk rekonstruksi makna jihad. Dalam resolusi jihad, jihad tidak dimaknai semata-mata membela Islam. Di sini jihad dimaknai sebagai upaya membela tanah air. Dengan kata lain, membela NKRI adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Sikap ini secara tegas dinyatakan oleh Mbah Hasyim ketika menjawab utusan Panglima Soedirman yang bertanya, bagaimana hukum membela tanah air? Oleh sang utusan pertanyaan ini kemudian tegaskan, "membela tanah air bukan membela Islam".

Atas pertanyaan ini  dengan tegas Mbah Hasyim menjawab: "membela tanah air hukumnya wajib, dan menjadi bagian dari jihad fi sabilillah". Hal ini juga disampaikan Mbah Hasyim kepada Bung Karno yang datang  menghadap beliau di Tebuireng menjelang peristiwa 10 November. Sayangnya data-data seperti ini tidak tergali oleh para sejarawan modern.

Penafsiran makna jihad Mbah Hasyim yang mewajibkan jihad membela NKRI ini jelas tidak sesuai dengan pemahaman jihad kaum Islamis jihadis yang justru ingin menghancurkan NKRI karena dianggap sebagai negara kafir dan thoghut.

Bagi kelompok Islamis jihadis, Hari Santri juga dianggap sebagai pemutarbalikan makna jihad, bagi mereka jihad bukan membela NKRI sebagaimana digelorakan kaum santri saat membela NKRI. Inilah yang membuat mereka berusaha mengganggu perayaan Hari Santri karena dianggap menjadi penghalang perjuangan mereka menegakkan negara Islam di Indonesia.

Berbagai makna tersebut menunjukkan bahwa Hari Santri bukan semata hadiah untuk sekelompok orang atau menonjolkan peran sejarah kaum santri saja. Apalagi membesar besarkan masalah kecil yang tidak penting bagi sejarah bangsa sebagaimana dituduhkan oleh Mu'arif. Ada makna sangat penting dan strategis di balik Hari Santri terkait dengan hubungan Islam dan kebangsaan serta makna jihad dalam konteks kebangsaan.

Andai saja sejarah secara jujur menulis peran kaum santri dalam sejarah perjuangan bangsa mungkin benturan antara Islam dan nasionalisme bisa dicegah sejak dini. Karena bagi kaum santri hibungan antara keduanya audah selesai. Bagi santri cinta NKRI bukan semata slogan politis, tetapi telah menjadi bagian pemahaman keislaman yang menyatu dalam diri (embedded).

Jelas di sini terlihat kelompok mana yang sebenarnya terancam dan tidak suka dengan keberadaan Hari Santri yaitu mereka yang terganggu perjuangan dan agendanya mengubah NKRI dan ingin mengganti ideologi negara Pamcasila. Atau mereka yang tidak paham makna dan spirit yang ada di balik Hari Santri, sehingga hanya memaknainya secara politis, meski kadang dibungkus dengan simbol agama dan logika akademik.


#muslimsejati

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/98221/santri-menjaga-indonesia-dari-gerakan-kaum-islamis-jihadis
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta

0 coment�rios:

Kader NU Harus Menjaga NKRI dari Serangan Radikalisme dan Terorisme Mustasyar PBNU, KH Ma'ruf Amin di Sidoarjo, Jatim Abdul Muiz...

Kader NU Harus Menjaga NKRI dari Serangan Radikalisme dan Terorisme

Kader NU Harus Menjaga NKRI dari Serangan Radikalisme dan Terorisme
Mustasyar PBNU, KH Ma'ruf Amin di Sidoarjo, Jatim
Abdul Muiz, NU Online | Ahad, 28 Oktober 2018 16:45
Sidoarjo, NU Online
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ma'ruf Amin mengingatkan pentingnya menjaga persatuan dan kerukunan demi mewujudkan Indonesia yang damai. Pasalnya, sejarah berdirinya Indonesia ini tidak bisa terlepas dari peran santri NU.

"Kader NU harus menjaga NKRI dari serangan radikalisme dan terorisme. NU siap menjadi garda terdepan dalam mengawal NKRI. Ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) boleh saja hilang di negara lain, tapi di Indonesia ini Aswaja harus tetap ada hingga kiamat," tegas KH Ma'ruf Amin, saat memberikan sambutan pada acara istighotsah kubro di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Ahad (28/10).

Menurutnya, saat tentara sekutu menduduki kembali republik ini tahun 1949, saat itu TNI dan Polri belum terkonsolidasikan dengan baik. Menurutnya, dengan semangat juang membela NKRI, melalui Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari memberikan fatwa bahwa jihad membela negara dan melawan penjajah hukumnya Fardhu A'in.

"Usai menerima fatwa dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, ribuan santri bergerak menuju Surabaya dengan semangat jihad fi sabilillah membela NKRI, dengan ridho dan pertolongan Allah SWT akhirnya sekutu berhasil di usir dari NKRI," kata pria yang juga cicit seorang ulama besar dari Banten Syekh KH Nawawi Al-Bantani itu. 

Menurut Kiai Ma'ruf, saat ini yang menjadi tantangan bagi santri zaman now adalah separatisme dan radikalisme. “Separatisme adalah bughat,” kata Kiai Ma’ruf. Sedangkan gerakan radikal dan teror akan mengancam keberadaan NKRI, lanjutnya.

Bagi Kiai Ma’ruf Amin, hari santri yang telah ditetapkan pemerintah sebagai tantangan agar bisa membaca kitab mu’tabar. “Juga membaca huruf-huruf Allah yang termaktub dalam tatanan bangsa dan negara,” pungkasnya.

Istighotsah kubro yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur hari ini, Ahad (28/10) diawali dengan kirab santri. Kegiatan mengambil start dari Pendopo Kabupaten Sidoarjo menuju lokasi istighotsah di Gelora Delta. (Moh Kholidun/Muiz
#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/98187/kader-nu-harus-menjaga-nkri-dari-serangan-radikalisme-dan-terorisme-

0 coment�rios:

Rozali,  NU Online  | Sabtu, 27 Oktober 2018 17:00 Ahmad Zainul Hamdi  Salah satu pertanyaan penting yang banyak dilontarkan para ...

Terorisme: Irrasionalitas Kekerasan Agama

Rozali, NU Online | Sabtu, 27 Oktober 2018 17:00
Ahmad Zainul Hamdi 

Salah satu pertanyaan penting yang banyak dilontarkan para pengamat isu radikalisme-terorisme adalah apa yang menyebabkan seseorang akhirnya menjadi seorang radikalis-teroris? Banyak yang meyakini bahwa fenomena radikalisme-terorisme keagamaan tidak semata-mata dipicu oleh faktor agama. Fakta di lapangan menunjukkan beragamnya latar belakang orang berubah dari “orang baik-baik” menjadi seorang teroris. 

Agama hanyalah menjadi salah satu faktor. Ada faktor psikologis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mudah sekali ditemukan. Misalnya, ada orang yang masuk ke dalam kelompok teroris karena ketika kecil, dia menyaksikan orang tuanya dizalimi oleh rezim penguasa. Ada juga orang yang menjadi teroris karena kondisi ekonomi yang menyedihkan. 

Sekalipun demikian, penjelasan di atas tetap belum bisa menjawab, mengapa seseorang karena keterjepitan ekonomi, misalnya, memutuskan untuk menjadi seorang radikalis, bahkan teroris. Atau, mengapa ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi kapitalistik yang jahat membuat orang mengambil langkah untuk menjadi pelaku bom bunuh diri?

Dalam sebuah tulisannya, Cooper (2015) melontarkan pertanyaan yang cukup menggelitik, “What do terrorists want?” Tentu saja, setiap tindakan teror bertujuan untuk melukai dan melahirkan ketakutan mendalam kepada publik. Tapi, apa sesungguhnya tujuan utama mereka? Teori rational actor pasti akan menjelaskan bahwa aksi teror adalah sebuah pilihan tindakan yang dikalkulasi secara rasional untung dan ruginya. Rumus yang digunakan kurang lebih adalah sebagai berikut: “Keuntungan politik dikurangi biaya politik menghasilkan keuntungan bersih yang lebih besar jika dibanding dengan cara-cara potes lain”.

Sekalipun demikian, teori ini tetap tidak mampu menjelaskan tentang keuntungan politik apa yang diinginkan oleh sekumpulan teroris yang melancarkan aksinya dari markas pasukan elit kepolisian. Bahkan, keuntungan politik apa yang akan didapatkan ketika mereka justru lebih senang menempatkan dirinya dalam sasaran tembak seluruh kekuatan dunia? 

Para ahli membedakan antara teroris etno-nasionalis seperti IRA di Irlandia Utara atau ETA di Basque Spanyol dengan teroris-jihadis trans-nasional seperti al-Qaedan dan ISIS. Jika yang pertama melakukan tindakan kekerasan untuk menaikkan posisinya dalam proses negosiasi dengan lawannya dalam rangka mencaoai tujuan politiknya, maka yang terakhir memainkan kekerasan dalam kerangka tuntutan politik yang absolut dan non-negotiable. Tujuannya bukan untuk bernegosiasi, tapi mengekspresikan situasi alienasi dan kemarahannya dengan carayang berisiko kematian. Terorisme ini adalah sebentuk irrasionalitas. 

Oleh karena itu, kekerasannya tak bisa dijelaskan kecuali dari motif yang menggerakkannya. Menurut Wood (2005), apa yang mendorong para teroris itu adalah keyakinan keagamaannya. Wood menyatakan dengan istilah “apocalyptic reading of the sacred text”, yaitu pemahaman kitab suci dalam semangat perang habis-habisan. Karena pandangan keagamaan inilah, kelompok teroris tidak memiliki kemampuan untuk mengubah cara-cara perjuangannya, bahkan jika perubahan itu membuatnya akan selamat.

Teologi kekerasan

Dalam sebuah tulisannya pasca-Persitiwa 11 September, The Place of Tolerance in Islam, Khaled Abou el-Fadhl (2003) menyatakan bahwa terorisme sesungguhnya adalah masalah kemanusiaan universal. Korban terorisme mengena siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi kaum teroris, tidak peduli apakah korban itu seagama dengannya atau tidak. Terorisme tidak hanya membahayakan non-Muslim, tapi juga umat Islam sendiri.

Menurut Abou el-Fadhl, potensi bahaya tersebut sudah tertancap dalam psiko-teologi mereka. Para teroris ini meyakini dirinya sebagai kelompok orang beriman yang memiliki kebajikan tertentu yang membedakan mereka dengan penganut keyakinan lain. Sifat supremasi teologi mereka ini sangat membahayakan karena memiliki muatan dominasi kultural dan politik yang sangat kuat.Kelompok ini tidak hanya puas dengan keleluasaan untuk hidup menurut nilai-nilai keyakinannya sendiri, tapi mereka juga memiliki ketidakpuasan aktif terhadap cara hidup yang dimiliki orang lain. Akibatnya, mereka tidak hanya berupaya untuk mengembangkan dirinya sendiri, tapi secara agresif berupaya untuk melemahkan, mendominasi, dan menghancurkan kelompok lain. Siapa saja yang hidup di luar nilai-nilai yang diyakininya dianggap sebagai melawan Tuhan dan oleh karena itu, harus dilawan dan diperangi. Dari rahim teologi supremasis inilah lahir berbagai aksi teror.

Gerakan kelompok ini didorong oleh sebuah keyakinan bahwa umat Islam selama ini telah diperlakukan tidak adil oleh Barat-Kristen. Keyakinan ini dibangun di atas narasi Perang Salib hingga dominasi Barat-Kristen atas negara-negara mayoritas Muslim pasca-kolonial. Kelompok ini juga meyakini bahwa Barat telah melakukan perampasan atas tanah dan sumber kekayaan alam umat Islam, melemahkan kekuatan ekonomi, militer dan politiknya. Tidak hanya itu, Barat juga dianggap melakukan upaya-upaya untuk menghambat pertumbuhan Islam dengan memberi bantuan kepada aktivitas-aktivitas anti-Islam (Saeed 2007).

Karena itu, tidak mengherankan jika konsep penting yang memotivasi kelompok ini adalah ‘jihad’. Mereka memahami konsep jihad sebagai tindakan teror dan kekerasan dalam perang global antara kebaikan (Islam) dan keburukan (Barat/non-Islam). Juergensmeyer (2000) menjelaskan motif terdalam dari aksi-aksi teror keagamaan dengan istilah cosmic war, di mana pelaku teror selalu meyakini bahwa mereka berada dalam sebuah perang semesta antara kebaikan melawan kejahatan. 

Para pelakunya bisamelakukan tindakan teror di dalam maupun di luar negaranya. Mereka tidak peduli bahwa tindakannya mungkin saja akan menghancurkan negaranya sendiri.Kelompok ini memiliki konsep politik dan kenegaraan sendiri.Sayyid Qutb, salah seorang ideolog yang banyak menjadi rujukan kaum teroris, mengembangkan teori politik dengan memperlawankan antara tatanan politik Islami dan jahili. Yang pertama merujuk pada negara yang meletakkan Allah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Negara Islam adalah negara yang mengikuti hukum Allah, bukan negara yang membuat hukum sendiri. Hukum Allah adalah ketetapan yang tidak bisa diubah oleh persetujuan manusia. Jika sebuah negara tidak mengikuti hukum Allah dan tidak meletakkan Allah sebagai kedaulatan tertinggi, maka ia adalah negara jahili yang layak untuk dihancurkan.

Dalam kerangka pemikiran teologis ini, kaum teroris meyakini bahwa tatanan Islam  dan tatanan jahili adalah dua entitas yang  saling bertentangan dan bermusuhan.Pilihannya adalah menang secara total atau hancur tak berbekas. Mereka meyakini bahwa masyarakat jahili harus dihancurkan. Dakwah dengan lisan saja tidak cukup, tapi juga jihad dengan kekerasan (Bubalo & Fealy2005).

Jika saat ini sekelompok teroris melancarkan berbagai aksi teror di berbagai penjuru negaranya sendiri, masihkah itu mengundang tanya? Kekerasannya tak bisa dijelaskan kecuali ia menunjukkan sisi irrasionalitas tindakan manusia yang didorong oleh paham keagamaan apokaliptik.

Dosen pada Departemen Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel Surabaya
#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/98110/terorisme-irrasionalitas-kekerasan-agama

0 coment�rios:

Islam Smart, Jangan Pernah Mau Dibohongi posted by  Dunia islam   on 10/26/2018 12:14:00 AM  No Comments Dalam setiap aksi demo, H...

Islam Smart, Jangan Pernah Mau Dibohongi


Dalam setiap aksi demo, HTI selalu menggunakan bendera hitam dengan klaim bahwa itu adalah bendera tauhid dan Panji Rasulullah.
Pertanyaannya, benarkah bendera hitam itu Panji Rasulullah?
Saya coba cek dan ketemu pandangan Gus Nadirsyah Hosen, seorang dosen di FH di Australia, sekaligus Rais Syuriah NU di Australia dan New Zealand, seperti yang saya kutip di duta.co.
“Jangan mau dibohongi HTI dan ISIS..” Kata Gus Nadir.
Bendera Rayah, bendera warna hitam, adalah bendera perang dan yang membawanya adalah pemimpin perang. Bendera ini biasanya diserahkan khalifah pada pemimpin perang dan komandan2 lainnya.
Dan HTI memahami itu melalui riwayat Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah.
Gus Nadir berkata bahwa secara umum hadis2 yang menjelaskan warna bendera Rasul dan tulisan di dalamnya adalah hadis yang tidak berkualitas, atau tidak shahih.
Riwayatnya pun berbeda-beda. Ada yang bilang hitam saja, ada yang bilang putih saja. Ada juga riwayat yang bilang hitam dan putih, bahkan ada yang kuning.
“Dalam sejarah Islam juga beda lagi. Ada yang bilang Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai warna hitam, dan pernah juga putih.
Yang jelas dalam konteks bendera dan panji, Rasul menggunakan sewaktu perang hanya untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara,” jelas Gus Nadir.
“Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat jaman Rasul dulu beda dengan yang ada di bendera ISIS dan HTI. Jaman Rasul tulisan Alquran belum ada titik dan khatnya, masih pra Islam yaitu khat kufi.
Makanya, meski mirip, bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kok bisa? Padahal sama-sama mengklaim bendera Islam? Itu karena rekaan mereka saja,” tandas Gus Nadir.
Jadi, Kalau ISIS dan HTI yang setiap saat mengibarkan bendera Liwa dan Rayah, apakah mereka mau perang terus? Kok ke mana-mana mengibarkan bendera perang?
Kalau dianggap sebagai bendera negara khilafah, kita ini NKRI, sudah punya bendera Merah Putih. Masak ada negara dalam negara? Kalau itu terjadi, berarti makar!” Gus Nadir menutup pembicaraan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa orang2 HTI itu sesungguhnya tidak paham hadis. Mereka hanya memainkan konsep bendera sesuai perkiraan mereka saja. Dan ini dijual seolah-olah mereka adalah “Panglima Perang Rasulullah”..
Jadi – sekali lagi – jangan mau dibohongi HTI.
Dari masalah bendera saja mereka gak paham, apalagi mau mendirikan negara khilafah ?
“Bu, kopinya jangan kasih gula. micinnya aja yang agak banyakan…”
#Muslim sejati

0 coment�rios:

Mitos Bendera HTI dan Perampokan Kalimat Tauhid Oleh M Abdullah Badri \ Dalam bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dari sononya mema...

Mitos Bendera HTI dan Perampokan Kalimat TauhidOleh M Abdullah Badri

\

Dalam bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dari sononya memang sudah menyiratkan makna dan bentuk. Makna ada dalam kalimat tauhid. Tercermin dari bahasa yang digunakan bendera. Bentuknya adalah bendera yang berwarna putih atau hitam, yang disebut sebagai royah dan liwa’. Naifnya, bendera itu mereka klaim dari Rasulullah. Ini distorsi dan pembelokan.

Dalam kajian mitologi, bendera HTI itu disebut sebagai mitos. Bukan mistis yah. Tapi mitos, ilmu tentang tanda. Adanya penanda bendera, berarti ada motivasi, kehendak dan permintaan yang dijadikan petanda.

Melalui penanda bendera, petanda yang ia adalah motivasi gerakan makar ideologis HTI, sengaja disamarkan atau dinaturalisasikan sehingga yang tampak di muka hanya bentuknya, bendera yang diklaim milik umat Islam.

Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1983) menyebut mitos sebagai yang “terlalu samar untuk dikenali, atau terlalu gamblang untuk langsung diyakini”. Ia hanyalah sebuah infleksi (pembelokan) dan pengkhianatan bahasa. (Lihat, ibid, hlm. 186).

Apakah betul bendera HTI milik seluruh umat Islam? Publik terlalu samar dan tidak berani tidak menyebutnya sebagai bendera umat Islam karena ada kalimat tauhidnya. Mengapa? Karena ia sudah ada dan menjadi sebagai bendera. Begitulah kerja mitos. 

Umat Islam yang tidak membaca tanda dan tidak paham sejarah akan mudah menyatakan kalau itu adalah bendera agama Islam. Mereka tidak tahu kalau umat Islam lain ada yang menggunakan bulan sabit dan bintang sebagai bendera mereka, penanda atas petanda keislaman mereka.

Karena ada kalimat tauhidnya, mereka tidak mau tahu kalau ISIS, Al-Qaida dan juga Saudi Arabia memakai kalimat tauhid dalam bendera kelompoknya masing-masing. Samar. Dan karena samar, mereka dukung saja. Membebek dengan mitos tauhid yang telah disisipkan dalam bendera. 

Banyak umat Islam yang gamang dan samar menyebut bendera itu milik HTI karena kalimat tauhid adalah bahasa dunia milik semua umat Islam, yang tanpanya, tidak akan masuk surga. HTI pun panen dukungan umat Islam karena propaganda benderanya yang dimitoskan.


Bongkar Mitos
Saya menyebut, HTI panen hasil rampokan bahasa (kalimat tauhid) yang ada dalam benderanya sebagai mitos tersamar. Mereka merampok emosi massal umat Islam untuk mendukungnya, seolah selain dia bukan Islam, dengan ancaman bahasanya yang khas, “siapa saja yang membakar bendera itu berarti anti Islam”. Innalillah.


Umat Islam, termasuk kiai-kiai NU dan santri-santri NU, banyak yang menganggap bahwa bendera itu bendera Rasulullah. Pasalnya, HTI tidak menjadikan kalimat itu sebagai contoh kalimat thoyyibah, tapi lebih dari itu, kalimat tauhid dinaturalkan jadi bendera sehingga mendukung bendera, sama dengan mendukung Islam.

Kalau saja HTI hanya menjadikan kalimat tauhid sebagai contoh kalimat thoyyibah, tentu tidak ada gerakan counter propaganda dan pembakaran oleh Banser di Garut saat perayaan Hari Santri 2018 kemarin. Banser paham, kalimat tauhid yang sudah jadi bendera itu artinya ada proses mitologis dan pembelokan makna bahasa agung kalimat tauhid, yang oleh Roland Barthes disebut sebagai pengkhianatan bahasa. (ibid, hlm. 187).

Laku pembakaran bendera tauhid HTI di atas sangat sah menemukan kebenaran. Mengapa? Sebagai bahasa, kalimat La Ila ha Illa Allah adalah kalimat baik yang penuh makna sehingga mudah diinvasi banyak tafsir, mengingat kalimat tauhid bukan kalimat matematis yang dikelilingi rumus tunggal, sebagaimana 1 + 1 samadengan 2. Ada rumus yang melindungi kalimat matematika.

Banser menafsir, kalimat thoyyibah yang diklaim secara naif oleh HTI sebagai dari Rasulullah (kalimat dan benderanya) sebagai mitos yang membelokkan makna. Andai saja bendera itu berwarna hitam atau putih dan bertulikan Hizbut Tahrir, tak akan ada invasi tafsir lain oleh umat Islam, karena ia jadi kalimat matematis, tunggal langsung menunjuk hidung HTI. Banser pun tidak berhak membakar benderanya jika demikian.

Banser paham, mitos yang dibangun HTI lewat bendera bertulis kalimat tauhid hanya ingin mengubah sejarah pemberontakan pengguna bendera yang sama ke dalam alam umat Islam Indonesia yang nasionalis dan cinta NKRI. 

Melalui benderanya, HTI berhasil menjadikan kalimat tauhid bukan sebagai contoh, tapi membuat dia natural sebagai yang dimiliki oleh banyak umat Islam. HTI berhasil menaturalisasikan makna kalimat tauhid jadi basis gerakan mendapatkan dukungan. Itulah yang disebut Roland Barthes sebagai mengubah makna menjadi bentuk.

Hasilnya, HTI menjadi ormas terlarang yang berhasil mendistorsi (merampok) bahwa kalimat tauhid tidak boleh dibakar walau ia terbukti dipakai oleh perampok dan perompak ideologi negara. Inilah kehendak dan permintaan dalam motivasi dibalik perampokan kalimat tauhid HTI dalam bendera berbahasa La Ilaha Illa Allah.

Makanya, membakar bendera HTI adalah sah, halal dan mendapatkan pahala menjaga balad (negara) sebagai yang amin (damai). Jauh dari gerakan anti Pancasila dan anti nasionalisme. Lanjutkan. Saya bersama Banser! []
#muslimsejati

0 coment�rios:

Pondok Pesantren Lirboyo "HUKUM MEMBAKAR BENDERA TAUHID"     Akhir-akhir ini publik ramai memperbincangkan tindakan salah sat...

Pondok Pesantren Lirboyo
"HUKUM MEMBAKAR BENDERA TAUHID"

    Akhir-akhir ini publik ramai memperbincangkan tindakan salah satu anggota organisasi yang membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid. Banyak pihak yang geram atas tindakan ini, sebab kalimat tauhid dimana pun penempatannya adalah kalimat yang harus dimuliakan oleh seluruh umat islam. Sehingga membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bentuk penghinaan yang nyata pada kalimat tauhid itu sendiri.

Benarkah hujjah (argumentasi) dan alasan tersebut?

Sebelumnya patut dipahami bahwa dalam konteks ini telah terjadi penyimpangan fungsi kalimat tauhid yang awalnya merupakan simbol keesaan Allah swt. Namun oleh oknum yang tidak bertanggungjawab justru kalimat tersebut dijadikan sebagai simbol kepentingan mereka dan dijadikan lambang identitas golongan mereka, golongan ini biasa dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu gerakan separatis yang secara tegas telah dilarang oleh pemerintah.

Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Tanbihat al-Wajibat menjelaskan:

اَنَّ اسْتِعْمَالَ مَا وُضِعَ لِلتَّعْظِيْمِ فِيْ غَيْرِ مَحَلِّ التَّعْظِيْمِ حَرَامٌ
“Sesungguhnya menggunakan sesuatu yang diciptakan untuk diagungkan, untuk difungsikan pada hal yg tidak diagungkan adalah hal yang haram“.

Berdasarkan referensi di atas, mengalihfungsikan kalimat tauhid untuk kepentingan organisasi yang terlarang adalah bentuk perbuatan yang secara tegas diharamkan oleh syariat. Sebab perbuatan ini saja sudah dipandang menghina terhadap kalimat tauhid itu sendiri. Sehingga mestinya secara arif kita dapat menilai bahwa bendera tauhid pada konteks ini hakikatnya bukan merupakan lambang yang mewakili umat islam secara kesuluruhan, bahkan merupakan lambang yang dijadikan pemicu berbagai perpecahan bangsa, sebab telah difungsikan sebagai lambang golongan tertentu yang telah dilarang oleh pemerintah.

Peristiwa semacam ini sesungguhnya juga terjadi dalam ingatan sejarah kita, bagaimana Masjid Dhirar dihancurkan dan dibakar oleh Rasulullah saw. setelah beliau tahu bahwa ternyata masjid tersebut dibuat oleh kaum yang berupaya memecah belah umat Islam. Dalam menyikapi peristiwa ini, Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Kitab Al-Hawi Lil fatawi:

قَالَ عُلَمَاؤُنَا: وَإِذَا كَانَ الْمَسْجِدُ الَّذِيْ يُتَّخَذُ لِلْعِبَادَةِ وَحَضَّ الشَّرْعُ عَلَى بِنَائِهِ يُهْدَمُ وَيُنْزَعُ إِذَا كَانَ فِيْهِ ضَرَرٌ فَمَا ظَنُّكَ بِسِوَاهُ ؟ بَلْ هُوَ أَحْرَى أَنْ يُزَالَ وَيُهْدَمَ، هَذَا كُلُّهُ كَلَامُ الْقُرْطُبِيْ
“Para Ulama berkata: Jika masjid saja yang diciptakan untuk ibadah dan syariat menganjurkan untuk membangunnya berubah menjadi dihancurkan karena terdapat kemudlaratan, lantas bagaimana pendapatmu pada hal selain masjid? Jelas lebih pantas untuk dihilangkan dan dihancurkan. Perkataan tersebut adalah perkataan Imam Qurtuby”

Selain peristiwa itu, pernah pula tercatat dalam sejarah Sayyidina Utsman ra. membakar mushaf Al-Quran untuk tujuan menjaga keotentikan Al-Quran. Sebab Mushaf yang Ia bakar merupakan mushaf-mushaf yang bercampur antara ayat yang mansukh (disalin) dan ayat yang tidak mansukh. Khawatirnya jika mushaf-mushaf itu dibiarkan, banyak orang akan berpendapat bahwa lafadz yang bukan merupakan bagian dari Al-Quran dianggap sebagai bagian dari Al-Quran. Hal ini jelas akan berpengaruh pada keotentikan Al-Quran itu sendiri. Berdasarkan peristiwa ini, Para Fukaha berpandangan bahwa membakar Al-Qur’an jika bertujuan untuk menjaga kehormatan Al-Quran itu sendiri adalah hal yang diperbolehkan.isbn

Berdasarkan beberapa dalil-dalil di atas dapat kita simpulkan bahwa bendera tauhid hanyalah kedok dari gerakan terlarang di negeri ini. Kita harus melawannya secara tegas. Tindakan membakar hakikatnya bukan melecehkan kalimat tauhid, namun untuk menyelamatkannya dari kepentingan yang tercela.

Dengan demikian, hukum membakar bendera tauhid adalah hal yang diperbolehkan, bahkan merupakan cara yang paling utama bila hal tersebut lebih efektif untuk menghentikan provokasi dari gerakan terlarang di negeri ini. Wallahu A’lam.

Sumber: Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L)
#muslimsejati

0 coment�rios: