Home Top Ad

Responsive Ads Here

Tiga Hal Penting Puasa. Salah Satunya Bisa Tangkal Ekstrimisme By   bahir albasil  - May 31, 2019 0 6 ...

Tiga Hal Penting Puasa. Salah Satunya Bisa Tangkal Ekstrimisme

0
6

By 
Tidak terasa sudah seminggu berlalu sejak pertama kali mengudap kurma sebagai bekal puasa seharian. Ramadhan akan selalu bergerak. Kesempatan yang sudah terlewat seminggu lalu, tidak bisa diulang kembali. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan dua minggu yang tersisa untuk memaksimalkan manfaat bulan penuh berkah ini.
Ustadz Ahmad Ali MD, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) sempat mengingatkan tentang pentingnya Ramadhan. “Di antara hikmah bulan Ramadhan adalah ada pengabulan doa bagi orang yang berdoa; ada penerimaan tobat orang yang bertobat, dan ada pengampunan bagi orang yang mohon ampunan,” ujarnya dalam salah satu khutbah Jumat-nya. Bonus-bonus yang mungkin tidak kita dapatkan di bulan-bulan yang lain ini, harus bisa sama-sama kita manfaatkan dengan baik.
Lebih lanjut, Ustadz yang juga alumni CVE (counter violence extremistCommunication Workshopyang menjadi cikal bakal Ruangobrol ini juga menjelaskan bahwa puasa dalam Ramadhan memiliki 3 manfaat utama. Yaitu manfaat kejiwaan, manfaat sosial-kemasyarakatan, dan manfaat kesehatan.
Yuk, kita bedah masing-masing manfaat itu.
  1. Manfaat kejiwaan
Puasa Ramadhan membiasakan diri untuk berlaku sabar dan mengekang hawa nafsu agar menjadi manusia yang tunduk atau bertakwa pada Tuhan. Takwa memang menjadi tujuan khusus dalam berpuasa Ramadhan, namun dibalik itu, melatih kesabaran juga punya manfaat positif pada kesehatan jiwa lho.
Dr. Sarah A. Schnitker, seorang ahli Psikologi Sosial dari Baylor University, pada tahun 2012 pernah menuliskan hasil risetnya soal kesabaran. Dari riset yang melibatkan hampir 400 orang mahasiswa, dia menemukan bahwa orang-orang yang sabar memiliki kecenderungan untuk lebih puas dengan kehidupannya dan memiliki banyak harapan. Hal ini tentunya sangat baik untuk kesehatan jiwa.
  1. Manfaat sosial kemasyarakatan
Berpuasa mendorong orang untuk bisa memberikan kontribusi terbaik ke lingkungan masyarakatnya. Salah satunya melalui peningkatan kepekaan terhadap orang-orang di sekitar kita. Memberikan buka puasa, sedekah, dan berinteraksi tanpa ketegangan adalah beberapa contohnya. Selain itu, puasa juga mengajarkan kesetaraan. Karena apapun jabatannya, posisinya, maupun harta kekayaannya, semua sama-sama harus menjalankan puasa dengan aturan dan durasi yang sama.
Sebuah jurnal yang ditulis oleh B. Heidi Ellis dan Saida Abdi pada American Psychological Association tahun 2017, pernah membahas soal pentingnya hubungan sosial dalam membangun ketahanan masyarakat atau komunitas dalam menangkal ekstrimisme. Jurnal berjudul Building Community Resilience to Violent Extremism Through Genuine Partnerships ini menyebutkan bahwa ketahanan masyarakat itu dapat dibangun dengan kuatnya ikatan antara komponen masyarakat yang memiliki latar belakang yang sama maupun yang berbeda. Ikatan ini yang kemudian membangun sense of belonging. Hal ini kemudian diperkuat dengan adanya hubungan kesetaraan.
Secara tidak langsung puasa yang mengajarkan kepekaan dan kesetaraan dapat menjadi pintu masuk membangun ketahanan masyarakat. Sedekah dapat menjadi media untuk merangkul kelompok masyarakat yang kurang beruntung atau terpinggirkan. Interaksi tanpa ketegangan juga dapat membangun hubungan positive dengan berbagai elemen delam masyarakat.
  1. Manfaat kesehatan
Sudah banyak sekali artikel dan diskusi yang membahas soal manfaat kesehatan dalam puasa. Pada intinya, puasa merupakan jeda yang diperlukan tubuh untuk dapat kembali meregulasi fungsi-fungsi organ. Seperti sebuah mobil yang memerlukan service berkala dan mengganti oli. Puasa membantu membersihkan usus-usus dan pencernaan, memperbaiki perut yang terus-menerus beraktifitas. Bahkan, tidak jarang study menyebutkan bahwa puasa dapat membersihkan badan dari lendir-lendir/lemak-lemak, kolesterol yang menjadi sumber penyakit.
Nah, setelah mengetahui manfaat puasa ini, tentunya kita lebih semangat lagi dong menjalaninya. Selamat berpuasa kawan
Sumber: ruangobrol.id
#muslimsejati

0 coment�rios:

Siapakah yang rentan terjangkit radikalisasi online?? By   bahir albasil  - May 30, 2019 Kita kembali ke...

Siapakah yang rentan terjangkit radikalisasi online??

Kita kembali ke bahasan siapakah yang rentan terpengaruh radikalisasi online ?
Menurut pengetahuan dan pengalaman saya sejauh ini, ada dua golongan orang-orang yang rentan terpengaruh pemikiran dan pemahaman radikal yang berawal dari sempitnya berfikir, yaitu :
  1. Masyarakat awam yang rusak, dan
  2. Kelompok pemuda yang bersemangat tapi bodoh
(Siapa saja yang termasuk kedua golongan ini akan kita bahas lebih jauh pada tulisan-tulisan selanjutnya)
Kedua golongan ini akan semakin mudah terpapar pemikiran dan pemahaman radikal bila dibarengi dengan kondisi kebangkitan Islam yang lemah dan para penguasa yang zhalim atau tersebarnya kezhaliman.
Kebangkitan Islam yang lemah dapat dilihat misalnya masih minimnya ulama yang ikhlas dan tulus yang tampil memimpin umat dalam pergerakan secara luas dan menyeluruh serta membina umat dari soal pemikiran, akhlak, ekonomi, sampai politik.
Hal ini mengakibatkan umat kehilangan panduan dan panutan. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Sehingga mereka kemudian mencari-cari ‘panduan alternatif’ selain ulama yang ada di tengah umat.
Di sinilah kemudian para ‘provokator pemikiran’ memainkan perannya menyebarkan propaganda mereka. Dengan bantuan teknologi internet dan algoritmanya yang canggih, penyebaran propaganda mereka itu menjadi semakin masif dan memiliki jangkauan yang lebih luas.
Sedangkan berkuasanya para penguasa zhalim atau merajalelanya kezhaliman di tengah umat membuat umat yang merasa hidupnya susah cenderung ingin melawan dan memusuhi rezim yang berkuasa. Karena menurut mereka, para penguasa itulah yang menyebabkan hidup mereka jadi susah.
Di antara mereka kemudian ada yang sangat ingin melawan rezim lalu mencari-cari cara atau pemahaman yang mendukung dan membenarkan aksi perlawanan yang ingin mereka lakukan. Maka ketika menemukan -entah secara online maupun offline– sebuah pemikiran/pemahaman yang membenarkan aksi perlawanan yang ingin mereka lakukan, tentu akan langsung serta merta mereka ikuti.
(Padahal jika dipikir lebih jauh, barangkali memang betul rezim penguasa itu punya andil yang cukup signifikan, tetapi melawan atau memerangi mereka itu apakah merupakan solusi bersama ? Apakah sudah tidak ada solusi yang lain ? Apakah umat jadi merasa lebih baik dengan adanya aksi perlawanan mereka ? Dst…dst…)
Saya pun dulu sempat masuk dalam kelompok orang yang berpemikiran seperti ini. Sehingga ketika melihat kesuksesan Al Qaidah di berbagai tempat, kami pun memutuskan untuk mencoba mengadopsi cara-cara ala Al Qaidah untuk kami terapkan di Indonesia.
Kesalahan terbesar kami adalah kami tidak memperhitungkan situasi dan kondisi kami dan kondisi umat Islam di negeri ini, sehingga kami hampir tidak memikirkan dampaknya terhadap umat Islam.
Lalu bagaimana solusi menghadapi lemahnya kebangkitan Islam dan merajalelanya kezhaliman di tengah umat agar keadaan tidak semakin buruk ?
Untuk menghadapi lemahnya kebangkitan Islam tentu saja kta mengharapkan para ulama lebih peduli lagi terhadap nasib umat dan para da’i agar semakin meningkatkan dan memperluas dakwahnya di tengah umat.
Kemudian untuk mereduksi kezhaliman yang merajalela kita berharap para penguasa kita berlaku adil dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyatnya. Dan di sisi lain kita juga harus mendorong diri kita masing-masing semaksimal mungkin untuk menemukan solusi dalam menghadapi keadaan yang serba tidak ideal di zaman ini.
Padahal jika dipikir lebih jauh, barangkali memang betul rezim penguasa itu punya andil yang cukup signifikan, tetapi melawan atau memerangi mereka itu apakah merupakan solusi bersama ? Apakah sudah tidak ada solusi yang lain ? Apakah umat jadi merasa lebih baik dengan adanya aksi perlawanan mereka ? Dst…dst…
By 
Kita kembali ke bahasan siapakah yang rentan terpengaruh radikalisasi online ?
Menurut pengetahuan dan pengalaman saya sejauh ini, ada dua golongan orang-orang yang rentan terpengaruh pemikiran dan pemahaman radikal yang berawal dari sempitnya berfikir, yaitu :
  1. Masyarakat awam yang rusak, dan
  2. Kelompok pemuda yang bersemangat tapi bodoh
(Siapa saja yang termasuk kedua golongan ini akan kita bahas lebih jauh pada tulisan-tulisan selanjutnya)
Kedua golongan ini akan semakin mudah terpapar pemikiran dan pemahaman radikal bila dibarengi dengan kondisi kebangkitan Islam yang lemah dan para penguasa yang zhalim atau tersebarnya kezhaliman.
Kebangkitan Islam yang lemah dapat dilihat misalnya masih minimnya ulama yang ikhlas dan tulus yang tampil memimpin umat dalam pergerakan secara luas dan menyeluruh serta membina umat dari soal pemikiran, akhlak, ekonomi, sampai politik.
Hal ini mengakibatkan umat kehilangan panduan dan panutan. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Sehingga mereka kemudian mencari-cari ‘panduan alternatif’ selain ulama yang ada di tengah umat.
Di sinilah kemudian para ‘provokator pemikiran’ memainkan perannya menyebarkan propaganda mereka. Dengan bantuan teknologi internet dan algoritmanya yang canggih, penyebaran propaganda mereka itu menjadi semakin masif dan memiliki jangkauan yang lebih luas.
Sedangkan berkuasanya para penguasa zhalim atau merajalelanya kezhaliman di tengah umat membuat umat yang merasa hidupnya susah cenderung ingin melawan dan memusuhi rezim yang berkuasa. Karena menurut mereka, para penguasa itulah yang menyebabkan hidup mereka jadi susah.
Di antara mereka kemudian ada yang sangat ingin melawan rezim lalu mencari-cari cara atau pemahaman yang mendukung dan membenarkan aksi perlawanan yang ingin mereka lakukan. Maka ketika menemukan -entah secara online maupun offline– sebuah pemikiran/pemahaman yang membenarkan aksi perlawanan yang ingin mereka lakukan, tentu akan langsung serta merta mereka ikuti.
(Padahal jika dipikir lebih jauh, barangkali memang betul rezim penguasa itu punya andil yang cukup signifikan, tetapi melawan atau memerangi mereka itu apakah merupakan solusi bersama ? Apakah sudah tidak ada solusi yang lain ? Apakah umat jadi merasa lebih baik dengan adanya aksi perlawanan mereka ? Dst…dst…)
Saya pun dulu sempat masuk dalam kelompok orang yang berpemikiran seperti ini. Sehingga ketika melihat kesuksesan Al Qaidah di berbagai tempat, kami pun memutuskan untuk mencoba mengadopsi cara-cara ala Al Qaidah untuk kami terapkan di Indonesia.
Kesalahan terbesar kami adalah kami tidak memperhitungkan situasi dan kondisi kami dan kondisi umat Islam di negeri ini, sehingga kami hampir tidak memikirkan dampaknya terhadap umat Islam.
Lalu bagaimana solusi menghadapi lemahnya kebangkitan Islam dan merajalelanya kezhaliman di tengah umat agar keadaan tidak semakin buruk ?
Untuk menghadapi lemahnya kebangkitan Islam tentu saja kta mengharapkan para ulama lebih peduli lagi terhadap nasib umat dan para da’i agar semakin meningkatkan dan memperluas dakwahnya di tengah umat.
Kemudian untuk mereduksi kezhaliman yang merajalela kita berharap para penguasa kita berlaku adil dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyatnya. Dan di sisi lain kita juga harus mendorong diri kita masing-masing semaksimal mungkin untuk menemukan solusi dalam menghadapi keadaan yang serba tidak ideal di zaman ini.
Padahal jika dipikir lebih jauh, barangkali memang betul rezim penguasa itu punya andil yang cukup signifikan, tetapi melawan atau memerangi mereka itu apakah merupakan solusi bersama ? Apakah sudah tidak ada solusi yang lain ? Apakah umat jadi merasa lebih baik dengan adanya aksi perlawanan mereka ? Dst…dst…
Kita kembali ke bahasan siapakah yang rentan terpengaruh radikalisasi online ?
Menurut pengetahuan dan pengalaman saya sejauh ini, ada dua golongan orang-orang yang rentan terpengaruh pemikiran dan pemahaman radikal yang berawal dari sempitnya berfikir, yaitu :
  1. Masyarakat awam yang rusak, dan
  2. Kelompok pemuda yang bersemangat tapi bodoh
(Siapa saja yang termasuk kedua golongan ini akan kita bahas lebih jauh pada tulisan-tulisan selanjutnya)
Kedua golongan ini akan semakin mudah terpapar pemikiran dan pemahaman radikal bila dibarengi dengan kondisi kebangkitan Islam yang lemah dan para penguasa yang zhalim atau tersebarnya kezhaliman.
Kebangkitan Islam yang lemah dapat dilihat misalnya masih minimnya ulama yang ikhlas dan tulus yang tampil memimpin umat dalam pergerakan secara luas dan menyeluruh serta membina umat dari soal pemikiran, akhlak, ekonomi, sampai politik.
Hal ini mengakibatkan umat kehilangan panduan dan panutan. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Sehingga mereka kemudian mencari-cari ‘panduan alternatif’ selain ulama yang ada di tengah umat.
Di sinilah kemudian para ‘provokator pemikiran’ memainkan perannya menyebarkan propaganda mereka. Dengan bantuan teknologi internet dan algoritmanya yang canggih, penyebaran propaganda mereka itu menjadi semakin masif dan memiliki jangkauan yang lebih luas.
Sedangkan berkuasanya para penguasa zhalim atau merajalelanya kezhaliman di tengah umat membuat umat yang merasa hidupnya susah cenderung ingin melawan dan memusuhi rezim yang berkuasa. Karena menurut mereka, para penguasa itulah yang menyebabkan hidup mereka jadi susah.
Di antara mereka kemudian ada yang sangat ingin melawan rezim lalu mencari-cari cara atau pemahaman yang mendukung dan membenarkan aksi perlawanan yang ingin mereka lakukan. Maka ketika menemukan -entah secara online maupun offline– sebuah pemikiran/pemahaman yang membenarkan aksi perlawanan yang ingin mereka lakukan, tentu akan langsung serta merta mereka ikuti.
(Padahal jika dipikir lebih jauh, barangkali memang betul rezim penguasa itu punya andil yang cukup signifikan, tetapi melawan atau memerangi mereka itu apakah merupakan solusi bersama ? Apakah sudah tidak ada solusi yang lain ? Apakah umat jadi merasa lebih baik dengan adanya aksi perlawanan mereka ? Dst…dst…)
Saya pun dulu sempat masuk dalam kelompok orang yang berpemikiran seperti ini. Sehingga ketika melihat kesuksesan Al Qaidah di berbagai tempat, kami pun memutuskan untuk mencoba mengadopsi cara-cara ala Al Qaidah untuk kami terapkan di Indonesia.
Kesalahan terbesar kami adalah kami tidak memperhitungkan situasi dan kondisi kami dan kondisi umat Islam di negeri ini, sehingga kami hampir tidak memikirkan dampaknya terhadap umat Islam.
Lalu bagaimana solusi menghadapi lemahnya kebangkitan Islam dan merajalelanya kezhaliman di tengah umat agar keadaan tidak semakin buruk ?
Untuk menghadapi lemahnya kebangkitan Islam tentu saja kta mengharapkan para ulama lebih peduli lagi terhadap nasib umat dan para da’i agar semakin meningkatkan dan memperluas dakwahnya di tengah umat.
Kemudian untuk mereduksi kezhaliman yang merajalela kita berharap para penguasa kita berlaku adil dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyatnya. Dan di sisi lain kita juga harus mendorong diri kita masing-masing semaksimal mungkin untuk menemukan solusi dalam menghadapi keadaan yang serba tidak ideal di zaman ini.
#muslimsejati
Sumber : ruangobrol.id

0 coment�rios:

Wanita Salehah Itu; Menangkal Radikalisme, Menyebar Kedamaian By   bahir albasil  - May 29, 2019 0 5 ...

Wanita Salehah Itu; Menangkal Radikalisme, Menyebar Kedamaian

0
5
Konsep wanita salaheh selalu diidentikkan dengan wanita yang patuh, taat, dan bisa membahagiakan suami dan orang tuanya. Konsep ini tentu hasil ciptaan laki-laki, sudah usang dan ketinggalan zaman. Salaheh artinya adalah layak, baik, dan cocok. Artinya cocok untuk zamanya, layak untuk eranya, dan baik untuk masanya.  Ketiga kata ini menjadi kunci seorang perempuan disebut salehah.Perempuan yang berjuang menafkahi anak-anaknya disebut wanita salehah; perempuan yang memerangi butu huruf dinamai wanita salehah; perempuan penjaga lingkungan agar bebas dari sampah dipanggil wanita salehah; begitu seterusnya.
Pendek kata, wanita salehah bisa diinterpretasi sesuai dengan konteks zamannya. Saat ini, tidak ada musuh terbesar bagsa ini kecuali radikalisme dan hoax. Radikalisme mengakibatkan banyak tindakan terorisme. Hoax menyebabkan dis-harmoni, kekacauan, dan tidak adanya kedamaian. Maka wanita yang berjuang dan berjihad untuk menghalau kedua musuh ini layak disebut sebagai wanita salehah. Bisa dikatakan dalam konteks sekarang, wanita salehah itu adalah perempuan yang berjuang menangkal radikalisme dan menyebar kedamaian.
Poin menangkal radikalisme dan menjaga kedamaian penting, mengingat perempuan mempunyai posisi strategis dalam melaksanakan kerja-kerja seperti ini. Apalagi data terakhir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan bahwa ada 94 hoax per minggu yang menyebar di sosial media, dan yang paling renta untuk menyebar hoax adalah kaum emak-emak. Keikutsertaan perempuan dalam menangkal radikalisme dan menyebar kedamaian sama dengan memenuhi kedamaian dan mencegah radikalisme separuh lebih dari lini massa media sosial,  kerena separuh lebih populasi manusia dalah perempuan.
Selain itu, kerja ini bisa dimulai dari institusi keluarga. Wanita sebagai bagian penting dan penyanggah rumah tangga bisa berperan aktif dengan menanamkan dan mengajarkan materi cintai damai sejak dini di lingkungan keluarga. Anak-anak diajari bahwa radikalisme adalah tindakan kezaliman; ujaran kebencian adalah musuh bersama. Sebaliknya kedamaian adalah karakter bangsa ini dan merupakan identitas dari negeri ini. Ajaran kedamian yang dilakukan di lingukangan rumah tangga akan mengena, mengingat kelurga adalah sekolah pertama bagi sang anak. Asupan gizi pengetahuan diperoleh anak –dengan sangat berkesan –dari institusi ini.
Keterlibatan ini tentu bukan hanya di ruang privat-domestik saja, perempuan juga bisa aktif di ruang publik-produksi dengan bergabung dalam lembaga, organisasi, dan jaringan-jaringan yang fokus dalam literasi media. Wanita milenial bisa terlibat aktif dengan memberika advokasi, penyuluhan dan bimbingan, baik di maya maupun di dunia nyata. Acara seminar, workshop, dan latihan jurnalisme  dan beberapa akun feminisme dalam memberikan pencerahan di Instagram, Fecebook, YouTube adalah bagian dari upaya menyebar kedamaian dan menangkal radikalisme.
Kerja ini bisa dilakukan dengan menjadikan kata salehah sebagai kata sifat dan kata kerja, yakni saluha –sekaligus. Kata sifat maksudnya sifat progresif, pantang menyerah, dan ide-ide pencerahan harus ditanamkan sedini mungkin dalam setiap wanita. Bahwa wanita harus maju, tidak mudah terkena radikalisme, ujaran kebencian dan provokasi adalah simbol sifat dari salehah. Menanamkan sifat ini melahirkan manusia cerdas dan tidak mudah diadu domba, apalagi dengan doktrin-doktrin radikalisme.
Salehah sebagai kata sifat tentu harus diiringi dengan  salehah sebagai kata kerja (saluha). Maksud kata kerja adalah usaha yang dilakukan itu harus terus-menerus secara berkisenambungan. Tidak mudah terkena radikalisme dan ujaran kebencian harus dikampanyekan dan ditanamakan  tanpa henti. Laiknya kata kerja yang memiliki masa sekarang dan akan datang, maka kerja-kerja pencerahan itu harus dilakukan sekarang juga masa akan datang, tidak hanya berhenti di masa kini apalagi hanya berpuas diri pada masa lampau saja.
Menanamkan salehah dan/atau saluha sebagai kata sifat dan kata kerja; wanita menyipati ide-ide pencerahan dan progresivitas dan melakukan kerja itu secara kontiniutas, maka akan lahir banyak Wanita salehah-wanita salehah masa kini.
#muslimsejati
Sumber : https://www.google.com/amp/s/jalandamai.org/wanita-salehah-itu-menangkal-radikalisme-menyebar-kedamaian.html/amp/

0 coment�rios:

Jihad Bukan hanya Perang By   bahir albasil  - May 28, 2019 0 7 Penulis Ahmad Makk Bincan...

Jihad Bukan hanya Perang

0
7
Penulis
BincangSyariah.Com –Salah satu perang paling tersohor di era kehidupan Nabi Muhammad adalah perang Badar, yang dimenangkan dengan hasil gemilang. Saat itu pasukan muslim yang berjumlah sekitar 300 tentara tentara, berjihad menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih besar, sekira 1000 orang. Bisa dipahami kalau perang yang sangat berat ini dikenang dengan bangga oleh kaum muslim.
Namun begitu pulang dari medan perang, Nabi berkata, “kita baru saja kembali dari peperangan kecil (jihadul ashgar), dan akan menuju perang besar (jihadul akbar).” Sontak para sahabat kaget mendengarnya. Perang Badar yang demikian beratnya dikatakan hanya perang kecil?
“Peperangan apa lagi (yang lebih besar dari perang Badar) wahai, Nabi?” tanya sahabat.
“Peperangan melawan hawa nafsu (jihadun nafsi)”.
Kebetulan saat itu sedang dalam waktu bulan Ramadhan, bulan di mana umat muslim diperintahkan melawan berbagai hawa nafsu secara intens. Fragmen kecil ini kemudian menjadi salah satu rujukan penting para ulama dalam memaknai kata “jihad” dalam ajaran Islam.
Jihad adalah salah satu konsep sensitif dalam Islam. Istilah ini berasal dari kata “jahada” atau ”jahdun”, secara bahasa berarti usaha atau kekuatan. Secara umum jihad bisa diartikan sebagai, mengerahkan segala usaha atau kekuatan untuk menuju kepada jalan yang diyakini sebagai kebenaran.
Para pengidap islamofobia kerap memersepsikan jihad sebagai ajaran untuk memerangi kelompok-kelompok lain di luar Islam. Tapi kesalahpahaman ini kadang diamini juga oleh kelompok tertentu dalam Islam. Sebagai contoh, kelompok-kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam seringkali memakai doktrin jihad sebagai landasan gerakan dan rekrutmennya, serta menebar angkara membabi-buta.
Jihad yang sebetulnya bermakna sangat luas, dimaknai secara sempit, sekadar membenci dan memerangi orang “kafir”. Perintah jihad seolah-olah sudah pasti membawa unsur kebencian kepada kelompok lain. Padahal perkara memberi label “kafir” pada orang lain saja bukan perkara main-main. Apalagi kalau menilik riwayat yang disebut di atas, Nabi Saw. justru menekankan perjuangan yang sangat personal sebagai jihad skala besar, yakni melawan hawa nafsu.
Baca Juga :  Jihad: Antara Salah Paham dan Paham Salah
Dalam sejarah Indonesia, istilah jihad pernah dikaitkan dengan ajakan peperangan kepada kaum penjajah. Hal ini dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari bersama banyak ulama lainnya dalam seruan Resolusi Jihad yang antara lain berbunyi, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda (penjajah)”.
Seruan yang diumumkan pada 22 Oktober 1945 ini dikeluarkan karena konteks Indonesia saat itu yang tengah mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Sementara pihak penjajah secara agresif terus menekan dan menginvasi beberapa wilayah Nusantara dengan gerakan bersenjata.
Selepas perjuangan kemerdekaan dan berakhirnya era perjuangan bersenjata, K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya meneruskan perjuangan lewat pengabdian kemasyarakatan, untuk mengisi kemerdekaan dengan baik. Praktik jihad para ulama selepas masa perang biasanya berkonsentrasi pada bidang pengembangan pendidikan umat melalui pesantren-pesantren, serta melakukan kerja-kerja kebudayaan yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa.
Dari sini kita bisa melihat pemaknaan jihad secara kontekstual. Jihad bisa saja diartikan sebagai anjuran perang secara fisik, saat kondisi memang tak memberikan pilihan. Tapi dalam kondisi normal, jihad bisa berupa gerakan penuh kasih sayang untuk mengedukasi masyarakat.
Jihad bukan monopoli umat muslim yang hidup dalam kondisi perang. Pada masa damai seperti sekarang kita juga tetap bisa berjihad, berlomba-lomba menjadi muslim yang berguna bagi orang banyak. Karenanya dalam konteks kehidupan modern seperti sekarang, seorang pengojek yang bekerja keras mencari nafkah buat keluarganya bisa menjadi pejihad (mujahid). Pemimpin politik yang bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran negaranya juga sedang melakukan jihad. Begitu juga kerja seorang wartawan yang memberitakan seakurat mungkin untuk melawan berita-berita bohong.
Mengutip ucapan Nabi Saw. bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu, dalam konteks saat ini jihad mestinya dilakukan tanpa kebencian. Bahkan kita mesti berjihad menaklukkan hawa nafsu dan diri sendiri untuk memerangi kebencian kepada kelompok lain
#muslimsejati
  1. Sumber : bincangsyari’ah.com

0 coment�rios:

URGENSI UKHUWAH ISLAMIYAH DALAM MEMBANGUN INDONESIA DI TENGAH KEBERAGAMAN BERSAMA : DR. ARIEF ALAMSYAH, USTADZ ALI AHMADI By   bahir ...

URGENSI UKHUWAH ISLAMIYAH DALAM MEMBANGUN INDONESIA DI TENGAH KEBERAGAMAN BERSAMA : DR. ARIEF ALAMSYAH, USTADZ ALI AHMADI

0
8
Urgensi Ukhuwah Islamiyah dalam Membangun Indonesia di Tengah Keberagaman”, diawali ucapan dua kalimat Syahadat salah satu Mualaf, bimbingan Badan Pembinaan Mualaf Baiturrahman pada Sabtu, 9 Juni 2018. Begitupun dengan materi kajian, disampaikan dua narasumber sekaligus, masing-masing DR. Arief Alamsyah dari Malang dan Ustadz Ali Ahmadi dari Jakarta.

Menurut Arief Alamsyah, ukhuwah (rasa persaudaraan) merupakan faktor penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keragaman suku, agama, adat dan budaya yang ada di Indonesia. Melalui jalinan yang kuat antar sesama muslim bersama saudara sebangsa dan setanah air, dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika, akan mampu mengantisipasi bibit perpecahan yang bisa saja dihembuskan sejumlah pihak, yang ingin mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Hal ini hendaknya bisa dipahami dengan baik oleh umat muslim di Indonesia dan Bontang pada khususnya, agar tetap mengutamakan ukhuwah dan rasa kebersamaan, serta tidak dilemahkan berbagai isu yang belum tentu kebenarannya, hingga mengarah ke perpecahan dan bahkan berpotensi mengancam kesatuan utuh sebagai bangsa. “Islam merupakan agama dengan umat terbesar di Indonesia. Maka kita harus cerdas agar tidak mudah termakan isu yang belum tentu kebenarannya, salah satunya dengan jalinan ukhuwah yang baik,” ungkapnya.

Arief mencontohkan dirinya sebagai seorang pendakwah yang wajib menyampaikan keilmuan sejalan dengan tuntunan serta ajaran Al-Quran dan Sunnah, juga harus menempatkan diri sesuai kultur masyarakat dengan budaya tertentu. Sebab peranan seorang Dai atau pendakwah bukan hanya menyampaikan tuntunan ayat dan bimbingan secara akidah, namun turut mencerminkan Islam dari perbuatan dan tutur kata. Hal ini juga diharapnya bisa dipahami para pendakwah, agar tidak memancing perpecahan umat dari apa yang disampaikan. “Kita ini Dai, bukan Hakim. Tugas kita menyampaikan, bukan menghakimi,” tandasnya.

Sementara Ustadz Ali Ahmadi menjelaskan, ukhuwah dalam ajaran Islam terbagi pada empat kategori, yaitu Ukhuwah Al-Islamiyah, diartikan sebagai hubungan dan rasa persaudaraan antar sesama Muslim. Terkait sikap seorang muslim dengan saudara seiman dalam menjalani aktivitas dan kehidupan sebagai masyarakat. Selanjutnya Ukhuwah Al-Insaniyah, yakni hubungan persaudaraan secara kemanusiaan (sesama manusia) dengan mengedepankan kerukunan meski berbeda keyakinan. Salah satunya menjaga toleransi antar umat beragama, dalam upaya menumbuhkan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa.

Kemudian Ukhuwah Al-Wathaniyah, merupakan hubungan persaudaraan karena tempat kelahiran atau tempat tinggal. Hal ini bagian dari Ukhuwah Al-Insaniyah dengan menjalin hubungan baik berdasarkan latarbelakang wilayah (daerah atau negara) yang sama. Hingga terjalin hubungan kekerabatan serta rasa senasib dari apa yang dijalani. Terakhir, Al-Ukhuwah Fi’il Amr atau hubungan baik dalam bekerja dengan saling menghormati dan menghargai, karena menyadari keahlian yang didapat merupakan suatu berkah untuk digunakan sebaik mungkin sesuai tuntunan agama.

Jika diaplikasikan dengan baik dalam lingkungan kerja, niscaya akan mampu menghapus kesenjangan dan kecemburuan yang bisa saja timbul antara sesama karyawan, serta mempererat hubungan atasan dan bawahan. “Sebab apapun yang dikerjakan dengan keahlian yang dimiliki, disadari sebagai anugerah yang diberikan Allah kepada kita,” kata Ali Ahmadi. Begitu pula dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, empat ukhuwah tersebut hendaknya bisa dipahami dengan baik oleh seluruh umat muslim dan memandang perbedaan sebagai bentuk ke-Esaan Allah SWT agar tidak memunculkan faksi antar umat karena perbedaan pendapat.

Mengingat seluruh manusia berasal dari Adam, yang diciptakan berbeda sebagai suatu keragaman, urgensi ukhuwah dalam membangun Indonesia di tengah keberagaman, bisa disikapi dengan meningkatkan ilmu pengetahuan maupun pemahaman agama, khususnya memandang suatu perbedaan sebagai hal positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mampu mengelola keragaman dan perbedaan dengan baik guna menciptakan rasa persaudaraan antar sesama. “Segala sesuatu itu ada levelnya, begitu pula dengan ilmu dan pemahaman manusia. Dengan tingkat pemahaman (Thabaqat) yang berbeda, juga akan menimbulkan berbagai sikap, bahkan penyakit hati seperti iri dan dengki,” terangnya.

Seseorang juga dikatakan beriman jika mampu memahami perbedaan yang ada, di tengah peradaban dan kehidupan bermasyarakat, disamping menguasai lima kaitan hukum dalam Islam, yakni Fardhu, Sunnah, Mubah, Subhat dan Haram. “Dengan kekuatan yang dimiliki, Islam tidak bisa diperangi dengan senjata, tapi bisa dilakukan dengan merusak peradaban umat itu sendiri untuk menghancurkan secara perlahan dan saling adu antar sesamanya. Maka sadarilah hal itu sebagai perangkap yang luar biasa,” pungkasnya. (*/vo/nav)
#muslimsejati
Sumber : https://www.pupukkaltim.com/berita&fpg=urgensi-ukhuwah-islamiyah-dalam-membangun-indonesia-di-tengah-keberagaman-bersama-dr-arief-alamsyah-ustadz-ali-ahmadi.det

0 coment�rios: