Home Top Ad

Responsive Ads Here

Islam dan Bendera Hitam Penulis   M. Khalimi  - 10 Januari 2018 0 3036 BincangSyariah.Com –  Awal penggunaan ben...



Islam dan Bendera Hitam


0
3036
BincangSyariah.Com – Awal penggunaan bendera pada masa Islam, menurut al-Thaibawi, yaitu ketika Rasulullah pertama kali masuk ke kota Yatsrib. Tapi bukan bendera hitam yang dipakai pasukan Rasululah.
Pada masa itu, oleh golongan Anshar, Rasulullah Saw diminta membawa sesuatu yang mampu menunjukkan bahwa itu Rasulullah Saw ketika masuk ke kota tersebut. Rasulullah kemudian menggunakan imamahnya yang diletakkan di sebuah kayu sebagai simbol bahwa itu adalah Rasul Saw.
Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perang Abwa’, tahun pertama Hijriah, pasukan Islam yang dipimpin Hamzah membawa bendera putih sebagai simbol dari laskar perangnya, dan pada waktu itu bendera tersebut dipegang oleh Abu Marsyad.
Pada perang Badar tahun kedua hijriah, panji (al-Liwa’) Islam dipegang oleh Mush’ab bin Umair, dan bendera kalangan Muhajirin di bawah kendali Ali bin Abi Thalib, sedang bendera kaum Anshar di bawa oleh Sa’d bin Mu’adz, yang mana kedua bendera tersebut berwarna hitam. Selanjutnya pada masa perang Uhud, awalnya bendera dipegang oleh Mush’ab bin Umair, karena Mush’ab gugur di medan perang, estafet pemegang bendera dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib dipercaya sebagai pembawa bendera pada masa perang Khaibar.
Eksistensi bendera tidak cukup sampai perang Khaibar, pada masa perang Quraizhah, pasukan muslim juga membawa bendera sebagai pembeda antara pasukan Islam dan pasukan Romawi Arab. Dalam perang ini awalnya bendera dipegang oleh Zaid bin Haritsah, kemudian Ja’far bin Abi Thalib, dan terakhir dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.
Di masa-masa akhir kehidupan Rasulullah Saw, beliau menyiapkan pasukan yang dikomandoi oleh Usamah bin Zaid, dan ia juga yang memegang bendera kepemimpinan. Pada masa ini bendera yang dipakai Rasul hanya meliputi bendera hitam dan putih.
Setelah Rasul Saw wafat, bendera-bendera yang tadinya dipakai pasukan Rasul ketika perang, masih dipakai sampai berakhirnya masa kekhilafahan Khulafa’ al-Rasidin. Selain itu, setiap kabilah –ketika menghadapi perang- diperboleh untuk memakai benderanya masing-masing.
Setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir, estafet perpolitikan Islam dilanjutkan oleh Bani Umayah. Pada masa ini, menurut al-Qalansandi, Bani Umayah memakai bendera hijau. Ada yang mengatakan untuk membedakan antara Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, maka Bani Umayah memakai bendera putih, sedang Bani Abbas berbendera hitam. Namun menurut al-Thaibawi, bahwa bendera Bani Umayah itu berwarna putih dan bertuliskan “La Ilaha Illah Allah Muhammad Rasulallah” dan juga ayat “Nashrun Min Allahi Qarib
Pada masa Bani Abbas, bendera yang digunakan adalah bendera hitam karena banyaknya tentara Bani Abbas yang meninggal. Selanjutnya karena terjadi perpecahan di kalangan Bani Abbas dan kaum pengikut Ali, maka akhirnya Bani Abbas mengganti bendera dengan warna putih. Ketika tampuk kepemimpinan Bani Abbas dipegang al-Makmun, warna bendera Bani Abbas dirubah menjadi hijau. Akan tetapi setelah wafatnya al-Makmun, Abbasiyah kembali memakai bendera hitam sebagai bendera kenegaraannya. Hal tersebut untuk membedakan antara kalangan pendukung Bani Abbas dan kelompok Alawiyyin.

Hukum Penggunaan Bendera Hitam
Pada masa Nabi Saw pengunaan bendera begitu intensif, yang mana setiap kali perang Rasul dan para sahabatnya tidak pernah meninggalkan yang namanya bendera. Sehingga kalau kita mengikuti kaidah fikih yang berbunyi “sesuatu yang diulang-ulang pada suatu masa yang mana hal tersebut berujung kepada syariat maka ia bisa masuk perkara umum dan bisa juga masuk dalam perkara khusus”. Pada masalah ini terdapat dua ungkapan, sebagaimana dinukil oleh Abdul Hamid Hakim, al-Syafii dan para pengikutnya, mengatakan bahwa kalau kita kembalikan ke makna aslinya sebagai suatu budaya maka ia tidak termasuk syariat, sedang kalau kita ambil dari makna dzahirnya maka ia termasuk syariat.
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan bahwa sunah menggunakan bendera ketika perang. Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zad al-Ma’ad mengatakan bahwa sunah menggunakan bendera di saat perang dan ia menganjurkan panji (al-Liwa’) yang digunakan itu putih, dan bendera (al-Rayat) yang digunakan itu hitam. Sedang ulama-ulama kontemporer yang tergabung dalam Markaz al-Fatwa dalam laman Islamweb mengatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun yang mewajibkan bendera umat Islamketika perang itu pada jenis dan warna tertentu.
Untuk memahami apakah masalah penggunaan bendera ini syariat atau bukan? Maka menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, dalam menentukan apakah itu syariat atau bukan maka kita harus tahu, 1) Kalau hal tersebut merupakan agama, maka hanya kaum Muslimlah yang menjalankannya. 2) Sebagian budaya tersebut sudah dilaksanakan sebelum Islam datang, dan ketika Islam datang budaya tersebut masih dijalankan, sedangkan yang namanya agama itu tidak dijalankan sebelum datangnya Islam. Dan penggunaan bendera serta bendera itu sendiri digunakan oleh umat Islam dan kalangan kafir, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa Ibnu Ubaid (tentara Quraisy dan ia masih dalam keadaan kafir) ketika perang Badar menjadi pembawa bendera Bani Hasyim.
Maka yang wajib kita ambil dari Rasul Saw itu hanya berhubungan dengan syariat, sedangkan apa saja yang berhubungan dengan kebudayaan Arab atau penghidupan dunia maka umat Islam boleh mengambilnya atau meninggalkannya. Dan menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah-nya mengatakan bahwa memperbanyak, memberi warna, serta mamanjangkan bendera itu semata-mata hanya untuk menakut-nakuti musuh dan untuk kepentingan politik suatu pemerintahan. Wallahu A’lam.
#muslimsejati
Sumber :https://bincangsyariah.com/khazanah/islam-dan-bendera-hitam/

0 coment�rios:

Berita Bohong dan Keharaman Bagi Umat Islam Menyebarkannya Allah SWT telah mewanti-wanti umat Islam untuk tidak gegabah dalam membe...

Berita Bohong dan Keharaman Bagi Umat Islam Menyebarkannya

Allah SWT telah mewanti-wanti umat Islam untuk tidak gegabah dalam membenarkan sebuah berita yang disampaikan oleh orang-orang fasik yang termasuk di dalamnya orang-orang yang belum diketahui secara jelas sikap dan perilaku (kejujuran)-nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS al-Hujurat:6)

Syeikh Thahir ibn Asyur, ahli tafsir kenamaan asal Tunisia, dalam kitabnya berjudul tafsir at-tahrir wa at-tanwir, dalam menafsirkan ayat di atas memberikan sebuah penjelasan bahwa ayat ini menegaskan kepada umat Islam agar berhati-hati dalam menerima laporan atau berita seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya. Hal ini baik dalam ranah persaksian maupun dalam periwayatan.

Dalam konteks hari ini, kita dituntut agar berhati-hati dalam menerima pemberitaan dari media apapun, terlebih media atau informasi dari seseorang yang isinya sarat dengan muatan kebencian kepada pihak lain.

Dalam ajaran Islam, berbohong merupakan perbuatan tercela. Pembuatan berita hoaks merupakan sebuah kejahatan yang bisa menyesatkan kesadaran para pembaca atau pendengarnya. Dalam adabud dunya waddin, Imam al-Mawardi (beberapa sumber menisbatkan perkataan ini kepada Hasan ibn Sahal) mengatakan bahwa pembuat berita hoaks diibaratkan perbuatan mencuri akal sehat (penerima pesannya):

وقيل في منثور الحكم: الكذاب لص؛ لأن اللص يسرق مالك، والكذاب يسرق عقلك

Artinya, “Dikatakan dalam Mantsurul Hikam bahwa pendusta adalah ‘pencuri’. Kalau pencuri itu mengambil hartamu, maka pendusta itu mencuri akalmu,” (Lihat Al-Imam Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut: Darul Fikr, 1992 M/1412 H], halaman 191).

Selain itu, menurut Imam Al-Mawardi dalam kitab yang sama juga dijelaskan bahwa efek negatif dari pemberitaan hoaks adalah hilangnya rasa aman dan rasa tenteram. Yang ada kecurigaan, waswas, dan ketegangan.

“Bohong itu pusat kejahatan dan asal segala perilaku tercela karena keburukan konsekuensi dan kekejian dampaknya. Bohong melahirkan adu domba. Adu domba menghasilkan kebencian. Kebencian mengundang permusuhan. Di dalam suasana permusuhan tidak ada rasa aman dan relaksasi,”

FATWA HARAM HOAKS

Kejahatan dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh berita hoaks menuntut Lembaga-lembaga keagamaan Islam di Indonesia untuk melakukan kajian mendalam terhadap hal tersebut. MUI, NU, dan Lembaga Bahstul Masail Pondok Pesantren Lirboyo sudah mengeluarkan fatwa keharaman memproduksi dan menyebarkan hoaks.

FATWA MUI

Melalui fatwanya nomor No. 24 tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial, MUI memutuskan hukum haram dalam penyebaran hoaks serta informasi bohong meskipun bertujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Selain penyebaran hoaks, dalam fatwa tersebut MUI juga mengharamkan ghibah (membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya), fitnah, namimah (adu domba), dan juga penyebaran permusuhan.

BAHSTUL MASAIL NU

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui hasil Bahstul Masail yang diselenggarakan pada tanggal 1 Desember 2016 menyatakan haram perilaku membuat dan menyebarkan berita palsu, bohong, menipu atau dikenal dengan hoax.

LBM PBNU merespon situasi saat ini yang makin marak terkait perilaku membuat dan menyebarkan berita hoax. Hal semacam itu bisa menyebabkan tersebarnya kebencian dan permusuhan di kalangan masyarakat dan lebih jauhnya bisa menyebabkan disintegrasi nasional.

Senada dengan Lembaga Bahtsul Masail dan juga Fatwa MUI, lembaga Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo pada tanggal 22-23 Maret 2017 juga menggelar Bahstul Masail yang salah satu pertanyaannya membahas tentang hoaks. Hasil rumusan Bahtsul Masail tersebut mengatakan bahwa hukum menyebarkan berita hoaks tanpa melakukan tabayyun atas kevalidannya terlebih dahulu adalah haram.

Oleh karena itu, marilah kita semua bersama-sama menangkal bahaya hoaks ini dengan tidak turut serta menyebarkan berita yang tidak diketahui secara jelas validitasnya. Kita terangi dunia digital kita dengan informasi-informasi yang benar dan bermanfaat. Sebab, kata bijak bestari: ‘dusta (hoaks), kemunafikan, makar (tipu muslihat), dan penipuan ibarat gunung es yang jika terkena cahaya kebenaran akan meleleh bersama orang-orangnya yang hendak menggapai awan’.

Semoga Allah melindungi kita, keluarga kita dan segenap bangsa ini dari segala berita bohong dan fitnah keji. Amiiin…

Dishare dari Idris Masudi via islami.co

Sumber : http://www.muslimoderat.net/2018/10/berita-bohong-dan-keharaman-bagi-umat.html#ixzz5e65IoJkm

0 coment�rios:

Siapa Sebenarnya Pengikut Ahlussunnah Waljamaah? Sampai hari ini pertentangan tentang siapa sebenarnya yang sesungguhnya pengiku...

Siapa Sebenarnya Pengikut Ahlussunnah Waljamaah?


Sampai hari ini pertentangan tentang siapa sebenarnya yang sesungguhnya pengikut ahlussunnah waljamaah(aswaja) masih terus berlanjut. Pertemuan ulama-ulama aswaja yang diselenggarakan di Grozny beberapa tahun lalu yang tidak melibatkan ulama-ulama dari Saudi Arabia yang selama ini dikenal sebagai pengikut Wahabi membuat ulama-ulama dari negeri itu tersinggung berat.  Bahkan mereka menuduh pertemuan ulama aswaja di Grozny sebagai sebuah konspriasi memecah umat Islam yang didukung oleh Rusia.
Pertentangan tentang siapa sebenarnya pengikut aswaja tidak terlepas dari metoda pelaksanaan ajaran-ajaran agama Islam dan pola pemahaman terhadap teks-teks Alquran yang sangat berbeda dari satu kubu dengan kubu lain. Hal ini didasarkan pada metode yang digunakan oleh ulama-ulama sebelumnya dalam memahami setiap teks baik itu al Quran maupun Hadis Rasulullah Saw.
Kubu ulama klasik (salaf)yang cenderung lentur dalam memahami tek-teks Al Quran dan menggunakan logika dalam memahami teks itu khususnya yang terkait dengan masalah-masalah teologis mengklaim sebagai konsep yang dijalankan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya begitupla tabiin dan tabi tabiin. Sikap ulama ini didasarkan pada upaya membersihkan dan mensucikan tuhan dari sifat-sifat yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan serta menghindari paham-paham dogmatis agama kuno terhadap agama Islam.
Selain itu kubu ini juga berusaha semaksimal mungkin memadukan teks dan logika selama hasil logika tersebut tidak bertentangan dengan teks al Quran dan Hadis. Mereka menempatkan logika dan teks sebagai sesuatu yang harus dipadukan karena tidak mungkin akal yang sehat akan bertentangan dengan teks-teks asli atau tujuan-tujuan teks.
Kubu ini muncul ketika kelompok Mu’tazilah begitu mengagungkan logika dalam menginterpretasi teks-teks Al Quran sehingga memunculkan paham-paham yang seakan-akan Tuhan memiliki kewajiban terhadap hambanya. Padahal menurut kubu ini tidak mungkin Tuhan memiliki kewajiban terhadap hambanya karena Dialah Maha Berkehendak dan Maha Perkasa atas segala sesuatu. Artinya Tuhan tidak mungkin terpaksa atau dipaksa melakukan sesuatu karena hambanya.
Pola pikir ini ternyata mampu menyelaraskan tujuan-tujuan teks-teks Al Quran yang mutasyabihatdengan cara pandang logika yang menempatkan Tuhan sebagai zat yang suci dari segala-galanya. Kubu ini diparakarasi oleh Abu Hassan Al Asy’ary yang kemudian dikenal sebagai pendiri mazhab Ahlussunnah waljamaah kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya dan generasi-generasi selanjutnya mulai dari Al Hakim, Al Baihaqi,  Al Baqilani, Al Juwaini, Imam Bukhari dan Imam Muslim, Al Ghazali, Ar Rozi, Al Amadi, Al Eji, Al Taftasani, Ibnu Aljauzi, Ibnu Asakir, Ibnu Hajar Alasqalani, Ali bin Abdul Salam, Assuyuti, Tag el Subki dan sejumlah ulama besar lainnya.
Paham dan konsep teologis yang dibangun oleh tokoh besar  tersebut mendapat tempat yang luas di kalangan umat Islam karena dinilai sebagai pandangan yang paling sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya. Sehingga ulama-ulama yang datang di kemudian hari baik di Timur Tengah maupun di Asia seperti Syech Hasyim Asy’ari di Indonesia mengikuti dan menjalankan paham itu.
Sementara kubu lain yang tidak sepaham dengan ulama-ulama di atas dalam masalah teologis juga mengklaim dirinya sebagai aswaja dan menganggap kubu di atas telah keluar dari paham aswaja dan melengceng dari konsep teologis yang telah dibangun oleh Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu kubu ini dalam melegalisasi pendapatnya menetapkan ulama-ulama tersendiri yang berbeda dengan ulama-ulama yang telah ditetapkan oleh kubu sebelumnya.
Mereka mengakui Abu Hassan Al’ As’asry sebagai salah satu imam aswaja, namun mereka menganggap bahwa murid-muridnya telah mempelintir pandangan-pandangan Abu Hassan Al Asary karena itu mereka tidak mengakui pandangan-pandangan teologis yang disampaikan oleh murid –murid Abu Hassan Al Asyari seperti Imam Ghazali dan lainnya. Mereka hanya terhenti pada Imam Ibnu Hanbal kemudian dilanjutkan oleh Syechul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Aljauziah dan selanjutnya perkuat oleh Syech Muhammad bin Abdul Wahab.
Jika memperhatikan konsep teologis yang dibangun oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah dan selanjutnya Syech Muhammad bin Abdul Wahab maka pandangan-pandangan teologisnya cenderung mirip dengan pandangan-pandangan sekte Islam yang muncul pada era Mu’tazilah yang enggan mentakwil teks-teksmutasyabihat sehingga menafsirkan teks-teks itu secara tektual. Akibatnya sekte-sekte itu masuk dalam kategorimujassimah dan musyabbihah atau mempersamakan Tuhan dengan makhluknya karena menganggap bahwa tuhan memiliki tempat dan berdimensi.
Meskipun ulama-ulama modern dalam kubu ini seperti Abdullah bin Baz mencoba melakukan penyesuaian dalam bidang teologis dengan yang telah dibangun oleh kubu pertama, namun cenderung belum memberikan sebuah penjelasan yang tidak dapat ditolak dan diinterpretasi.  Salah satu prinsip utama aswaja dalam masalah teologis adalah mensucikan Tuhan dari hal-hal yang dapat menggiring pemahaman kepada suatu pemikiran bahwa Tuhan memiliki dimensi dan tempat atau mengklaim sebuah pergerakan dan perubahan pada zat yang Maha Suci itu.  
Wallahu a’lam bisshawab

Sumber: https://islamkaffah.id/afkar/siapa-sebenarnya-pengikut-ahlussunnah-waljamaah

#muslimsejati

0 coment�rios:

Protes Pembela Agama Allah di Akhirat Fathoni,  NU Online  | Senin, 28 Januari 2019 15:00 Alkisah  di akhirat ada seseorang Mus...

Protes Pembela Agama Allah di Akhirat

Fathoni, NU Online | Senin, 28 Januari 2019 15:00
Alkisah di akhirat ada seseorang Muslim yang protes kepada malaikat karena dilarang masuk surga. Padahal ketika hidup di dunia, dia semangat sekali dalam nahi munkar, di antaranya melakukan sweepingdi arena perjudian, pelacuran, serta mengusir orang kafir, dan menolak pembangunan tempat ibadah umat agama lain.

Kontan komplain tersebut ditanggapi diplomatis oleh malaikat. Bahwa yang dilakukannya itu sebenarnya mengikuti nafsu setan.

“Bagaimana mungkin saya tidak masuk surga, padahal saya di dunia selalu membela agama Allah, men-sweeping perjudian, pelacuran, mengusir orang kafir, menghalangi pembangunan tempat ibadah yang bukan agama saya, meneror musuh-musuh Allah, dan jihad-jihad lainnya. Kan ada catatannya semua,” ujar panjang lebar orang tersebut.

“Justru itu semua yang membuat Anda ditolak masuk surga,” sergah malaikat.

“Loh, kok bisa?”

“Karena Anda sesungguhnya mengikuti setan,” tegas malaikat.

Orang itu tambah tidak paham. “Logikanya gimana, Kat?”

Malaikat berkata, “Kalau Allah mau semua itu tidak ada, kan mudah. Allah tidak usah ciptakan saja, kan beres. Jadi Anda sebetulnya mematuhi godaan setan untuk menentang kehendak-Nya dengan aksi-aksi yang Anda anggap hebat itu.”

Orang tersebut akhirnya sadar, sebelum diperintah untuk nahi mungkar (mencegah kemungkaran), terlebih dahulu harus melaksanakan amar ma’ruf(mengajak pada kebaikan). (Ahmad) 


*) Disarikan dari buku "Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita" (Muhammad AS Hikam, 2013)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/101949/protes-pembela-agama-allah-di-akhirat
#muslimsejati 

0 coment�rios:

Apasih THAGUT itu? Dan siapakah THAGUT itu? Akhir-akhir ini kita sering dihadapkan kepada fenomena radikalisasi agama, yaitu fenom...

Apasih THAGUT itu? Dan siapakah THAGUT itu?

Akhir-akhir ini kita sering dihadapkan kepada fenomena radikalisasi agama, yaitu fenomena yang mencoba menggunakan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi hanya untuk tujuan politik tertentu. Radikalisasi agama juga menimbulkan kengerian bagi yang menjadi korbannya. Termasuk persoalan yang sering diangkat untuk mendelegitimasi lawan politik ialah politisasi dan radikalisasi makna thaghut.
Bagi segelintir orang, negara yang tidak didasarkan kepada syariat Islam ialah negara thagut, negara yang segenap aparaturnya dianggap sebagai kafir-musyrik meski yang mengisi posisi-posisi jabatan tertentu pada struktur negara ini ialah orang-orang Islam. Mereka mengklaim bahwa seorang muslim yang bekerja di berbagai sektor negara yang tidak menganut sistem Islam ini dianggap telah keluar dari agama dan karenanya wajib diperangi dengan segala macam cara.
Argumen mereka didasarkan pada ayat al-Quran yang maknanya sering dipelintir dan disalahartikan. Hal demikian seperti yang tercantum dalam pesan di ayat berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang murtad ke belakang (kepada kekafiran) sesudah
petunjuk itu jelas bagi mereka, syaithon telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci terhadap apa yang diturunkan Allah : “Kami akan mentaati kamu dalam beberapa (sebagian) urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka”. (QS. Muhammad: 25-26)
Ayat ini bagi mereka berbicara tentang bagaimana Allah memvonis seorang hambanya sebagai murtad hanya karena ucapannya kepada orang-orang kafir: “Kami akan menaati kamu dalam beberapa urusan”. Implikasi dari pemahaman seperti ini ialah seorang muslim yang bekerja untuk pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam dianggap sebagai murtad alias keluar dari Islam. Kenapa demikian? Karena ia telah bekerja untuk negara thagut.
Pemahaman seperti ini jelas amat simplistik namun sangat berbahaya jika diadopsi. Pasalnya, jika hal demikian dianut menjadi keyakinan seseorang, maka ia akan selalu melihat dunia sekelilingnya sebagai dunia kekafiran dan kemurtadan. Dalam benaknya, esensi Islam hanya pada perang, perang dan perang melawan thagut dan pengikut-pengikutnya yang kafir.
Melalui kacamata ini, dan dengan mencontoh heroisme para sahabat Nabi dalam memerangi kaum kafir-musyrik dan kaum murtad, dalam konteks Indoensia, seseorang yang menganut paham demikian akan selalu terdorong untuk memerangi pemerintah yang menganut ideologi Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Bagi mereka, paham apapun yang tidak didasarkan kepada wahyu Allah dan ber-tahakum dengan selain hukum Allah akan dianggap sebagai anshar thagut. Sebuah pemikiran yang amat sederhana dan lugu namun berbahaya bagi stabilitas keamanan umat jika hal demikian dipegang teguh.
Sebenarnya thagut sendiri dalam al-Quran  memiliki berbagai macam makna. Masing-masing maknanya tidaklah mutlak merujuk kepada konsep tertentu. Karena itu perlu kiranya kita merujuk sejenak beberapa pandangan mengenai makna thagut ini. Kata thagut sendiri sebenarnya berasal dari thagayang artinya melakukan puncak kekufuran (man thaga fi al-kufr) dan melampui batas dalam kekufuran (jawaza al-hadd).
Thagut menurut Ibn al-Manzhur dalam Lisan al-Arabbisa merujuk kepada dukun-dukun, berhala-berhala dari jenis jin dan manusia, syetan-syetan dan para dedengkot kesesatan. Sementara itu, at-Tabari dalam Jami al-Bayan menafsirkan thagut tidak hanya sekedar yang disebutkan oleh Ibnu al-Manzhur, namun juga menambahkannya dengan menyebut pribadi yang dinamai thagut dalam al-Quran, yakni Ka’ab al-Asyraf dan Huyay bin al-Ahthab.
Dalam I’lam al-Muwaqi’in, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah  menjelaskan bahwa segala sesuatu yang disembah, diikuti atau ditaati oleh seorang hamba dengan cara yang melampaui batas (secara ekstrim) disebut sebagai thagut.  Muhammad bin Abdul Wahab menjelaskan bahwa thagut meliputi Iblis, individu yang ingin disembah dan ingin dikultuskan, serta individu yang bersandar kepada hukum selain yang ditetapkan Allah. Rasyid Ridha, dalam tafsir al-Mannar, menafsirkan kata thagut dalam al-Quran sebagai ‘kekuatan atau dorongan jahat yang menguasai pikiran dan hati manusia’.
Hal senada juga dinyatakan oleh Muhammad Asad dalam The Message of The Quran. Kata Thagut diterjemahkannya sebagai powers of evil ‘kekuatan-kekuatan jahat’. Namun dalam tafsirnya terhadap masing-masing ayat yang didalamnya thagut disebutkan, Asad memiliki beberapa tafsir yang berbeda namun muaranya sama, yakni ‘kekuatan jahat yang menguasai hati dan pikiran manusia’. Artinya dalam hal ini, Asad menafsirkan segala dorongan-dorongan negatif dalam diri manusia yang menjerumuskannya ke dalam kehancuran spiritual disebut sebagai thagut. Melalui keterangan ini thagut tidak ada bedanya dengan hawa nafsu yang sama-sama memiliki arti dorongan negatif.
Dari beberapa pengertian ini, yang dikemukakan Muhammad bin Abd al-Wahab lah yang menarik untuk kita tinjau lebih jauh. Pasalnya, salah satu makna thagut yang dikemukakannya, yakni ‘individu yang bersandar kepada hukum selain yang ditetapkan Allah’ sering dipolitisasi oleh kelompok teroris untuk mendorong umat agar bersikap anti-Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Bagi mereka, Pancasila, UUD 45 dan NKRI adalah hukum buatan manusia. Sedangkan syariat Islam ialah wahyu dari Allah dan oleh karenanya Pancasila harus diganti dan bila perlu dihancurkan.
Paham ini jelas sangat kaku dan terkesan ekstrim dalam melihat persoalan. Kalau mereka lebih jeli memperhatikan Pancasila dan mengesampingkan pemahaman yang radikal, akan terlihat bahwa di dalam Pancasila terdapat kulliyat asasiyah – meminjam terma ar-Raisuni – yang dengannya syariat Islam dan hukum-hukum parsialnya bersandar. Dalam Pancasila, kita akan menemukan kulliyat asasiyah berupa iman kepada Allah yang Maha Esa, menjunjung tinggi kemanusiaan, menjalin persatuan, menegakkan keadilan dan perwakilan dalam kepemimpinan. Selain itu, isi UUD 45 mengandung semangat pembebasan dari segala bentuk penjajahan dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Semua itu ialah kulliyat asasiyah yang sangat islami yang digariskan al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya, terutama, kata Raisuni, ayat-ayat Makkiyah.
Selain itu, negara Pancasila dalam pandangan ulama Indonesia, merupakan negara perjanjian dan persaksian karena negara ini didirikan atas kesepakatan dan perjanjian damai bersama dari berbagai elemen-elemen bangsa dan karena itu, semua elemen bangsa yang dihidup dalam negara ini terikat perjanjian damai. Dalam perspektif hadis nabi, semua orang yang melanggar dan merusak perjanjian tidak akan mendapatkan baunya surge. Hal demikian seperti yang dapat dilihat dalam hadis berikut:
“Barang Siapa Menyakiti Kafir Dzimmi, Maka Aku (Rasulullah) Akan Menjadi Lawannya di Hari Kiamat”
“Barang Siapa Membunuh Seorang Kafir Dzimmi (dalam riwayat lain, mu’ahad), maka dia tidak akan mencium bau surga.”
Hadis ini menjadi bukti bahwa usaha teroris untuk membom, membunuh atau menteror warga sipil dalam negara ini akan terkena ancaman hadis nabi di atas. Dengan demikian, segala bentuk usaha yang mengatasnamakan agama untuk merongrong Pancasila, UUD 45 dan NKRI jelas tidak islami dan bisa dianggap sebagai kekuatan jahat. Dengan kata-kata lain, merekalah yang justru thagut…..????
Source : islami.co
#muslimsejati #zonamuslim #indonesia #nusantara #khilafah #bhinekatunggalika #intoleran #Islam #merahputih #islampedia# bangsa 

0 coment�rios:

Melindungi Anak dari Bibit Radikalisme Seiring dengan perkembangan jaman, radikalisme tidak lagi menyasar kelompok dewasa. Namun ...

Melindungi Anak dari Bibit Radikalisme


Seiring dengan perkembangan jaman, radikalisme tidak lagi menyasar kelompok dewasa. Namun radikalisme juga menyasar kalangan anak-anak. Dari pelaku kasus terorisme yang ditangkap telah menunjukkan bahwa usia mereka sudah semakin muda. Bahkan, dari 9 pelaku yang ditangkap di Poso beberapa saat lalu, dua diantaranya masih dibawah umur.
Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah peningkatan pelanggaran terhadap anak pada 2016 lalu mencapai 4.482 kasus. Dari jumlah tersebut, radikalisme menjadi salah satunya. Kemudian anak yang terpapar radikalisme juga meningkat 42 persen, dari 180 kasus menjadi 256 kasus.

Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari propaganda kelompok radikal melalui media massa. Berbagai aksi kekerasan yang diunggah di media sosial, tidak jarang melibatkan anak-anak. Bahkan, di Suriah, sempat beredar ana-anak yang diduga berasal dari Indonesia, sedang dilatih perang oleh militan ISIS. Fakta ini tentu sangat mengejutkan. Disisi lain, kelompok radikal juga telah menyasar lembaga pendidikan untuk menyebarluaskan radikalisme. Di Depok, Jawa Barat, sempat ditemukan buku bacaan untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) yang berisi tentang jihad dengan cara bom bunuh diri.

Disisi lain, bibit radikalisme secara tidak langsung juga telah dipertontonkan oleh televisi melalui sinetron setiap hari. Salah satunya adalah ujaran kebencian. Ujaran kebencian ini kemudian berkembang melalui sekolah dan keseharian. Dampaknya apa? Mereka mulai tidak senang berteman dengan pemimpin yang berbeda agama. Mereka juga ikut terpapar paham radikalisme di media sosial. Bahkan, kasus dugaan penodaan agama yang muncul dalam pilkada DKI Jakarta, juga membekas dalam benaknya.

Mari kita jaga anak-anak kita, dari propaganda radikalisme. Jangan dianggap remeh ujaran kebencian yang saat ini terus berkembang. Jika orang tua membiarkan, anak memang tidak lantas menjadi radikal. Namun, mereka mempunyai bibit radikal dan bisa berkembang menjadi tindakan radikal, bahkan ketika remaja bisa berpotensi menjadi teroris.

Kepala BNPT Jenderal Komjen Suhardi Alius dalam sebuah media online mengatakan, pemahaman radikal bisa diterima mulai dari kelas 5 SD keatas. Di usia yang relative muda tersebut, mereka bisa membuat sesuatu yang membahayakan. Bahkan, ketika usia SMA, anak yang sudah terpapar radikalisme sudah bisa membuat senjata rakitan karena pendidikannya terus berkembang.

Tentu kita tidak ingin generasi penerus bangsa, menjadi generasi radikal yang bisa berpotensi menjadi teroris. Jika kita tidak ingin hal itu terjadi, mari mulai saat ini terus aktif memberikan perlindungan kepada anak-anak kita. Berikanlah perhatian yang cukup, agar anak bisa mendapatkan kasih sayang. Tanamkan nilai-nilai agama yang tepat, agar anak bisa mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi Muhamammad SAW. Dan jangan lupa untuk mengajarkan nilai-nilai luhur budaya Indonesia, agar anak kita bisa menjadi generasi yang toleran, mau menghargai perbedaan dalam keberagaman.

#muslimsejati

0 coment�rios:

MANFAAT PENTINGNYA TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA Manfaat dari toleransi antar umat beragama . Manusia memang diciptakan se...



Manfaat dari toleransi antar umat beragama. Manusia memang diciptakan sebagai makluk individu yang juga merupakan sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial, manusia juga diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan.

Dalam menjalin kehidupan sosial bermasyarakat, seorang individu juga akan dihadapkan dengan suatu kelompok – kelompok yang berbeda dengan dirinya. Salah satu perbedaan itu adalah kepercayaan / agama dan juga suku.
Dalam menjalin kehidupan sosial, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam dinamika kehidupan akan ada suatu gesekan  yang terjadi antar kelompok masyarakat. Baik yang berkaitan dengan agama atau juga suku. Dalam rangka menjalin persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, maka akan diperlukan sikap saling menghormati dan juga melindungi sehinga tidak terjadi gesekan – gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dan juga peperangan.
toleransi antar umat beragama
Hal ini juga tertera dalam Undang – Undang Dasar 1945 yang berisi bahwa negara juga menjamin kemerdekaan tiap -tiap warganya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing – masing. Hal ini juga menegaskan bahwa kita sebagai warga negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara lingkungan kita sehingga keutuhan dan kerukunan negara dan juga menjunjung tinggi sikap toleransi antara suku dan umat beragama.
Perwujudan toleransi dalam kehidupan sehari – hari contohnya seperti kita memahami setiap perbedaan, sikap saling tolong menolong antara umat beragama dan juga tidak membeda bedakan suku, ras, agama serta budaya yang melekat dalam diri orang tersebut.
Jika dilihat dari segi manfaat, toleransi beragama memang banyak sekali jika kita senantiasa menerapkannya. Akan tetapi dalam melakukannya kita harus dengan sewajarnya dan tidak bisa berlebihan karena hal itu akan menyinggung perasaan orang lain dan justru berdampak merugikan terhadap diri kita sendiri nantinya.

ADAPUN BEBERAPA MANFAAT DARI TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA, SEPERTI :

DAPAT TERHINDAR DARI ADANYA PERPECAHAN ANTAR UMAT BERAGAMA

setiap manusia sudah sepatutnya untu menanaman toleransi didalam dirinya serta menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari bersosial masyarakat terutama di daerah yang didalamnya terdapat banyak sekali kepercayaan agama serta berbagai macam suku dan budaya.
Sebagai contoh adalah sikap toleransi antar umat beragama yang bisa dillihat dari negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki lebih dari satu agama dan juga banyak sekali suku dan budaya yang terdapat didalamnya.

DAPAT MEMPERERAT TALI SILATURAHMI

Manfaat toleransi antar umat beragama berikutnya adalah terjadinya tali silaturahmi. Pada umumnya memang adanya suatu perbedaan selalu menjadi alasan terjadinya pertentangan antara golongan dari satu ke golongan yang lainnya.
Hal ini lah yang akan menghindarkan kita dari perpecahan dan peperangan antar kelompok, golongan dan suku.

PEMBANGUNAN NEGARA AKAN LEBIH TERJAMIN DALAM PELAKSANAANYA

Faktor keamanan, ketertiban dan juga kesatuan sebuah negara merupakan salah satu kunci sukses untuk menuju keberhasilan program pembangunan yang direncanakan pemerintahan negara tersebut. Terjadinya kerusuhan dan pertikaian dan segala bentuk bencana baik alam maupun bencana akibat ulah manusia menjadi satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Kejadian tersebut secara langsung atau tidak  akan berpengaruh dalam jalannya program pembangunan negara.

MEMPERTEBAL KEIMANAN

Setiap Agama tentu saja mengajarkan kebaikan kepada umatnya. Tidak ada agama di muka bumi ini yang mengajarkan umatnya untuk hidup bermusuhan dengan sesama manusia. Dengan menjaga kerukunan antara sesama manusia. Kita akan hidup damai dan sejahtera dan hidup berdampingan.
Demikian sedikit pengetahuan tentang manfaat dari Toleransi antar umat beragama maupun antar suku serta budaya. Semoga kita bisa menerapkan serta meneladani dan juga bersama sama hidup berdampingan memelihara kerukunan diantara semua perbedaan di lingkungan kita.
#Muslimsejati

0 coment�rios:

Merawat Harmonisasi Agama dan Negara Fathoni,  NU Online   Oleh M. Yusuf Amin Beberapa peristiwa nasional dua tahun terakhir, ...

Merawat Harmonisasi Agama dan Negara

Oleh M. Yusuf Amin

Beberapa peristiwa nasional dua tahun terakhir, seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), aksi 212, dan pemilu presiden dan wakil presiden 2019 menjadikan tema ‘agama dan negara’ menarik untuk disimak.

Perdebatan tentang relasi agama dan negara telah begitu lama berlangsung, sama lamanya dengan usia bangsa ini. Ijtihad dan tirakat para founding fathers kita pada akhirnya berhasil merumuskan hubungan yang tepat antara agama dan negara dalam bingkai NKRI pada asas simbiosis-mutualistik dengan Pancasila sebagai dasarnya.

Seturut Nurcholis Madjid (1994: 1) agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dibedakan. Dan pancasila telah berhasil mendamaikan—untuk tidak menyebut menyatukan—keduanya dalam hubungan yang harmonis-sinergis. Hasilnya, heteregonitas budaya, suku, dan agama dapat rukun terjaga.

Meski begitu, tidak sedikit kelompok yang mengancam dan ingin myenggoyang ketentraman di Indonesia. Ada yang secara terang-terangan ingin mengganti dasar negara dengan sistem khilafah, seperti HTI; ada juga yang bersembunyi di balik label ‘NKRI bersyariah, sebagaimana yang cuatkan Habib Rizieq pada aksi 212 yang pertama, 2016 silam.

Pada aksi 212 tahun 2017 sebutan NKRI bersyariah kembali digaungkan Rizieq dari tempat pelariannya. Meski disampaikan melalui video jarak jauh di tengah aksi 212 berlangsung, ‘jualan’ Habib Rizieq berlabel NKRI bersyariah cukup mengusik publik.

Tidak heran jika Denny J.A merespon pernyataan Rizieq tersebut melalui artikelnya berjudul NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Manusiawi? Dengan membeberkan sejumlah data ilmiah, Denny J.A mengajak kita untuk berpikir dan merenungi keadaan Indonesia yang memiliki indeks internasional negara islami terpuruk, untuk selanjutnya menguatkan pijakan dan bersama-sama bergerak memperbaikinya.

Apa yang dimaksud NKRI bersyariah masih terlalu buram untuk dipahami. Alih-alih kita mendapatkan penjelasan yang gamblang, Rizieq hanya menyampaikan penjelasan yang sangat singkat, yang intinya adalah tuntutan untuk kembali ke Pancasila sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta.

Kita menjadi mafhum ke mana arah NKRI bersyariah yang diinginkan Rizieq. Kita tahu, hanya terdapat satu perbedaan antara isi Piagam Jakarta dengan Pancasila sekarang, yakni pada sila pertamanya. Piagam Jakarta memuat sila pertama Pancasila yang berbunyi: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Ajakan—yang kemudian menjadi gerakan—kembali ke Piagam Jakarta sebenarnya adalah ekspresi dari kelompok Islam konservatif yang telah berulang didengungkan dan diperjuangkan. Sebagian bahkan mengekpresikannya dalam pemberontakan bersenjata, sebagaimana DI/TII/NII.

Jadi, sangat mungkin dibalik label NKRI bersyariah sebenarnya tersimpan agenda besar yang bertentangan dengan konstitusi. Barangkali dengan menggunakan kemasan NKRI bersyariah—dan bukan khilafah—terkesan lebih aman dan bisa diterima oleh masyarakat awam.

Politisasi agama (Islam), dengan menggunakan idiom dan simbol agama untuk kepentingan politik memang terbukti ampuh menarik simpatik. Dan sebagaimana Gus Dur pernah menyinggung, siapa yang mencoba memusuhi atau menentang gerakan semacam itu maka akan dituduh melawan Islam.

Meskipun demikian, kita tak bisa membiarkan politisasi agama terus berlangsung dan mengancam sendi-sendi kerukunan dan keutuhan bangsa. Upaya penyadaran tentang motif-motif politik tersebut mesti intens dilakukan, salah satunya dengan memberikan pandangan yang komprehensip tentang masalah-masalah yang dipolitisasi, dalam hal ini relasi antara negara dan agama.

Harmonisasi Agama dan Negara

Dalam khazanah Islam, kita paham, Al-Qur’an dan hadis yang menjadi rujukan utamanya, sangat terbatas berbicara tentang negara. Konsekuensi dari hal tersebut jelas, yakni lahirnya fleksibilitas pemahaman.

Setidaknya ada tiga konsep negara mainstream yang kita kenal dalam tradisi Islam. Pertama, konsep negara islamiyyah ‘ammah/kekhalifahan mondial yang didukung organisasi seperti Ikhwanul Muslimin, Wahabi-Salafi, Syiah dan Ahmadiyah. Kedua, konsep negara sekular sebagaimana digagas Ashar Ali Engineer dan Ali Abdu Raziq. Dan ketiga, konsep negara Islami yang pernah dicetuskan oleh Abdullah Na’im Ahmed dan M. Syahrur.

Konsep negara yang disebut terakhir dan perbandingannya dengan dua konsep negara yang lain telah banyak dikupas dalam disertasi Mukhotob Hamzah, Rektor Universitas Sains al-Qur’an Wonosobo, yang dibukukan dengan judul Agama dan Negara: Diskursus dan Praktik Politik Islam (2018).

Mengutip pendapat An-Na’im, negara Islami adalah negara yang memberikan solusi hubungan syariat dengan negera melalui public reason (parlemen). Berbeda dengan Arab Saudi yang menerapkan konsep negara Islam, dalam negara Islami syariat diperjuangkan melalui proses legislasi dan sistem penegakannya, dan bukan diterapkan secara paksa.

Apa yang digambarkan An-Na’im tersebut, setidaknya dapat kita temukan signifikansinya di Indonesia. Seturut Mukhotob Hamzah (2018: 197), Indonesia dengan konsep negara demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di negara mayoritas muslim terbesar ternyata menjadi acuan banyak negara yang menginginkan hidup tenang dengan mayoritas muslim di dalamnya. Indonesia telah berhasil mendekatkan Islam dengan demokrasi yang darinya melahirkan legislasi syariah yang banyak menguntungkan kaum muslim, tanpa mencederai agama lain.

Di Indonesia, Islam telah menjadi sumber keadilan, egalitarianisme, dan inklusivisme. Substansi syariat Islam telah terserap dalam tata aturan dan perundang-undangan. Bahkan telah terbit pula berbagai produk legislasi syariah, seperti aturan penyelenggaraan ibadah haji, Undang-undang zakat, UU Perkawinan, perbankan syariah, makanan halal dan lain sebagainya. Semua itu adalah buah dari demokrasi religius yang diterapkan di Indonesia, atau wujud negara Islami dalam perspektif An-Na’im.

Dengan konsep negara Islami, relasi agama dan negara dapat berjalan harmonis tanpa merampas hak dan menyudutkan umat non-muslim. Pancasila mengandung spirit negara Islami itu. Ia ibaratkalimah sawa, meminjam istilah Nurcholis Madjid, titik pertemuan agama-agama untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik bersama.
  
Bukankah agama dan negara memiliki tujuan yang sama, yakni melindungi hak dasar manusia dan mewujudkan kesejahteraan tanpa memandang perbedaan? Dan yang terpenting dari sebuah negara bukanlah kemasannya, semisal Negara Islam atau NKRI bersyariah, melainkan internalisasi nilai-nilai keagamaan di dalamnya. Jadi, yang perlu dilakukan adalah terus merawat Pancasila yang mengandung spirit negara Islami, modal bagi lahirnya kebijakan-kebijakan yang adil dan manusiawi. 


Penulis adalah dosen di Universitas Sains al-Qur’an Wonosobo

#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/101757/merawat-harmonisasi-agama-dan-negara

0 coment�rios:

Membantah argumentasi Kaum Ekstrem 1. Ayat:  ان الحكم الا الله tidak bisa bisa digunakan untuk mengkafirkan negara / pemerintah yang tidak m...

Membantah argumentasi Kaum
Ekstrem

1. Ayat:  ان الحكم الا الله tidak bisa bisa digunakan untuk mengkafirkan negara / pemerintah yang tidak menggunakan hukum syariah. Ayat ini terlalu umum. Dan ayat umum biasanya di takhsis (dibatasi ruang lingkupnya) dengan ayat lain yang bisa mengarah pada mashlahah atau menuntun pada maqoshidus syariah (tujuan2 syariah).

2. Menurut penafsiran para ulama ahli tafsir bahwa yang masuk dalam katagori ayat ini adalah sesorang yang mengingkari ayat ini datang dari Allah, lalu dia menolak atau tidak menerapkan hukum islam padahal dia mampu melaksanakan serta menolak keberadan ayat secara lisan, maka dia dianggap kufur.

Tapi jika dia tidak mengingkari kebenaran ayat tsb dan tidak menerapkan hukum islam karena ada sesuatu alasan yang menghalanginya atau karena keadaan yang membuatnya tidak bisa melaksanakan hukum islam maka dia tidak.dianggap kafir. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya Ibnu Jarir dan Imam Ghazali.

4. Dalam konteks Indonesia, NKRI yg berlandaskan Pancasila dan UUD 45 tidak bisa dianggap sebagai negara kafir dengan alasan sbb:

4.1.  Penerintah Indonesia tidak menolak kebenaran ayat ان الحكم الا الله (tiada hukum kecuali hukum Allah). Hukum islam sebagian sdh diterapkan di Indonesia seperti hukum pernikahan, hukum zakat,hukum perbangkan syariah, hukum waris, pemerintah juga mengatur manajemen haji dan umroh dll semua itu menunjukkan bahwa pemerintah telah melaksanakan hukum islam, hanya tinggal hukum jinayat dan hudud yang belum dilaksanakan. Pemerintah tidak melaksanakan hudud dikarenakan banyak persoalan yang justru kalau hukum hudud dilaksanakan justru menimbulkan syubhat (malapraktek). Kenapa malaprakrek ? karena sebelum hudud dilaksanakan maka semua faktor di dalamnya harus sesuai dengan nilai keadilan. Saat ini penerataan ekonomi di Indonesia masih timpang ketimpangan ini masuk sebagai faktor yg menghalangi penerapan syariah.  

5. Hal itu sesuai dengan kaedah ushul fiqih تسقط الحدود بالشبهة (pelaksanaan hudud batal karena adanya  "syubhat". Sebagaimana Khalifah Umar tidak memberlakukan hukum potong tangan pada saat krisis ekonomi (A'mul maja'ah/situasai paceklik).

6.Indonesia bukan kafir karena menggunakan Ideologi Pancasila (المبادئ الخمسة). justru dengan ideologi Pancasila maka Indonesia tidak boleh dihukumi sebagai negara karena semua sila dalam Pancasila merupakan diambil dan disarikan dari alqur'an.

Sila 1 berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa

Sila ini termaktub dalam Al-Quran ayat pertama Surat Al-Ikhlas

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Artinya: Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa ".

Sila Ketuhanan yang Maha Esa mencerminkan tauhid, karena itu negara Indinesia bukan negara kafir karena dasar negaranya disandarkan pada tauhid uluhiyah dan rububiyah.

Sila 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila ini termaktub dalam Surat QS al-Mâidah ayat 8

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sila 3. Persatuan Indonesia
Sila ini termaktub dalam Surat Ali Imran ayat 103


وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya:
"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk".

Sila 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan

Sila ini termaktub dalam Surat an-Nisa ayat 59 dan Surat Asy-Syura ayat 38

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Surat Asy-Syura ayat 38

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Artinya:
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka".

Sila 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila ini termaktub dalam Surat An-Nahl ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".

7. Sisetem demokrasi bukan thoghut karena dmokrasi memiliki tujuan yang baik yaitu membatasi kekuasaan seorang pemimpin agar dia tidak.menjadi tirani atau sewenang. Prinsip demkrasi tdk melanggar syariah.

8. Demokrasi merupakan alternatif terbaik menurut Yusuf al-Qaradhawi untuk melawan diktatorisme dan pemerintahan yang bersifat tirani. Beliau berpendapat bahwa demokrasi adalah sisi liberalisme yang baik karena tercermin dalam perwakilan kehidupan yang memerankan kekuasaan legislatif dalam satu atau dua majelis. Pemilihan umum yang ditempuh dalam demokrasi sangat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam memilih wakil rakyat.

9. Kekuasaan yang terpilih ini membuat Yusuf al-Qardhawi berpikir bahwa demokrasi dapat diwujudkan karena rakyat sendiri yang mengawasi kekuasaannya. Pemerintah dapat dikritik dan dinilai sehingga tidak akan berlaku sewenang-wenang. Dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan yang layak dipertahankan. Dari demokrasi ini pula dapat dibentuk undang-undang yang diterima masyarakat luas serta menuntut kepatuhan dari semua wakil rakyat di pemerintahan.

10. Semangat beragama yang tinggi tapi tidak dilandasi pengetahuan yang naik justru akan membuat seseorang tergelincir pada pemahaman yang sesat.

11. Janganlah semangatmu (dalam beramal
saleh) justru menjerumuskanmu dalam ber-
buat kerusakan (terhadap orang lain), se-
sungguhnya Allah tidak menyukai para
pembuat kerusakan.

12. Rasullullah Saw membawa misi penting
untuk memperbaiki akhlak umat manusia.
Beliau menjadi teladan pengamalan agama
yang sesuai dengan kehendak Allah Swt.
13. Ketika terjadi penyimpangan atau kekeliruan
dalam perilaku sahabat, maka beliau segera meluruskannya. Begitu pula hal yang terkait
dengan sikap ekstrem dalam beragama. Ba-
nyak Hadis Nabi Muhammad Saw yang
melarang kita bersikap ghuluw atau ekstrem
dalam beragama, di antaranya;

a. Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas’ud bahwasannya Nabi Muhammad
Saw bersabda: “Binasalah orang-orang
yang mutanattun Binasalah orang-orang
yang mutanattituun. Binasalah orang-orang
yang mutanattun” (HRMuslim).14

Imam Nawawi dalam syarah Sahih Muslim
berkata,“Al-Mutaanitun adalah orang-orang
yang keras, mempersulit ketika membahas
suatu permasalahan, sehingga penafsiran dan
pendapatnya melampaui batas”.

b. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah Saw
bersabda:
Agama itu mudah, Tidak ada orang yang
memberat-beratkan (masalah) agama, melainkan ia akan dikalahkan. Maka (dalam
beramal) hendaklah pertengahan, dekatkan
(kepada Allah), bergembiralah kalian. Mohonlah pertolongan (pada Allah Swt) di
waktu pagi, sore dan sedikit waktu malam.
(HR. Bukhari).15

c. Bersabda Nabi SAW:
Janganlah kalian memberat beratkan suatu
permasalahan agama, karena suatu kaum
telah memperberat diri mereka sendiri
sehingga Allah pun memperberat atas
mereka (HR Abu Dawud).16

d. Nabi Muhammad Saw pun senantiasa
menasihati para sahabatnya saat berangkat
untuk menyiarkan Islam dengan sabdanya:
Permudahlah oleh kalian semua dan jangan
dipersulit, gembirakanlah mereka dan
jangan disusahkan bersepakatlah dengan
mereka dan jangan berselisih.” (HR
Bukhari).17

e. Nabi Saw bersabda:
Orang yang terbaik di antara kalian bukan-
lah orang yang meninggalkan akhiratnya
demi dunianya, juga bukan pula orang yang
meninggalkan urusan dunianya demi
akhiratnya.” (HR. al-Dailami dan lbnu
Asakir).18

13. Masih banyak Hadis Nabi yang mencela
sikap berlebihan dalam beragama. Nash-nash
yang dipaparkan di atas telah
cukup menggambarkan betapa Islam tidak
menghendaki kita mempersempit dan menyu-
sahkan urusan agama. Agama Islam diturun-
kan Allah dengan kemudahan.

14. Imam Ibnu
Jarir Al-Tabari dalam tafsirnya, Jami’ al-
Bayan fi Ta’wil al-Qur’an berkata:
Aku berpendapat bahwasannya Allah
mensifati umat ini dengan wasath (tengah) karena
posisi pertengahan mereka dalam ber-
agama, mereka bukanlah para ekstremis,
sebagaimana ekstremnya kalangan Nasrani
dalam peribadatan dan perkataan mereka
tentang Isa, dan mereka bukanlah para
ekstremis sebagaimana ekstremnya kala-
ngan Yahudi yang telah merubah-ubah
kitab Allah, membunuh para Nabi, berdusta
pada tuhannya, serta kufur kepada-Nya.
Akan tetapi mereka adalah orang-orang
pertengahan yang dapat bersikap adil dan
proporsional dalam hal tersebut.

#muslimsejati

0 coment�rios: