Home Top Ad

Responsive Ads Here

Dikibuli Khilafah Namanya Mariam Abdullah. Wanita asal Bandung Jawa Barat ini memiliki empat orang anak, satu remaja putri yang masih...

Namanya Mariam Abdullah. Wanita asal Bandung Jawa Barat ini memiliki empat orang anak, satu remaja putri yang masih polos bernama Nabila, dan tiga anak lainnya masih kecil-kecil.

Saat saya menulis ini, dia tengah berada di Kamp Al Hol, Provinsi Al Hasakeh, Suriah. Dia berada di sana, setelah keluar dari pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, setelah berhasil dipojokkan pasukan Suriah dan milisi Kurdi.

Suaminya bernama Saifuddin, yang saat ini entah dimana, tidak diketahui keberadaannya. Masih hidup atau mati.

Di pengungsian yang berjarak 60-70 jam jalan kaki dari Baghouz itu, mereka bersama ribuan keluarga ISIS lainnya, berasal dari berbagai negara.

Di kamp yang hanya menampung 10 ribu orang itu, terdapat 60-70 ribu orang pengungsi. Di pengungsian yang melebihi kapasitas itu, sanitasi dan cuaca musim dingin pun menjadi ancaman. Penyakit hipotermia dan penyakit menular lainnya kini tengah menghantui.

Entah sejak kapan Mariam dan anak-anaknya, diajak sang kepala keluarga, Saifuddin berangkat ke Suriah, bergabung dengan ISIS. Entah apa janji ISIS kepada mereka, sehingga satu keluarga rela meninggalkan NKRI demi bergabung dengan ISIS.

JANJI MANIS KHILAFAH

Sejak mendeklarasikan diri, ISIS gencar menipu orang-orang yang sangat mencintai Islam tapi minim pengetahuan agama di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Medio 2015, puluhan keluarga Indonesia berhasil dirayu untuk pindah menjadi warga negara ISIS.

Nurshadrina Khaira Dhania adalah salah satunya. Kecintaannya kepada agama berhasil ditipu, dimanipulasi ISIS. Saat berusia 16 tahun, dia mengenal ISIS dari pamannya, Imam Santoso. Dia pun mulai mengagumi ISIS dengan membaca berbagai propaganda manis tentang negara Islam dengan kepemimpinan Khilafah. Baginya saat itu, ISIS seperti wilayah yang mempraktekkan ajaran agama Islam yang sesungguhnya seperti di zaman Rasulullah SAW.


Dijanjikan hutang keluarga dilunasi, diberi uang tiap bulan, diberikan rumah gratis, pengobatan, sekolah dll gratis, dia pun berhasil meyakinkan keluarganya untuk berangkat ke Suriah melalui Turki.

Setibanya di sana, apa yang dijumpainya sangat lah berbeda dari janji-janji manis ISIS. Tidak ada praktek seperti di zaman Rasulullah SAW. Yang ditemui hanyalah asrama yang kotor, perkelahian, dan hal buruk lainnya. Dia pun dua kali terancam akan dinikahi militan ISIS, beruntung dia berhasil menolak. Hingga akhirnya, dia berhasil kabur dan kembali ke Indonesia di tahun 2017.

Cerita di atas adalah fakta bahwa banyak sekali janji-janji manis perubahan kehidupan dengan mengatasnamakan agama, padahal semuanya adalah palsu. Demi kepentingan nafsu serakah meraih kekuasaan, sentimen agama digunakan untuk menarik simpati dan dukungan.

Tapi, semua itu berujung pada penyesalan yang tiada akhir.

NKRI saat ini memang belum mencapai yang dicita-citakan pendiri bangsa ini. Semuanya, masih dalam tahap proses, penuh tantangan, dan perjuangan.

Tidak ada kata mudah dalam mencapai keadilan dan kemakmuran, jika ada yang bilang itu bisa dicapai dalam lima tahun, sudah pasti itu hanya propaganda dan janji kampanye yang tidak ada akan dia wujudkan setelah berkuasa. Apalagi jika tidak ada pengalaman kerja membangun bangsa ini dengan di masa lalunya atau bahasa kerennya tidak punya track record.

32 tahun dipimpin rezim diktator Orde Baru membuat Indonesia saat ini banyak tertinggal. Di tengah saat ini Indonesia mengejar revolusi 4.0, negara lain justru tengah mewujudkan 5.0.

Kita disibukkan dengan isu agama yang tidak berkesudahan. Negara lain sibuk dengan teknologi ke bulan, motor terbang, artificial intelegence, sementara kita masih sibuk meng-Kafir-kan orang lain dari bulan ke bulan.
#muslimsejati
Sumber :https://www.harakatuna.com/dikibuli-khilafah.html

0 coment�rios:

Pancasila Sebagai Pelindung Ideologi Radikalisme by   M. Nur Faizi 3 minggu ago 3 minggu ago 99  shares ...

Pancasila Sebagai Pelindung Ideologi Radikalisme


99 shares
Pancasila diakui negara sebagai falsafah hidup, cita-cita moral, dan ideologi bagi kehidupan berbangsa. Pancasila diyakini mampu menyaring berbagai pengaruh ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi logis dari sebuah masyarakat dan bangsa yang majemuk (bhineka).
Dalam menghadapi ancaman terorisme di Indonesia, penanggulangan yang dipilih harus senantiasa berlandaskan Pancasila, seta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip utama kebijakan, strategi, dan upaya-upaya yang dijalankan. Selain itu, nilai-nilai keberagaman bangsa Indonesia dapat digali dari Pancasila karena di dalamnya mengandung filosofi berbangsa dan bernegara.
Filosofi tersebut tentunya masih memerlukan pemaknaan lebih lanjut agar dapat memperoleh nilai (value), sebagi rujukan konsep keberagaman bangsa. Karakteristik keberagaman bangsa memiliki arti yang luas, di mana di dalamnya turut mengantisipasi bahaya akan gerakan-gerakan radikalisme.
Bangsa Indonesia tidak menafikan kehadiran budaya luar maupun ideologi luar, tapi melalui Pancasila negara dapat memilah pengaruh mana yang dapat diterima atau tidak. Negara juga mampu menyesuaikan pengaruh luar tersebut dengan konteks budaya Indonesia ataupun menolak karena tidak sesuai dengan falsafah, cita-cita, moral, dan ideologi nasional.
Penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak memerlukan landasan idiil yang komprehensif. Pancasila diyakini sebagai salah satu pendekatan lunak yang selaras dengan perwujudan program deradikalisasi.  Selain itu, pancasila turut berfungsi sebagai falsafah hidup berbangsa serta ideologi nasional, yang konsep dan visinya dapat dijabarkan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Terdapat lima sila yang secara komprehensif menjabarkan arti kehidupan bernegara yang dapat dijadikan landasan melawan ancaman ideologi radikal.
Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengandung makna tauhid, toleransi dan kemajemukan, dan moderat yang seimbang. Dalam konteks hubungan antarumat beragama, Pancasila menolak pemaksaan kehendak oleh pribadi maupun kelompok terhadap satu sama lain berdasarkan penafsiran agama yang dianggap paling benar.
Ideologi fundamentalis radikal bertentangan dengan Pancasila karena ia memaksakan kehendak dengan menolak memberikan ruang kepada penafsiran yang berbeda. Pernyataan kebenaran yang absolute seperti itu akan merusak tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang memiliki ciri pluralis.
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini mengandung makna pengakuan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak sipil, politik, ekonomi, dan hak sosial budaya. Dengan demikian, pemaksaan kehendak oleh kelompok radikal secara hakiki bertentangan dengan Pancasila karena jelas melanggar HAM yang menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia Sila ini mengandung makna bahwa Indonesia adalah negara yang dibentuk bedasarkan asas kebangsaan, bukan atas dasar agama, suku, atau ras tertentu. Kelompok fundamentalis radikal yang ingin mengganti asas kebangsaan dengan asas yang lain, berarti ingin mengubah dasar NKRI dari negara kebangsaan menjadi negara Islam. Hal ini tentunya jelas yang bertentangan dengan landasan ideologi nasional Pancasila.
Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini mengandung arti bahwa sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia harus berlandaskan pada prinsip demokrasi. Kedaulatan berada di tangan rakyat yang jelas bertentangan dengan sistem totaliter yang ingin didirikan oleh kelompok fundamentalis radikal.
Pada umumnya ideologi radikal menoloak kedaulatan rakyat dan hanya mengakui kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan melalui sistem teokrasi.
 Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini mengandung makna bahwa kesejahteraan menjadi hak warga negara Indonesia. Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Hal ini berarti sistem totaliter yang eksploitatif bertentangan dengan Pancasila karena ia tidak mengakui adanya hak bagi warga negara untuk memperoleh kesejahteraan sebagai hak dasar mereka.
Ideologi radikal merupakan ancaman yang membahayakan kehidupan bermasyarakat Indonesia, serta mampu mengganggu disintegrasi bangsa. Melalui Pancasila, negara wajib hukumnya untuk melindungi rakyatnya dari penafsiran ilmu keagamaan yang salah. Negara memiliki hak untuk menumpas segala bentuk ideologi radikal yang berpotensi merusak tatanan kehidupan rakyat Indonesia.
Pancasila harus tetap dipegang sebagai dasar negara untuk melawan ancaman radikal yang saat ini keberadaannya terus berkembang di wilayah NKRI. Dasar-dasar Pancasila pada akhirnya diyakini sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia untuk terus mengawal masa kemerdekaannya.
#muslimsejati
Sumber https://www.harakatuna.com/pancasila-sebagai-pelindung-ideologi-radikalisme.html

0 coment�rios:

Belajar Demokrasi dari Teladan Nabi Buku ini hadir sebagai respon semakin menguatnya persepsi kelompok tertentu terhadap demokrasi sebag...


Belajar Demokrasi dari Teladan Nabi

Buku ini hadir sebagai respon semakin menguatnya persepsi kelompok tertentu terhadap demokrasi sebagai produk kafir.




61 shares


Ada sebagian orang yang enggan menerima demokrasi sebagai sistem bernegara, dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ada pula yang menerima demokrasi secara mentah-mentah, sehingga cenderung terlalu bebas dalam aplikasinya dan terlalu mengekor ke Barat. Sementara sebagiannya lagi, menerima demokrasi dengan sedikit rasionalisasi bahwa nilai-nilai yang diusung di dalamnya disarikan dari ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, kelompok terakhir ini mengakui bahwa semenjak Islam diturunkan, telah ada perintah untuk bermusyawarah, yang merupakan esensi dari demokrasi.
Klasifikasi sikap seseorang dalam menerima demokrasi bisa kita temui dalam buku ciamik berjudul Rasul pun Mau Ngobrol, karya Cakra Yudi Putra. Untuk kelompok pertama, penulis buku mengistilahkan sebagai fundamentalis-tekstual. Kelompok kedua adalah liberalis-kontekstual. Sementara kelompok terakhir adalah modernis-kontekstual. Berangkat dari klasifikasi inilah, kerangka buku ini dibangun.
Buku ini hadir sebagai respon semakin menguatnya persepsi kelompok tertentu terhadap demokrasi sebagai produk kafir. Tapi pada saat yang sama, mereka menggunakan demokrasi untuk mengkampanyekan sistem baru yang dianggap lebih bisa membawa perubahan kepada kebaikan. Untuk meyakinkan publik bahwa demokrasi itu sistem cacat, adalah dengan cara mengaitkan seabrek persoalan negeri ini dengan kecacatan sistem demokrasi –dan selalu memberikan satu solusi yang utopis, khilafah.
Untuk menjelaskan konsep demokrasi kepada publik, buku ini merujuk kepada al-Qur’an dan hadits Nabi Saw., serta penjelasan ulama-ulama terkemuka. Buku ini agaknya mencoba mendamaikan demokrasi dan Islam, dua hal yang selalu diposisikan sebagai oposisi biner oleh kelompok tertentu. Tujuannya, supaya umat Islam bisa hidup di alam demokrasi seperti Indonesia ini. Ketika publik memiliki pemahaman yang baik terhadap demokrasi, maka harapannya bisa merespon dengan kritis seruan-seruan ‘kembali ke khilafah’ atau ‘formalisasi syariat’.
Bagi orang yang menolak mentah-mentah demokrasi lantaran dinilai tidak islami, kiranya perlu memerhatikan penjelasan Yusuf Qardhawi, cendekiawan muslim yang banyak menulis buku-buku berkualitas internasional. Menurutnya, sungguh aneh bila sebagian orang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kemungkaran dan kekafiran, padahal mereka belum, bahkan tidak mengetahui persis hakikat dan esensi demokrasi, serta mereka hanya mengetahui cangkang kulit luarnya saja (halaman 37).
Penjelasan Yusuf Qardhawi bisa kita baca dengan logika begini: jika sementara orang menilai demokrasi itu produk kafir, bukan berarti penilaian tersebut benar, sekalipun mengutip ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi sebagai pembenarnya. Alih-alih mengamini, langkah tepat yang musti kita tempuh adalah mendekati demokrasi itu sedekat-dekatnya, lalu pelajari inti dari demokrasi tersebut. Tidak cukup kita hanya mempelajari demokrasi hanya kulitnya saja, misal dengan merujuk pada praktik demokrasi yang gagal oleh negara tertentu –karena itu kasuistik.
Demokrasi diambil dari kata ‘demos’ yang artinya rakyat dan ‘kratos’ yang berarti kekuasaan. Jadi, secara sederhana, demokrasi adalah kekuasaan ada pada keputusan rakyat. Ini artinya, kolektivitas lebih dikedepankan dalam bernegara ketimbang individualitas (halaman 39).
Meskipun demokrasi merupakan istilah eksperimental orang-orang Barat sebelum abad ke-20, namun Islam telah mengenal demokrasi dengan istilah lain, yakni musyawarah (pengelolaan suatu urusan secara kolektif) sejak zaman nabi, 15 abad yang lalu. Dalam QS As-Syuura ayat 38 juga ditegaskan, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Bisa dikatakan, bahwa ayat ini dijadikan landasan teologis untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya di ranah politik kekuasaan, melainkan juga sosial-kemasyarakatan, supaya mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Ada banyak kisah teladan Rasulullah Saw. yang menunjukkan bahwa demokrasi (musyawarah) tidak berseberangan dengan Islam, bahkan bisa sebagai media untuk mencapai kemaslahatan. Misal, ketika tersiar kabar ada 3.000 pasukan Quraisy sedang menuju Madinah. Dengan sigap, Rasul memanggil para sahabat untuk bermusyawarah. Rasul sendiri menganggap menunggu musuh itu lebih baik, sementara ada sahabat yang mengatakan sebaliknya. Akhirnya, Rasul mengikuti pendapat sahabat tersebut dan langsung mengambil baju zirah lalu berangkat menjemput musuh (halaman 250).
Buku mungil ini menjadi menarik karena di samping kontennya yang berbasis data dan analisis dari penulisnya, juga disajikan dengan bahasa kekinian. Ulasannya juga tidak panjang lebar, bahkan ditampilkan seperti ‘quotes’, sehingga bagi mereka yang tidak terbiasa membawa buku, mudah memahaminya. Apalagi, layoutnya dibikin full color, membuat aktivitas membaca buku ini makin mengasyikkan. Selamat membaca!
Judul Buku      : Rasul pun Mau Ngobrol
Penulis             : Cakra Yudi Putra
Penerbit           : Yayasan Islam Cinta Indonesia
Cetakan           : I, Oktober 2018
Tebal               : 299 halaman
ISBN               : 978-602-53014-8-3
#muslimsejati
Sumber :https://www.harakatuna.com/belajar-demokrasi-dari-teladan-nabi.html

0 coment�rios:

Demokrasi dalam Islam 22 April 2012   20:13   Diperbarui: 22 April 2012  1335125600573141622 Berangkat dari sebuah kisah para sa...

Demokrasi dalam Islam

22 April 2012   20:13 Diperbarui: 22 April 2012 
Demokrasi dalam Islam
1335125600573141622Berangkat dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.”Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi. Demokrasi adalah tatanan hidup bernegara dan mempunyai prinsi-prinsip yang disyaratkan untuk menjadi sebuah komunitas yang berdemokrasi. Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya: (1) kebebasan berbicara bagi seluruh warga. (2) pemimpin dipilih secara langsung yang dikenal di Indonesia dengan pemilu. (3) kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas. (4) semua harus tunduk pada hukum atau yang dikenal dengan supremasi hukum. Dan prinsip-prinsip diatas sesuai dengan syariat islam yang juga menjunjung tinggi sebuah kebebasan, mulai dari kebebasan jiwa yang harus dijaga, kebebasan untuk mengelola harta dan juga kebebasan berpendapat. Bahkan dalam islam sendiri tidak mengenal pemaksaan untuk memeluk agama nya, hanya saja ada kewajiban mengajak kepada syariat islam yang disebut dakwah, tapi semua diserahkan kepada hidayah dari Allah nantinya. Misalnya lagi mekanisme pemimpin dalam islam juga sejalan dengan prinsip-prinsip diatas, dalam sebuah hadis rasulullah menganjurkan untuk memilih pemimpin dari sekelompok orang atau komunitas, dan juga kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap sah kecuali bila dilakukan dengan bai’at secara terbuka oleh semua anggota masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota masyarakat. Menurut DR. Yusuf Qardhawi substansi demokrasi sejalan dengan  islam, hal ini bisa dilihat dari bebrapa hal, misalnya:
  1. Proses pemilihan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat banyak, dan dalam islam hal ini contohnya menjadi imam shalat saja islam melarang imam yang tidak disukai oleh makmumnya.
  2. Pemilihan umum termasuk pemberian saksi, makanya barang siapa yang menolak untuk ikut dalam pemilihan dan kandidat yang baik kalah karena banyak yang tidak ikut memilih maka yang menang adalah kandidat yang tidak selayaknya, maka orang ini melanggar ajaran Allah untuk memberikan kesaksian disaat dibutuhkan.
  3. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas, dalam islam ada istilah syura. Yaitu musyawarah. “… sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka …” (Asy-Syura 38)dan “… karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran 159).
  4. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam.
Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demorasi yang dikenal hari ini adalah tatanan hidup yang jauh hari telah dicontohnya oleh umat islam, dan menjadi sebuah jaminan kejayaan suatu negara kalau benar-benar menerapkan sistem demokrasi tersebut. Hanya saja banyak dikalangan negra demokrasi yang hanya menggemborkan demokrasi tapi jauh dari nilai dan praktek demokrasi itu sendiri. Misalnya Amerika dikenal dengan negara demokrasi, tapi negeri adi daya itu tetap menjadi penjahat HAM, membunuh jiwa-jiwa yang tak berdosa, mendukung penjajahan zionis Israel. Mereka berkoar-koar tentang tatanan demokrasi tapi aplikasi dari nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri masih jauh dan hanya omong kosong. Waalhualam bishowab.

0 coment�rios:

Demokrasi dalam Islam 22 April 2012 20:13 Diperbarui: 22 April 2012 20:13 9877 0 2 Demokrasi dalam Islam 1335125600573141622 Berangkat dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.”Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi. Demokrasi adalah tatanan hidup bernegara dan mempunyai prinsi-prinsip yang disyaratkan untuk menjadi sebuah komunitas yang berdemokrasi. Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya: (1) kebebasan berbicara bagi seluruh warga. (2) pemimpin dipilih secara langsung yang dikenal di Indonesia dengan pemilu. (3) kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas. (4) semua harus tunduk pada hukum atau yang dikenal dengan supremasi hukum. Dan prinsip-prinsip diatas sesuai dengan syariat islam yang juga menjunjung tinggi sebuah kebebasan, mulai dari kebebasan jiwa yang harus dijaga, kebebasan untuk mengelola harta dan juga kebebasan berpendapat. Bahkan dalam islam sendiri tidak mengenal pemaksaan untuk memeluk agama nya, hanya saja ada kewajiban mengajak kepada syariat islam yang disebut dakwah, tapi semua diserahkan kepada hidayah dari Allah nantinya. Misalnya lagi mekanisme pemimpin dalam islam juga sejalan dengan prinsip-prinsip diatas, dalam sebuah hadis rasulullah menganjurkan untuk memilih pemimpin dari sekelompok orang atau komunitas, dan juga kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap sah kecuali bila dilakukan dengan bai’at secara terbuka oleh semua anggota masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota masyarakat. Menurut DR. Yusuf Qardhawi substansi demokrasi sejalan dengan islam, hal ini bisa dilihat dari bebrapa hal, misalnya: Proses pemilihan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat banyak, dan dalam islam hal ini contohnya menjadi imam shalat saja islam melarang imam yang tidak disukai oleh makmumnya. Pemilihan umum termasuk pemberian saksi, makanya barang siapa yang menolak untuk ikut dalam pemilihan dan kandidat yang baik kalah karena banyak yang tidak ikut memilih maka yang menang adalah kandidat yang tidak selayaknya, maka orang ini melanggar ajaran Allah untuk memberikan kesaksian disaat dibutuhkan. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas, dalam islam ada istilah syura. Yaitu musyawarah. “… sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka …” (Asy-Syura 38)dan “… karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran 159). Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam. Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demorasi yang dikenal hari ini adalah tatanan hidup yang jauh hari telah dicontohnya oleh umat islam, dan menjadi sebuah jaminan kejayaan suatu negara kalau benar-benar menerapkan sistem demokrasi tersebut. Hanya saja banyak dikalangan negra demokrasi yang hanya menggemborkan demokrasi tapi jauh dari nilai dan praktek demokrasi itu sendiri. Misalnya Amerika dikenal dengan negara demokrasi, tapi negeri adi daya itu tetap menjadi penjahat HAM, membunuh jiwa-jiwa yang tak berdosa, mendukung penjajahan zionis Israel. Mereka berkoar-koar tentang tatanan demokrasi tapi aplikasi dari nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri masih jauh dan hanya omong kosong. Waalhualam bishowab.

0 coment�rios:

Pandangan Islam Terhadap Demokrasi dan Hukum Syar’i By   lukman mubarak al parisi  - January 11, 2019 0 Negara adalah ca...

Pandangan Islam Terhadap Demokrasi dan Hukum Syar’i

By
 lukman mubarak al parisi
 -

0

Negara adalah cakupan wilayah yang sangat luas, dan memiliki beraneka ragam budaya yang tidak sama antara satu dan yang lainnya. Selain itu negara juga memiliki sebuah pemerintahan, dimana sebuah aturan hukum di dirikan demi mencapai mencapai Tujuan Penciptaan Manusia dan Proses Penciptaan Manusia. Selain itu negara juga memiliki konsep pemerintahan yang berbeda-beda seperti demokrasi misalnya. Demokrasi adalah suatu pemerintahan yang memberikan hak sama pada setiap warga negaranya dalam menentukan hidup mereka.
Demokrasi adalah negara yang menjadikan rakyatnya sebagai pemilik dari kedaulatan tertinggi di suatu negara. Demokrasi akan terwujud jika rakyat nya menerapkan norma dalam hidup seperti pentingnya kesadaran pluralism, cara yang sesuai dengan tujuan, kejujuran, musyawarah bersama, gotong royong dan pendidikan yang memadai. Sebuah konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dengan islam, dan prinsip demokrasi yang sejalan dengan islam adalah adanya musyawarah dan keikut sertaan rakyat dalam memilih pemerintah. Dan demokrasi yang tidak sesuai dengan islam adalah dibebaskan nya sebuah sikap dan tindakan bagi seorang rakyat.

Pemerintahan Islam

Sistem pemerintahan yang digunakan islam adalah pemerintahan khilafah atau pemerintahan yang bersifat syar’i. Khilafah yang syar’i adalah sebuah pemerintahan yang sudah sangat umum bagi muslim di dunia. Pemerintahan ini dibuat untuk menegakkan hukum atau aturan syara’ islami, dan menjalankan dakwah islam yang diperintahkan Rasulullah SAW ke seluruh dunia demi tercapainya suatu Hakikat Penciptaan Manusia,Hakikat Manusia Menurut Islam, selain itu pemerintahan syar’i dibuat berdasarkan Tujuan Penciptaan ManusiaKonsep Manusia dalam Islam, Proses Penciptaan Manusia,  dan sesuai dengan Fungsi Agama untuk Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dan sesuai dengan Cara Sukses Menurut Islam.

Ciri-Ciri Pemerintahan Demokrasi

  • Memerintah berdasarkan kehendak rakyat
  • Memiliki ciri kontitusioanal
  • Memiliki wakil rakyat
  • Memiliki kegiatan pemilihan pemimpin
  • Memiliki suatu kelompok partai
  • Memiliki batasan kekuasaan

Konsep Demokrasi Yang Sesuai Dengan Islam

1. Demokrasi ialah suatu konsep pemerintahan yang melibatkan seluruh warga negaranya memutuskan suatu pemimpim yang akan mengurus negara mereka. Hal ini sesuai dengan islam saat diperbolehkannya seorang makmum menerima atau menolak seorang imam ketika hendak menjalankan sholat.
2. Rakyat diberi kebebasan dalam memberikan saran kepada seorang pemimpin, atau dalam demokrasi di perbolehkan nya rakyat memberikan aspirasi. Hal ini sesuai dengan ajaran islam yang memperbolehkan seorang rakyat memberikan saran atau nasihat kepada pemimpinnya.
3. Rakyat diwajibkan untuk menggunakan hak suaranya. Dan ini sesuai dengan konsep islam, karena barang siapa orang yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilihan pemimpin. Sehingga orang yang tidak seharusnya memimpin menjadi pemimpin, dan orang yang seharusnya memimpin tidak terpilih. Otomatis hal ini termasuk dengan menyalahi apa yang sudah Allah perintahkan, yaitu memilih pemimpin yang muslim, adil dan bijaksana.
4. Menetapkan suara terbanyak sebagai pemenang dalam pemilihan pemimpin. Misalnya dalam pemilihan seorang presiden dan siapa calon presiden yang mendapatkan suara yang terbanyak, maka otomatis akan menjadi pemimpin. Dalam islam hal ini juga pernah dilakukan seperti misalnya saat pemilihan seorang khalifah Umar. Dan mengambil keputusan penetapan seorang pemimpin melalui suara terbanyak tidak bertentangan dengan syariat agama islam.
5. Islam memberikan kebebasan pada setiap muslim untuk mengutarakan pendapat. Hal ini juga menjadi ciri utama dalam pemerintahan sistem demokrasi suatu negara yang memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk berpendapat dan kebebasan pers.

Konsep Demokrasi Yang Bertentangan Dengan Islam

  1. Sering kali negara demokrasi meninggikan peraturan yang dibuat adalah sebuah kesepakatan yang mutlak dan terbaik. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang di syariatkan islam karena hukum yang paling sempurna adalah Dasar Hukum Islam yang Allah tetapkan, sehingga hal ini di anggap termasuk pada sebuah kemusyrikan dan kufur pada Allah dan agama islam.
2. Dalam islam sebuah pendapat boleh di berikan namun harus tetap sesuai dengan syariat islam. Dalam hal ini negara demokrasi membebaskan rakyat nya untuk melakukan sesuatu tanpa ada batasan yang ditetapkan seperti hukum yang islam tetapkan.
3. Musyawarah yang islam ajarkan adalah suatu penentuan keputusan yang merujuk pada shahih atau dhoifnya dalil dan bukan dari sebuah pendapat yang memiliki suara terbanyak.
Mengenai pemerintahan dengan sistem demokrasi membuat para ulama mengeluarkan pendapat baik pro dan kontra terhadap sistem demokrasi suatu negara. Hal ini juga membuat banyak para ulama mengeluarkan pendapatnya tentang alasan mereka tidak menyetujui tentang hal tersebut, dan yang menyetujui sistem demokrasi tersebut.

Pandangan Tokoh Ulama Tentang Demokrasi

  1. Al Madudi
Beliau adalah tokoh ulama yang menolak dengan tegas suatu demokrasi dalam negara. Islam tidak memberikan kekuasaan penuh pada rakyat untuk memutuskan sesuatu. Islam menggunakan dalil yang kuat dalam memutuskan suatu masalah, atau perkara yang muncul dalam suatu pemerintahan. Lain hal nya dengan demokrasi yang hukumnya dibuat oleh manusia sehingga cenderung bersifat sekuler.
  1. Muhammad Imarah
Beliau adalah tokoh yang tidak menerima demokrasi dengan tegas dan juga tidak menyetuji adanya sistem demokrasi pada suatu negara. Demokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang membuat atau menetapkan hukum di tangan manusia ( rakyat ). Hal ini sangat bertentangan dalam sistem pemerintahan islam yang sudah dibuat dan di tetapkan Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
  1. Salim Ali Al-Bahnasawi
Menurut beliau demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang memiliki sisi baik yang tidak bertentangan dengan islam. Sisi baik dalam sistem demokrasi ialah adanya suatu kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sisi buruk demokrasi adalah adanya penggunaan hak legislatif yang bebas dan bisa mengarah pada suatu sikap yang menghalalkan sesuatu yang haram. Beliau juga menawarkan suatu sistem demokrasi yang islami atau sesuai dengan ajaran islam yang ada.
  • Memberikan tanggung jawab untuk setiap individu Allah.
  • Seorang wakil rakyat harus memiliki suatu sifat yang sesuai dengan Akhlak Dalam Islam, baik dalam menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya.
  • Suatu komitmen dalam islam hanya boleh diputuskan orang-orang yang berakhlak dan bertanggung jawab.
  • Banyaknya pendukung bukanlah suatu keputusan yang mutlak dalam menentukan sesuatu, dan hukum tersebut tidak ditemukan dalam Sunnah dan Al-Qur’an dalam surat Annisa ayat 59 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Selain itu disebutkan juga dalam surat Al Ahzab ayat 36 tentang sebuah ketetapan yang Allah buat harus di patuhi.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينً
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Demokrasi adalah negara yang bebas untuk beraspirasi dan bebas dalam melakukan sesuatu. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam islam, karena islam sudah menetapkan suatu dasar hukum yang baik dan benar untuk sebuah peraturan dalam hal apapun. Jadilah seorang pemimpin yang adil dan jujur, agar negara demokrasi yang saat ini mampu bertransformasi menjadi negara demokrasi islami. Sistem demokrasi islami yang diharapkan para tokoh ulama ialah sistem demokrasi yang dalam pengambilan keputusan merujuk pada Fungsi Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam dan Sumber Syariat Islam. Para ulama memberikan gambaran demokrasi islami agar kita sebagai umat muslim di seluruh dunia tidak tersentuh oleh bermacam-macam Dosa Besar Dalam Islam.
#Muslimsejati
Sumber : Dalamislam.com

0 coment�rios:

Setiap hal yang berlebihan adalah tidak baik. Selain Islam melarang berlebihan dalam makan dan minum, Islam juga melarang sikap berlebiha...

Setiap hal yang berlebihan adalah tidak baik. Selain Islam melarang berlebihan dalam makan dan minum, Islam juga melarang sikap berlebihan dalam beragama (ekstrim). Hal ini jelas termaktub dalam QS. Al-An’am ayat 141.
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)
“Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, dan jangalah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam urusan zakat, yang termasuk bagian dari agamapun, kita dilarang untuk berlebih-lebihan.
Lalu apa saja tanda-tanda orang yang memiliki sikap berlebihan dalam beragama?
Menjawab hal ini, Yusuf Al-Qaradhawi dalam al-Shahwah al-Islamiyah  baina al-Juhud wa al-Tatharruf menyebutkan setidaknya ada lima tanda seseorang telah bersikap berlebihan dalam beragama.
Pertama, fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat yang lain.
Tanda pertama ini adalah tanda pertama yang paling mencolok di antara tanda-tanda yang lain. Orang yang sudah memiliki sifat ini selalu merasa bahwa pendapat yang ia ikuti paling benar di antara pendapat-pendapat yang ada. Orang-orang seperti ini tidak pernah memberikan ruang diskusi kepada orang lain. Karena bagi mereka tetap saja yang paling benar adalah pendapat mereka.
Yang paling mengherankan, menurut Al-Qaradhawi, orang-orang seperti ini sering memfatwakan ijtihad-ijtihadnya dalam masalah agama yang sulit kita mengerti dan mengajak orang untuk mengikuti fatwannya. Namun saat ada ulama spesialis yang memiliki pendapat berbeda dengan fatwanya tetap ia tolak. Walaupun keilmuannya jauh di bawah ulama spesialis ini.
Mereka sering kali menganggap orang yang berbeda dengan berbagai tuduhan. Seperti bidah, menistakan agama, kufur, sesat dan julukan-julukan tak layak yang lain.
Kedua, sering mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Swt.
Orang-orang yang memiliki sikap berlebihan dalam beragama seringkali mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama. Sering kali mengajak orang lain melakukan hal yang sulit, padahal agama telah menyediakan hal yang mudah.
Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyusahkan, berikanlah kabar gembira dan jangan menyusahkan.” Selain itu, tidaklah Rasulullah Saw diberikan dua pilihan kecuali beliau memilih hal yang paling mudah di antara pilihan tersebut.
Dalam sejarahnya Rasul pernah marah besar kepada Imam shalat yang membuat jamaahnya meninggalkan masjid gara-gara ia terlalu panjang membaca surat dalam shalat. Di sisi lain, Rasul meringankan bacaannya ketika mendengar ada seorang anak kecil yang sedang menangis. Rasul takut lamanya shalat yang ia lakukan memberatkan si ibu yang sedang shalat tersebut.
Di masa sekarang, banyak sekali orang-orang yang mewajibkan urusan yang tak pernah diwajibkan oleh Allah Swt., seperti mewajibkan orang lain memilih calon yang dikehendakinya. Padahal Allah maupun Rasul tidak pernah mewajibkan hal itu.
Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa cukup bagi seorang muslim untuk mengerjakan perkara wajib dan menjauhi dosa besar. Lalu apa saja perkara wajib tersebut?
Seorang Arab Badui pernah bertemu dengan Rasul dan menanyakan satu hal: Apa yang menjadi kewajibannya sebagai muslim? Rasul pun menjawab bahwa yang menjadi kewajibannya adalah menunaikan shalat lima waktu, membayar zakat dan berpuasa Ramadhan. Ketika Rasul ditanya kewajiban lain selain tiga hal itu, Rasul hanya menjawab: tidak ada, kecuali ia mau mengerjakan perkara yang sunnah.
Nah selama orang tersebut masih mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dan tidak melakukan dosa besar, jangan sampai disebut sebagai penista agama atau bahkan kafir, apalagi jika hanya berbeda pilihan politik.

Ketiga, bersikap keras dan kasar juga menjadi tanda berlebihan dalam beragama.
Allah Swt mengajak kita agar mengajak atau berdakwah dengan cara yang halus nan bijaksana. Namun sekarang ada beberapa orang yang mengatasnamakan sebagai pejuang Islam tapi sama sekali tidak sesuai dengan ajaran berdakwah ala Islam.
Rasul Saw sendiri disifati dalam Al-Quran sebagai orang yang halus lembut, penuh kasih sayang, dan bukan bersifat kasar dalam Q.S al-Taubah: 128.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri; berat terasa olehnya  penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat belas kasih dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”
Lalu, ada seorang ustad gadungan yang mengatakan bahwa Rasul memang halus, tapi ketika ada orang yang menghina agamanya beliau angkat senjata, benarkah demikian?
Al-Quran sama sekali tidak pernah memerintahkan sikap keras kecuali dalam dua tempat. pertama, dalam suasana perang menghadapi musuh. Tentu ini hal maklum. Karena situasinya dalam peperangan; kedua, dalam pelaksanaan sanksi hukum.
Keempat, sering berburuk sangka dan gampang menuduh.
Salah satu sifat yang gampang ditebak dari seorang yang memiliki perilaku ekstrim dalam beragama adalah gampang menuduh orang lain, menyembunyikan kesalahan sendiri dan membesar-besarka kesalahan orang lain.
Orang ekstrim ini selalu saja menuduh orang yang bertentangan dengan pendapat mereka, selalu dituduh kafir, maksiat atau bidah. Kalau zaman sekarang, mungkin tuduhannya bergeser, menjadi liberal, syiah, komunis, dan lain sebagainya.
Menurut Al-Qaradhawi, mereka bahkan tidak segan-segan menuduh orang yang sangat dipercaya kredibilitasnya tentang agama, seperti ulama, juru dakwah, dan pemikir Islam dengan tuduhan-tuduhan seperti disebutkan di atas.
Kelima, mudah mengkafirkan orang lain.
Sikap berlebihan atau ekstrim ini mencapai puncaknya ketika sudah dalam kondisi mudah mengkafirkan orang lain, apa lagi sampai menghalalkan darah orang lain.
Al-Qaradhawi menyebutkan, hal seperti inilah yang terjadi pada orang-orang Khawarij. Mereka adalah orang-orang yang sangat ketat dalam melaksanakan berbagai macam ritus keagamaan, mulai shalat, puasa, membaca Al-Quran, dan beberapa peribadatan yang lain. Namun mereka menghalalkan darah orang lain yang tidak sependapat dan berbeda dengan mereka.
Padahal Rasul Saw telah mewanti-wanti kepada umatnya agar tidak mudah mengucapkan kata ‘kafir’ kepada saudaranya, “Siapa yang mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim) dengan ucapan “Hai kafir!” maka berlakulah perkataan itu bagi salah satu dari keduanya. Jika tuduhan itu tidak terbukti, maka tuduhan itu kembali kepada orang yang mengatakannya.”
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim yang baik, seharusnya kita berhati-hati dan menghindari lima hal di atas agar tidak menjadi bagian dari kelompok yang memiliki sikap berlebihan (ekstrim) dalam beragama. Karena selain mengikuti perintah Allah, meninggalkan hal-hal di atas juga memiliki kemaslahatan bagi kehidupan beragama dan bermasyarakat kita.
Wallahu A’lam.
#muslimsejati

0 coment�rios: