Home Top Ad

Responsive Ads Here

Bila Tak Bertentangan dengan Syariat, Produk Undang-Undang Itu Syar'i KH Masdar Farid Mas'udi. Syaifullah,  NU Online ...

Bila Tak Bertentangan dengan Syariat, Produk Undang-Undang Itu Syar'i

KH Masdar Farid Mas'udi.
Syaifullah, NU Online | Kamis, 28 Februari 2019 18:00
Kota Banjar, NU Online
Perundang-undangan sebagai produk politik negara bangsa menjadi bahasan dalam bahtsul masail komisi maudluiyah pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama. Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Masudi berpandangan bahwa jika produk tersebut tidak bertentangan dengan syariat, maka sudah syar'i.
"Kalau kita ingin menguji peraturan hukum positif mulai dari undang-undang, peraturan daerah atau Perda dan lainnya. Adakah yang bertentangan dengan syariat? Kalau tidak ada yang bertentangan syariat, itu oke," kata Kiai Masdar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).
Baik Undang-Undang, maupun Perda, kata Kiai Masdar, jika tidak bertentangan dengan syariat, itu maka sudah syar’i.
"Saya kira itu akan lebih longgar. Perda dan UU bisa kita lihat dari itu," jelasnya.
Kiai Masdar menjelaskan bahwa penetapan Perda yang sudah tidak bertentangan dengan Islam, maka akan sangat besar pengaruhnya terhadap kesetiaan warga negara. Bahkan hal ini menjadi terikat dengan Muslim Indonesia.

"(Hal itu menjadi) kekuatan positif support bagi umat Islam," terangnya.

Oleh karena itu, Kiai Masdar meminta agar para syuriyah dan lembaga bahtsul masail di semuat tingkatan harus melihat produk perundang-undangan mulai dari apakah ada yang bertentangan atau tidak.

Jika hal itu diterapkan, maka hal itu menjadi dukungan nyata NU terhadap pemerintah. "Dukungan yang sangat nyata dari NU dalam persepektif Islam terhadap eksistensi pada fungsi pemerintah," pungkasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/103155/bila-tak-bertentangan-dengan-syariat-produk-undang-undang-itu-syari
#muslimsejati

0 coment�rios:

APAKAH DEMOKRASI SEJALAN DENGAN ISLAM ? Ajaran tentang keadilan dalam Islam mendukung prinsip demokrasi Thaha Husein, pakar pembaru...

APAKAH DEMOKRASI SEJALAN DENGAN ISLAM ?

Ajaran tentang keadilan dalam Islam mendukung prinsip demokrasi
Thaha Husein, pakar pembaru pemikiran Islam asal Mesir menjelaskan bahwa siapa saja yang berusaha mengajak umat Islam, khususnya orang-orang Mesir untuk kembali kepada sikap hidup yang berlaku di  zaman Fir’aun, di zaman Yunani-Romawi, atau di masa-masa permulaan Islam, akan dicemooh rakyat. Masyarakat termasuk kalangan konservatif dan mereka yang tidak senang dengan setiap usaha pembaruan ajaran Islam juga menilai bahwa kembali ke warisan kuno Islam adalah sikap yang keliru.
Lebih jauh Thaha mengatakan: “Kita harus menyadari pula bahwa tanda tangan yang kita bubuhkan dalam naskah-naskah perjanjian internasional, yang dengannya kita memperoleh kemerdekaan, dan dengannya pula kita terhindar dari kekalahan, jelas mewajibkan kita untuk mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa dalam pemerintahan, ketatanegaraan, dan dalam hukumnya.
Obsesi Thaha Husein untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi Barat didasarkan pada dua argument pokok. Pertama, beliau membuktikan bahwa tidak ditemukan ajaran mengenai sistem politik dalam Al-Qur’an. Kedua, beliau juga membuktikan bahwa sistem demokrasi itu mampu mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi umat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, dan durhaka. Meminjam istilah Bertrand Russell bahwa demokrasi telah dapat mencegah penyalahgunaan terburuk dari kekuasaan.
Dalam prakteknya terlihat bahwa penyalahgunaan terburuk kekuasaan berupa ketidakadilan, tindakan sewenang-wenang, perampasan hak dan kebebasan, ketidakjujuran yang menyebabkan mundurnya suatu masyarakat, sering kali muncul sebagai akibat dari kekuasaan mutlak seorang raja atau presiden. Oleh karenanya, pemerintahan suatu negara tidak boleh diserahkan kepada satu orang saja, sungguh pun siapa dia. Kita tidak boleh mengandalkan kekuasaan dimonopoli oleh satu orang.
Di sini harus diletakkan gagasan Thaha Husein untuk mengambil sistem demokrasi Barat sebagai suatu yang absah menurut “pandangan” Al-Qur’an, dan untuk melihat keabsahannya kiranya perlu diketengahkan lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertama, mengapa harus demokrasi Barat? Kedua, bagaimana Al-Qur’an menganjurkan ditegakkannya keadilan, kebajikan, keterbukaan, kebebasan, membantu kaum lemah, melarang perbuatan yang tidak senonoh dan tercela, serta bagaimana kemungkinan nilai-nilai itu dapat ditegakkan dalam suasana kehidupan demokrasi.
Sebenarnya tidak ada kesulitan bagi umat Islam untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi itu karena beberapa alasan. Pertama, umat Islam sejak masa-masa awal perkembangannya telah berpaling dari sistem feodal yang mengandalkan keunggulan suku atau clan, serta tidak menjadikan kesamaan agama dan bahasa sebagai dasar pemerintahan.
Nabi saw membangun negara Madinah dan demikian juga sistem politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan praktis. Kondisi ini terjadi sebelum abad II hijriyah berakhir, yakni ketika Daulah Ummayah di Spanyol menantang Daulah ‘Abbasiyyah di Baghdad. Keadaan ini berlanjut terus hingga berdirinya berbagai pemerintahan di negeri-negeri Islam yang di dasarkan atas kepentingan ekonomi dan geografis.
Kedua, sedemikian jauh pemikiran dan tingkah laku politik Barat telah menjadi pemikiran dan menjadi tingkah laku pemikiran umat Islam khususnya di Mesir. Umat Islam di berbagai wilayah dapat dengan mudah menerapkan sistem politik Eropa yang demokratis. Hal itu karena sistem demokrasi yang diterapkan di berbegai negara Eropa tadi mengedepankan prinsip kesetaraan bagi semua warga negara, memandang perlunya penegakan hukum yang adil dan netral serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Meskipun demikian tetap saja di berbagai wilayah Islam muncul godaan untuk menerapkan pemerintahan absolut. Yang saya maksudkan adalah bahwa pemerintahan absolut yang seringkali terjadi di negara-negara Muslim timbul disebabkan pengaruh pemerintahan absolut yang berkembang di Eropa sebelum munculnya paham demokrasi.
Demikian juga bentuk pemerintahan di negara-negara Islam yang terbatas itu dibentuk oleh sistem pemerintahan terbatas yang juga ada di Eropa sebelumnya. Artinya, umat Islam sudah sejak lama berkiblat ke Barat atau Eropa, jadi tidak perlu malu untuk mengadopsi system demokrasi yang ternyata mampu membawa Eropa ke arah kemajuan dan kesejahteraan seperti sekarang.
Menurut Thaha Husain, pemikir pembaruan Mesir, mereka yang berusaha melaksanakan pemerintahan absolut (tak terbatas) di Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Louis XIV di Perancis daripada mengikuti pola Abd al-Hamid di Turki. Sisi lain yang lebih penting dari analisis ini adalah bahwa kecenderungan pemerintahan absolut yang seringkali muncul di berbagai dunia Islam di abad modern adalah disebabkan adaptasi dan peniruan yang sangat terlambat dan ketinggalan terhadap Eropa. Dengan demikian, ia melihat bahwa peniruan atau adopsi yang keliru terhadap Barat akan mendatangkan malapetaka bagi umat Islam

0 coment�rios:

Pasar Gelap Ustadz Februari 25, 2019 Saya berkali-kali menyampaikan, hati-hati mencari ustadz. Jangan sembarangan men...

Pasar Gelap Ustadz



Saya berkali-kali menyampaikan, hati-hati mencari ustadz. Jangan sembarangan mengundang orang untuk mengisi pengajian, memanggil dia ustadz, apalagi menyebutnya sebagai ulama. Saya perlu semakin serius mengingatkan hal ini. Karena semakin banyak orang-orang yang hanya bermodal bisa pidato, berbaju gamis, mengumpat sana-sini diundang kemana-mana, dipanggil ustadz. Hafal satu dua ayat al-Quran dan hadis cukup menjadi modal.
Pasar gelap ustadz ini biasanya dihuni dua kelompok besar. Pertama, para muallaf. Beberapa muallaf, meskipun tidak punya ilmu keislaman yang cukup, tiba-tiba dia menjadi ustaz karena modal bisa pidato. Yang paling banyak diceramahkan biasanya menjelek-jelekkan keyakinan lamanya. Dia ingin menunjukkan sekarang sudah mendapat “hidayah”. Tak lupa, biasanya juga menebar ketakutan, bahwa agama lamanya itu menjadi ancaman terhadap Islam. Kalau melihat orang seperti ini, saya sering jengkel sendiri, membayangkan kalau ada orang keluar dari Islam kemudian menjelek-jelekkan Islam dalam komunitas agamanya yang baru. Orang-orang seperti ini yang biasanya menaikkan ketegangan muslim dan non muslim.
Kedua, orang-orang yang dulu jauh dari Islam, suka maksiat dan sebagainya, kemudian berubah menjadi lebih religius, mengubah penampilan dan sebagainya. Orang-orang seperti ini biasanya menyebut diri sebagai orang yang sudah “hijrah”. Modal kegelapan masa lalu dieksploitasi, seolah sekarang sudah benar-benar hidup dalam terang. Dengan modal bisa pidato, punya tim media sosial untuk menaikkan popularitasnya, mereka tiba-tiba dipanggil ustaz dan dijadikan rujukan dalam beragama.
Dua kelompok ini, intinya sama. Mereka tidak punya otoritas keagamaan, tapi dimanjakan oleh situasi. Mareka memanfaatkan media sosial untuk marketing. Yang saya heran, orang-orang seperti ini banyak yang tidak tahu diri soal kapasitas keislamannya.
Pasar gelap ustadz ini bisa terjadi karena dua hal. Pertama, Islam memang longgar dan tidak ada lembaga yang melakukan “stadarisasi” keulamaan seseorang. Pasar ustaz dalam Islam sangat terbuka. Semua sangat tergantung pada “pasar”. Jika Anda populer, ceramahnya disukai orang, maka Anda bisa masuk dalam pasar keulamaan.
Kedua, sekarang banyak sarana yang bisa digunakan untuk branding. Jika dulu, untuk menjadi ustaz atau ulama membutuhkan waktu untuk diakui masyarakat, sekarang pengakuan itu bisa dilakukan dengan instan. Yang penting populer di medsos, sudah cukup.
Siapa yang menjadi korban dari pasar gelap ini? ya masyarakat Islam sendiri. Orang-orang ini bicara atas nama Islam, padahal dia sama sekali tidak punya otoritas ilmu dan moral. Saya tak perlu menyebut nama sebagai contoh. Sekarang ini, masyarakat Islam suka marah-marah, sebagian merupakan hasil dari pasar gelap itu. Benar kata ahli yang mengatakan, di era disrupsi informasi maka akan lahir era matinya keahlian (death of expertise). Yang menjadi rujukan masyarakat bukan orang-orang yang punya otoritas, tapi orang yang terkenal, terutama di media sosial. Lihat saja survey-survey tentang tokoh-tokoh agama yang mereka ikuti, sebagian adalah orang-orang yang lain di pasar gelap ustaz itu.
Masyarakat harus dididik agar mempunyai literasi keualamaan. Kalau mau menuntut ilmu keislaman, belajarlah pada orang-orang yang gurunya jelas, sanad ilmunya juga jelas. Jangan terpesona dengan tampilan luar. Saya senang, sekarang masyarakat sudah mulai kritis dan berani mempertanyakan ustaz yang menebarkan kebencian dimana-mana. Hanya masyarakat seperti ini yang bisa menghentikan pasar gelap itu.
Penulis: Dr KH Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU.
#muslimsejati.

0 coment�rios:

Hubbul Wathon Suatu Keharusan Menjaga NKRI Oleh Fathoni Ahmad Salah seorang ulama Indonesia KH Muhammad Hasyim Asy’ari (...

Hubbul Wathon Suatu Keharusan Menjaga NKRI


Cinta Tanah Air dalam Ajaran Islam
Oleh Fathoni Ahmad

Salah seorang ulama Indonesia KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) berhasil mencetuskan prinsip hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Konteksnya saat itu untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah.

Kiai Hasyim Asy’ari adalah ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan nasionalisme bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering.

Meminjam pernyataan ulama asal Kempek, Cirebon KH Said Aqil Siroj, agama tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering. Hal ini terbukti ketika fenomena ekstremisme agama justru lahir dari orang dan kelompok orang yang terlalu eksklusif dan sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas sosial kehidupan.

Jika agama diartikan sebagai jalan hidup, sudah semestinya agama berperan dalam realitas kehidupan. Dalam konteks tersebut, realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk menuntut seluruh elemen bangsa menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan. Di sinilah prinsip cinta tanah air harus diteguhkan. Perjuangan melawan dan mengusir penjajah ditegaskan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai kewajiban agama atas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum beragama yang sedang terjajah.

Pandangan Kiai Hasyim Asy’ari tersebut tentu melihat maslahat yang lebih luas, yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan sosial. Tanpa didasari akan kesadaran membela tanah airnya, besar kemungkinan kolonialisme akan terus eksis di bumi pertiwi Indonesia.

Awalnya, ungkapan cinta tanah air yang dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari ini dikira hadits oleh sebagian orang, bahkan ulama-ulama di tanah hijaz (Mekkah dan Madinah), saking masyhurnya. Terlepas dari semua itu, apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim dan Asy’ari juga kontribusi ulama-ulama lain memberikan spirit nasionalisme tinggi. Tentu perjuangan ini harus diteruskan menyesuaikan dengan kondisi yang berbeda saat ini.

Cinta tanah air dapat diwujudkan melalui belajar tekun, menjaga kebersihan lingkungan, menghormati orang tua dan guru, menghargai sesama teman meskipun berbeda keyakinan, belajar agama kepada kiai atau ulama secara mendalam, dan berusaha agar keberadaaanya mendatangkan manfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara.

Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani (1984) mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”

Dari definisi ini, maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mengaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman.

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara. Cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.

Perlu dipahami juga bahwa cinta tanah air mempunyai makna, Indonesia terdiri dari 700 suku lebih yang mempunyai tradisi, budaya, dan bahasa yang sangat beragam. Langkah kita sebagai seorang pelajar hendaknya berusaha mengetahui dan memahami kemajemukan Indonesia. Menjaga dan merawat Indonesia yang beragam ini merupakan bentuk cinta tanah air yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Untuk mempertegas pandangan cinta tanah air dalam Islam, ulama muda asal Lampung KH Ahmad Ishomuddin (2018) mengungkapkan beberapa dalil tentang cinta tanah air dalam perspektif ajaran Islam:

Pertama, cinta tanah air dalam al-Qur'an dan menurut para ahli tafsir. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka  (orang-orang munafik): "Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!" niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka..." (QS. An-Nisa': 66)

Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, "Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri."

Pernyataan al-Razi di atas menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah yang terhunjam sangat dalam pada jiwa manusia.

Kedua, cinta tanah air dalam hadits dan penjelasan ulama pen-syarah-nya. "Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila  beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah." (HR.  Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)

Mengomentari hadits di atas, dalam Fath al-Bari, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Hadits ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air." Hal yang sama juga dikemukakan dalam kitab 'Umdat al-Qariy oleh Badr al-Din al-'Aini.

Ketiga, cinta tanah air menurut para ahli fiqih. Bahwa hikmah berhaji dan pahalanya yang besar karena mendidik jiwa menjadi lebih baik dengan meninggalkan tanah air dan keluar dari kebiasaannya. Dalam kitab al-Dakhirah, al-Qarafi menyatakan, "Manfaat haji adalah mendidik diri dengan meninggalkan tanah air."

Keempat, cinta tanah air menurut para wali. Orang-orang yang saleh senantiasa mencintai tanah air. Dalam kitab Hilyat al-Awliya', Abu Nu'aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, "Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air."

Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka setiap orang beragama selain berkewajiban untuk mencintai agama yang dianutnya--dengan cara memahami dan mengamalkannya dengan sebenar-benarnya--juga berkewajiban untuk mencintai tanah airnya. Karena mencintai tanah air itu tidak bertentangan dengan agama dan bahkan merupakan bagian dari ajaran agama yang wajib diamalkan.

Orang yang beragamanya benar dan cinta terhadap tanah airnya akan selalu memerhatikan keamanan tanah air, tempat hidupnya, kampung halamannya. Ia tidak akan membuat kegaduhan demi kegaduhan, tidak menebar kebencian dan saling permusuhan di antara setiap orang dan setiap suku serta para pemilik indentitas berbeda yang menempati setiap jengkal tanah airnya. 

Orang yang mencintai tanah air karena perintah agamanya bahkan sanggup mengorbankan harta benda atau apa saja. Bahkan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan mempertahankan tanah airnya dari setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Cukuplah kiranya kita belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya.

Terakhir, penulis ingin mengemukakan doa cinta tanah air yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as yang difirmankan Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126: Rabbij’al hâdzâ baladan âminan warzuq ahlahû minats tsamarâti man âmana minhum billâhi wal yaumil âkhir.

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)

Penulis adalah pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) UNUSIA Jakarta
Cinta Tanah Air dalam Ajaran Islam
Oleh Fathoni Ahmad

     Salah seorang ulama Indonesia KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) berhasil mencetuskan prinsip hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Konteksnya saat itu untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah.

Kiai Hasyim Asy’ari adalah ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan nasionalisme bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering.

Meminjam pernyataan ulama asal Kempek, Cirebon KH Said Aqil Siroj, agama tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering. Hal ini terbukti ketika fenomena ekstremisme agama justru lahir dari orang dan kelompok orang yang terlalu eksklusif dan sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas sosial kehidupan.

Jika agama diartikan sebagai jalan hidup, sudah semestinya agama berperan dalam realitas kehidupan. Dalam konteks tersebut, realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk menuntut seluruh elemen bangsa menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan. Di sinilah prinsip cinta tanah air harus diteguhkan. Perjuangan melawan dan mengusir penjajah ditegaskan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai kewajiban agama atas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum beragama yang sedang terjajah.

Pandangan Kiai Hasyim Asy’ari tersebut tentu melihat maslahat yang lebih luas, yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan sosial. Tanpa didasari akan kesadaran membela tanah airnya, besar kemungkinan kolonialisme akan terus eksis di bumi pertiwi Indonesia.

Awalnya, ungkapan cinta tanah air yang dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari ini dikira hadits oleh sebagian orang, bahkan ulama-ulama di tanah hijaz (Mekkah dan Madinah), saking masyhurnya. Terlepas dari semua itu, apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim dan Asy’ari juga kontribusi ulama-ulama lain memberikan spirit nasionalisme tinggi. Tentu perjuangan ini harus diteruskan menyesuaikan dengan kondisi yang berbeda saat ini.

Cinta tanah air dapat diwujudkan melalui belajar tekun, menjaga kebersihan lingkungan, menghormati orang tua dan guru, menghargai sesama teman meskipun berbeda keyakinan, belajar agama kepada kiai atau ulama secara mendalam, dan berusaha agar keberadaaanya mendatangkan manfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara.

Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani (1984) mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”

Dari definisi ini, maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mengaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman.

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara. Cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.

Perlu dipahami juga bahwa cinta tanah air mempunyai makna, Indonesia terdiri dari 700 suku lebih yang mempunyai tradisi, budaya, dan bahasa yang sangat beragam. Langkah kita sebagai seorang pelajar hendaknya berusaha mengetahui dan memahami kemajemukan Indonesia. Menjaga dan merawat Indonesia yang beragam ini merupakan bentuk cinta tanah air yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Untuk mempertegas pandangan cinta tanah air dalam Islam, ulama muda asal Lampung KH Ahmad Ishomuddin (2018) mengungkapkan beberapa dalil tentang cinta tanah air dalam perspektif ajaran Islam:

Pertama, cinta tanah air dalam al-Qur'an dan menurut para ahli tafsir. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka  (orang-orang munafik): "Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!" niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka..." (QS. An-Nisa': 66)

Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, "Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri."

Pernyataan al-Razi di atas menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah yang terhunjam sangat dalam pada jiwa manusia.

Kedua, cinta tanah air dalam hadits dan penjelasan ulama pen-syarah-nya. "Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila  beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah." (HR.  Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)

Mengomentari hadits di atas, dalam Fath al-Bari, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Hadits ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air." Hal yang sama juga dikemukakan dalam kitab 'Umdat al-Qariy oleh Badr al-Din al-'Aini.

Ketiga, cinta tanah air menurut para ahli fiqih. Bahwa hikmah berhaji dan pahalanya yang besar karena mendidik jiwa menjadi lebih baik dengan meninggalkan tanah air dan keluar dari kebiasaannya. Dalam kitab al-Dakhirah, al-Qarafi menyatakan, "Manfaat haji adalah mendidik diri dengan meninggalkan tanah air."

Keempat, cinta tanah air menurut para wali. Orang-orang yang saleh senantiasa mencintai tanah air. Dalam kitab Hilyat al-Awliya', Abu Nu'aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, "Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air."

Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka setiap orang beragama selain berkewajiban untuk mencintai agama yang dianutnya--dengan cara memahami dan mengamalkannya dengan sebenar-benarnya--juga berkewajiban untuk mencintai tanah airnya. Karena mencintai tanah air itu tidak bertentangan dengan agama dan bahkan merupakan bagian dari ajaran agama yang wajib diamalkan.

Orang yang beragamanya benar dan cinta terhadap tanah airnya akan selalu memerhatikan keamanan tanah air, tempat hidupnya, kampung halamannya. Ia tidak akan membuat kegaduhan demi kegaduhan, tidak menebar kebencian dan saling permusuhan di antara setiap orang dan setiap suku serta para pemilik indentitas berbeda yang menempati setiap jengkal tanah airnya. 

Orang yang mencintai tanah air karena perintah agamanya bahkan sanggup mengorbankan harta benda atau apa saja. Bahkan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan mempertahankan tanah airnya dari setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Cukuplah kiranya kita belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya.

Terakhir, penulis ingin mengemukakan doa cinta tanah air yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as yang difirmankan Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126: Rabbij’al hâdzâ baladan âminan warzuq ahlahû minats tsamarâti man âmana minhum billâhi wal yaumil âkhir.

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)

Penulis adalah pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) UNUSIA Jakarta

#muslimsejati

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/91739/cinta-tanah-air-dalam-ajaran-islam
Cinta Tanah Air dalam Ajaran Islam
Oleh Fathoni Ahmad

Salah seorang ulama Indonesia KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) berhasil mencetuskan prinsip hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Konteksnya saat itu untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah.

Kiai Hasyim Asy’ari adalah ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan nasionalisme bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering.

Meminjam pernyataan ulama asal Kempek, Cirebon KH Said Aqil Siroj, agama tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering. Hal ini terbukti ketika fenomena ekstremisme agama justru lahir dari orang dan kelompok orang yang terlalu eksklusif dan sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas sosial kehidupan.

Jika agama diartikan sebagai jalan hidup, sudah semestinya agama berperan dalam realitas kehidupan. Dalam konteks tersebut, realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk menuntut seluruh elemen bangsa menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan. Di sinilah prinsip cinta tanah air harus diteguhkan. Perjuangan melawan dan mengusir penjajah ditegaskan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai kewajiban agama atas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum beragama yang sedang terjajah.

Pandangan Kiai Hasyim Asy’ari tersebut tentu melihat maslahat yang lebih luas, yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan sosial. Tanpa didasari akan kesadaran membela tanah airnya, besar kemungkinan kolonialisme akan terus eksis di bumi pertiwi Indonesia.

Awalnya, ungkapan cinta tanah air yang dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari ini dikira hadits oleh sebagian orang, bahkan ulama-ulama di tanah hijaz (Mekkah dan Madinah), saking masyhurnya. Terlepas dari semua itu, apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim dan Asy’ari juga kontribusi ulama-ulama lain memberikan spirit nasionalisme tinggi. Tentu perjuangan ini harus diteruskan menyesuaikan dengan kondisi yang berbeda saat ini.

Cinta tanah air dapat diwujudkan melalui belajar tekun, menjaga kebersihan lingkungan, menghormati orang tua dan guru, menghargai sesama teman meskipun berbeda keyakinan, belajar agama kepada kiai atau ulama secara mendalam, dan berusaha agar keberadaaanya mendatangkan manfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara.

Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani (1984) mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”

Dari definisi ini, maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mengaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman.

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara. Cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.

Perlu dipahami juga bahwa cinta tanah air mempunyai makna, Indonesia terdiri dari 700 suku lebih yang mempunyai tradisi, budaya, dan bahasa yang sangat beragam. Langkah kita sebagai seorang pelajar hendaknya berusaha mengetahui dan memahami kemajemukan Indonesia. Menjaga dan merawat Indonesia yang beragam ini merupakan bentuk cinta tanah air yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Untuk mempertegas pandangan cinta tanah air dalam Islam, ulama muda asal Lampung KH Ahmad Ishomuddin (2018) mengungkapkan beberapa dalil tentang cinta tanah air dalam perspektif ajaran Islam:

Pertama, cinta tanah air dalam al-Qur'an dan menurut para ahli tafsir. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka  (orang-orang munafik): "Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!" niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka..." (QS. An-Nisa': 66)

Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, "Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri."

Pernyataan al-Razi di atas menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah yang terhunjam sangat dalam pada jiwa manusia.

Kedua, cinta tanah air dalam hadits dan penjelasan ulama pen-syarah-nya. "Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila  beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah." (HR.  Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)

Mengomentari hadits di atas, dalam Fath al-Bari, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Hadits ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air." Hal yang sama juga dikemukakan dalam kitab 'Umdat al-Qariy oleh Badr al-Din al-'Aini.

Ketiga, cinta tanah air menurut para ahli fiqih. Bahwa hikmah berhaji dan pahalanya yang besar karena mendidik jiwa menjadi lebih baik dengan meninggalkan tanah air dan keluar dari kebiasaannya. Dalam kitab al-Dakhirah, al-Qarafi menyatakan, "Manfaat haji adalah mendidik diri dengan meninggalkan tanah air."

Keempat, cinta tanah air menurut para wali. Orang-orang yang saleh senantiasa mencintai tanah air. Dalam kitab Hilyat al-Awliya', Abu Nu'aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, "Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air."

Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka setiap orang beragama selain berkewajiban untuk mencintai agama yang dianutnya--dengan cara memahami dan mengamalkannya dengan sebenar-benarnya--juga berkewajiban untuk mencintai tanah airnya. Karena mencintai tanah air itu tidak bertentangan dengan agama dan bahkan merupakan bagian dari ajaran agama yang wajib diamalkan.

Orang yang beragamanya benar dan cinta terhadap tanah airnya akan selalu memerhatikan keamanan tanah air, tempat hidupnya, kampung halamannya. Ia tidak akan membuat kegaduhan demi kegaduhan, tidak menebar kebencian dan saling permusuhan di antara setiap orang dan setiap suku serta para pemilik indentitas berbeda yang menempati setiap jengkal tanah airnya. 

Orang yang mencintai tanah air karena perintah agamanya bahkan sanggup mengorbankan harta benda atau apa saja. Bahkan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan mempertahankan tanah airnya dari setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Cukuplah kiranya kita belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya.

Terakhir, penulis ingin mengemukakan doa cinta tanah air yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as yang difirmankan Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126: Rabbij’al hâdzâ baladan âminan warzuq ahlahû minats tsamarâti man âmana minhum billâhi wal yaumil âkhir.

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)

Penulis adalah pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) UNUSIA Jakarta

0 coment�rios:

UMAT YANG BERBINHEKA DALAM AL-QUR'AN Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. ( Profil ) Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar K...

UMAT YANG BERBINHEKA DALAM AL-QUR'AN

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Dalam Surat al-Baqarah ayat 143, Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا…
“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi syuhada terhadap/buat manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi syahid terhadap/buat kamu…”
Dalam artikel ini tidak akan dibahas dengan rinci tentang ummatan wasathan. Ayat di atas dikutip sebagai pembuka pembicaraan mengenai kebhinekaan makna ummat yang terkandung dalam al-Qur’an. 
Ayat yang penulis kutip di awal tulisan menggarisbawahi agar kamu (wahai umat Islam) menjadi saksi atas perbuatan manusia. Ini juga dipahami dalam arti bahwa kaum muslim akan menjadi saksi di masa datang atas baik buruknya pandangan dan kelakuan manusia. 
Pengertian masa datang itu dipahami dari penggunaan kata kerja masa datang/mudhari/present tense pada kata li takunu. Penggalan ayat itu mengisyaratkan pergulatan pandangan dan pertarungan aneka isme. Tetapi pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan isme-isme itu. Masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah, bukan isme-isme yang bermunculan setiap saat. 
Ketika itu, Rasul akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat Islam sesuai dengan tuntutan Ilahi atau tidak. Ini juga berarti bahwa umat Islam akan dapat menjadi saksi atas umat yang lain dalam pengertian di atas. Apakah gerak langkah mereka sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul SAW? Apakah mereka benar-benar menjadi umat Islam? Bukankah umat Nabi Muhammad SAW dinamai ummatan wasathan?
Mengenai kata ummat, memang banyak maknanya. Dalam al-Qur’an, kata ummat ditemukan muncul dalam bentuk tunggal sebanyak 52 kali dan dalam bentuk jamak sebanyak 12 kali. 
Ad-Damighany, yang hidup pada abad ke-11 H, menyebut sembilan arti untuk kataummat yaitu (1) ushbah/kelompok, (2) millat/cara dan gaya hidup, (3) tahun-tahun yang panjang, (waktu) yang panjang, (4) kaum, (5) pemimpin, (6) Generasi, (7) umat Nabi Muhammad SAW (umat Islam), (8) orang-orang kafir secara khusus dan (9) makhluk (yang dihimpun oleh adanya persamaan antar-mereka).
Kita bisa berbeda pendapat tentang makna-makna di atas, namun yang jelas adalah QS. Yusuf ayat 45 menggunakan kata ummat untuk arti waktu, dan QS. Az-Zukhruf ayat 22 dalam arti jalan, atau gaya dan cara hidup. Sedang QS. Al-Baqarah ayat 213, dalam hemat penulis, menggunakannya dalam arti kelompok manusia dalam kedudukan mereka sebagai makhluk sosial. 
Selanjutnya, gabungan dari firman-Nya yang menamai Nabi Ibrahim sebagai ummat(QS. An-Nahl ayat 120) sama makna dan kandungannya dengan kata imam, yakni pemimpin sebagaimana ditegaskan oleh QS. Al-Baqarah ayat 124. Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah: “himpunan”.
Dari sini kita dapat berkata bahwa pada kata ummat terselip makna-makna yang cukup dalam. Ia mengandung arti gerak dinamis, arah, karena tidak ada arti satu jalan kalau tidak ada arah yang dituju dan jalan yang dilalui. Dan, tentu saja, perjalanan guna mencapai kejayaan umat memerlukan waktu yang tidak singkat sebagaimana diisyaratkan oleh salah satu makna ummat serta pemimpin, baik seorang atau sekelompok orang yang memiliki sifat-sifat terpuji dan dengan gaya kepemimpinan serta cara hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat bangsa itu. 
Yang paling wajar dinamai ummat dari seluruh kelompok/himpunan apapun dari manusia adalah umat Nabi Muhammad SAW yang memang telah disiapkan Allah untuk menjadi Khaira Ummah (QS. Ali-Imran ayat 110).
Kata ummat, dengan kelenturan, keluwesan dan aneka makna di atas memberi isyarat bahwa Al-Qur’an dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok umat, betapapun kecil jumlah mereka, selama perbedaan itu tidak mengakibatkan perbedaan arah. Atau, dengan kata lain, selama mereka “Berbhineka Tunggal Ika”. Hakikat ini diisyaratkan antara lain oleh firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (105)
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”(QS. Ali-Imran/3: 105).
Kalimat “sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka” dipahami oleh banyak ulama berkaitan dengan kata berselisih, bukan dengan kata berkelompok. Dan ini berarti bahwa perselisihan itu berkaitan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Adapun yang dimaksud dengan kata “berkelompok-kelompok”, maka ia dapat dipahami dalam arti perbedaan dalam badan dan organisasi. 
Memang perbedaan dalam badan dan organisasi dapat menimbulkan perselisihan, walaupun tidak mutlak. Dari aneka organisasi lahir pula perselisihan dalam prinsip dan tujuan. Jika demikian, ayat ini tidak melarang umat untuk berkelompok, atau berbeda pendapat, yang dilarangnya adalah berkelompok dan berselisih dalam tujuan. Adapun perbedaan yang bukan pada prinsip atau tidak berkaitan dengan tujuan, maka yang demikian itu dapat toleransi, bahkan tidak mungkin dihindari. 
Rasul SAW sendiri mengakuinya, bahkan Allah menegaskan bahwa yang demikian itulah adalah kehendak-Nya jua.
…وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ…
Sekiranya Allah menghendaki, misalnya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al-Maidah/5: 48).
Demikian, wa Allah A’lam.

#muslimsejati

0 coment�rios:

Pegiat mahasiswa Muslim: Sistem kekhalifahan? No! Pancasila? Yes! Hak atas foto AFP Image caption Seorang pemuda Muslim tengah m...

Pegiat mahasiswa Muslim: Sistem kekhalifahan? No! Pancasila? Yes!


Hak atas fotoAFP
Image captionSeorang pemuda Muslim tengah membaca kita suci Al-Quran di sebuah masjid.
Walaupun terpecah secara politik, pegiat mahasiswa yang berlatar keislaman di Indonesia berada di jalur yang sama saat menghadapi gerakan radikal transnasional. Apa perekatnya?
Muhammad Nur Azami, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, bersama teman-temannya, tengah menyiapkan diskusi tentang sosok Pramoedya Ananta Toer, akhir April lalu.
Saya temui di sebuah taman di kampus Ciputat, mereka membagi undangan dan brosur dengan gambar sastrawan Pramudya - tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lekra, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
"Tidak menjadi soal dan tabu membaca karya-karya Pram," seru Azami. Mulai kuliah empat tahun lalu, mahasiswa jurusan sejarah kebudayaan Islam ini - dan generasi seangkatannya - tumbuh dalam atmosfir kebebasan usai rezim otoriter Suharto runtuh.
Secara budaya dibesarkan dalam tradisi Nahdlatul Ulama, cara berpikir Azami pun terhubung erat dengan ideologi anak-anak muda NU yang dipengaruhi pemikiran Gusdur alias Abdurrahman Wahid.
Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionPara aktivis mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang terlibat dalam kelompok studi, tengah menyiapkan diskusi tentang karya-karya Pramudya Ananta Toer, akhir April 2016.
Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionPara mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan spanduk ajakan sholat yang dipasang oleh aktivis lembaga dakwah kampus tersebut.
Dalam lima belas tahun terakhir, wajah tradisional yang selama ini dilabelkan kepada kaum Nahdiyin seperti tertutupi cara berpikir progresif yang ditunjukkan anak-anak mudanya.
Memperhatikan pemikiran dan penyikapan Azami siang itu, saya kemudian teringat sosok Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Sahal - dua aktivis muda berlatar NU yang dikenal liberal.
Tipikal penganut Islam moderat, Azami pun tidak terlalu tegang ketika bergelut dengan berbagai tema, isu atau wacana yang selama ini dianggap terlalu sensitif.
Makanya, mereka hanya tertawa kecil ketika saya mengungkap sejumlah kasus pembubaran diskusi mahasiswa tentang tema 'kiri' oleh oleh kelompok-kelompok intoleran, belakangan ini.
"Kami sudah melewati tapal batas agama," kata Azami sambil tertawa. Tawa Azami siang itu kemudian menular pada rekan-rekannya yang berlatar aktivitas berbeda, mulai pecinta alam dan fotografi. Mereka memang tergabung secara cair dalam sebuah kelompok studi.

ISIS dan HTI mampir ke kampus Ciputat

Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionMuhammad Nur Azami, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang juga aktivis PMII.
Sebagai pegiat anti sektarian, Azami mengaku kaget ketika sekelompok orang mendeklarasikan dukungan kepada kelompok militan ISIS di kampusnya, kira-kira dua tahun silam.
Memang saat itu mulai merajalela dukungan terbuka terhadap kelompok tersebut, dan pemerintah Indonesia belum melarangnya - ketika itu. "Mereka bukan mahasiswa sini," katanya. "Mereka cuma menyewa ruangan saja."
Hak atas fotoFAJAR SODIQ
Image captionPolisi menemukan bendera ISIS di sebuah rumah di Solo, Jateng. Di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, juga pernah ada deklarasi dukungan kepada ISIS yang dilakukan sekelompok orang.
Namun demikian, dia tidak memungkiri ada rekannya sesama mahasiswa di kampusnya mendukung sistem kekhalifahan, walaupun mereka menolak ISIS. Azami terus-terang menyebut Hizbut Tahrir Indonesia, HTI.
Apa yang bisa Anda katakan ketika paham transnasional seperti HTI menganggap sistem demokrasi penuh kebobrokan? Tanya saya. Seperti yang diyakini banyak orang, Azami pun mengatakan "sistem demokrasi masih relevan seperti masyarakat multikultural Indonesia".
Menurutnya, tidak ada jaminan jika sistem diubah, maka semua masalah bakal tuntas. "Jadi, di sini masalahnya bukan mengubah sistem, tapi bagaimana mengubah karakter pejabatnya," kata aktivis organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, PMII, yang secara ideologis segaris dengan NU.
Hak atas fotoAFP GETTY
Image captionRapat akbar Hizbut Tahrir Indonesia, HTI, di Gelora Bung Karno, 12 Agustus 2007.
Dalam beberapa kesempatan, katanya, pihaknya pernah terlibat diskusi dengan aktivis HTI tentang konsep kekhilafahan. Dan menurutnya, ketika pertanyaan menjurus "siapa yang akan menjadi pemimpin dalam sistem kekhalifahan", Azami menganggap para aktivis HTI kebingungan untuk menjawabnya.
"Dan bagi saya seorang anak muda Muslim, sistem demokrasi sudah diterapkan oleh Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah," paparnya.
Kepada lawan diskusinya dari HTI, Azami pun mengutarakan: "Indonesia adalah negara yang sangat beragam, bagaimana pun Pancasila merupakan azas yang sangat Islami".
Hak atas fotoAFP
Image caption"Tentu saja demokrasi Pancasila yang didirikan para founding fathers kita masih relevan hingga saat ini," kata Azami, pegiat kelompok studi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dia juga mengingatkan kembali tentang peran pendiri negara Indonesia yang sebagian adalah para pemimpin Islam, selain nasionalis dan sosialis.
"Tentu saja demokrasi Pancasila yang didirikan para founding fathers kita masih relevan hingga saat ini," kata Azami, sekaligus mengakhiri pertemuan siang itu.

KAMMI menolak negara Islam

Yulianto Agung Prabowo, kelahiran 1988, masih ingat kesan awalnya terhadap organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, KAMMI, yang kelak mendorongnya untuk bergabung di dalamnya.
Kejadiannya kira-kira sepuluh tahun silam. Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh November, ITS, Surabaya, dia mengaku didekati oleh kakak klasnya sekaligus aktivis KAMMI.
Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionYulianto Agung Prabowo, ketua KAMMI Jawa Timur: "Saya selama 10 tahun (menjadi anggota KAMMI) tidak ada diajarkan untuk mendirikan negara Islam."
Awalnya, Agung - begitu sapaannya - mengaku cuek. Tapi sang senior tak menyerah. "Dia terus mengajak saya ngobrol, membantu saya dalam hal apa pun." Pada akhirnya pria asal Brebes, Jateng ini pun luruh setelah melalui diskusi panjang.
Sejak saat itulah dia bergabung KAMMI. Tapi ada satu hal yang membuatnya terkesan - dan diingatnya terus hingga sekarang. "Tidak ada satu pun anggota KAMMI yang merokok," ungkapnya.
Dibesarkan dari rahim kumpulan lembaga dakwah di masjid-masjid kampus, organisasi berlabel Islam ini dilahirkan setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998. Di kalangan para pegiat kemahasiswaan, KAMMI dikenal militan, puritan dan organisasinya dikenal rapi.
Hak atas fotoKAMMI BANDUNG
Image captionPara aktivis KAMMI Bandung dalam aksinya menuntut penyelamatan agenda reformasi.
Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionDi kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, para mahasiswanya terlibat berbagai aktivitas, mulai olah raga hingga keagamaan.
Akhir April lalu, saya bertemu Agung di sebuah rumah makan di jalan Manyar, Surabaya. Kini dia menjabat Ketua KAMMI Jawa Timur. Dia ditemani Gunarko Aryanto, ketua KAMMI Surabaya - mereka sesama sarjana (S1) Teknik Elektro ITS.
Bukan hal aneh ketika ada yang mengaitkan KAMMI dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir, melalui gagasan dan ideologinya. Hal ini didasarkan sejarah kelahirannya dari lembaga dakwah kampus, yang melalui tokoh-tokoh pendirinya terkait dan terinspirasi oleh organisasi Ikhwan. Di awal perjalanannya pun KAMMI menuntut penghapusan asas tunggal Pancasila.
Apakah Anda bergabung KAMMI karena organisasi ini mendukung pendirian negara Islam di Indonesia? Tanya saya. Agung mengatakan visi besar organisasinya tidak mengenal tujuan seperti itu.
Walaupun demikian, Agung sempat curiga ide pendirian negara Islam adalah tujuan KAMMI. Dia lantas menceritakan isi pertanyaannya kepada sang senior yang membujuknya untuk bergabung KAMMI, kira-kira 10 tahun silam
"Ini mengarah ke situ (ke pendirian negara Islam), enggak? Karena saat itu isu NII (Negara Islam Indonesia) juga sangat gencar sekali."
Jawaban sang senior melegakan Agung. Dan sore itu, Agung menyimpulkan: "Saya selama 10 tahun (menjadi anggota KAMMI) tidak ada diajarkan untuk mendirikan negara Islam."

Konsensus Pancasila

Lantas, bagaimana dengan konsep khilafahyang digaungkan HTI untuk menggantikan sistem demokrasi Pancasila? Saya bertanya lagi.
"Jangan 'kan masalah khilafah, negara Islam pun kita tidak mengajarkan ke sana," Agung kembali menegaskan.
Dia lantas mengingatkan saya konsensus para pendiri bangsa Indonesia, termasuk para pemimpin Islam, yang menyatakan Pancasila sebagai ideologi negara. "Ini konsensus yang harus kita jaga."
Hak atas fotoAFPGETTY
Image captionUnjuk rasa aktivis Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI pada 24 Oktober 2004.
"Sehingga kita menolak konsep menggantikan NKRI dengan khilafah," tegas Agung.
Lagipula, menurut Gunarko Aryanto, sistem kekhalifahan yang ditawarkan oleh HTI tidak diterima oleh mayoritas warga Indonesia. "Jadi, saya pikir percuma saja," kata Gunarko, kelahiran 1991, yang juga ketua KAMMI Surabaya.
Menurutnya, ada cara-cara lain misalnya melalui reformasi untuk memperbaiki keadaan di Indonesia saat ini, tanpa harus mengubah sistemnya.
Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionMahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dan, bagaimana tanggapan Anda terhadap anggapan sebagian warga Indonesia yang menyebut Pancasila itu merupakan produk sekuler? Saya bertanya lagi.
"Harus melihat sejarah, bahwa negara ini didirikan dengan konsensus yang melibatkan tokoh-tokoh Islam juga," ujar Gunarko yang juga alumni ITS Surabaya.
Dan, "mananya yang sekuler? Di sila yang mana? Ketuhanan yang maha Esa adalah Tauhid," tegas pria asal Jakarta ini.
Agung kemudian menambahkan, jika ada yang menilai Pancasila adalah produk sekuler, orang-orang itu tidak memahami sejarah Islam di Indonesia. "Dan mereka tidak memahami bahwa para ulama itu ikut memperjuangkan Pancasila

  • https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160506_indonesia_lapsus_radikalisasi_anakmuda_berebutpengaruhdikampus

0 coment�rios: